Waktu terus berlalu, selama berkuliah Wina belum pernah kembali ke Indonesia. Aku yang menyuruh dia fokus untuk belajar di sana.
Setahun ini aku sering merasa kelelahan. Mungkin karena usiaku tidak muda lagi, tidak seperti saat masih aktif-aktifnya. Kemarin baru saja aku merayakan ulang tahunku yang ke-45 Tahun. Berbagai keluhan mulai kurasakan. Aku sering muntah saat pagi hari, berat tubuhku menurun drastis, tidak ada nafsu makan. Aku tahu ada yang salah pada diriku. Mungkin karena aku bekerja begitu keras tanpa kenal lelah, namun selama aku masih mampu, aku akan melakukan apapun yang aku bisa.
“Sebaiknya kamu periksa ke dokter, Maura. Coba, kapan terakhir kalinya kamu check up ke dokter? Andai Lisa ada di sini, mungkin dia yang akan membawamu untuk periksa,” kata Hardy yang kini menjadi partner kerja yang setia.
“Baiklah, Hardy. Besok aku akan ke dokter.”
“Kami melihat sebuah kemungkinan yang cukup mengkhawatirkan, Bu. Namun masih akan ada pemeriksaan lebih lanjut. Untuk saat ini, saya menyarankan Ibu untuk beristirahat total. Maaf kalau boleh tahu aktivitas ibu sehari-hari apa?” tanya dokter yang kami temui di rumah sakit.
“Saya mengajar Dok, juga mengurus sebuah pusat belajar. Mereka sangat membutuhkan saya. Saya tidak bisa berhenti bekerja saat ini.”
“Tapi kesehatan Ibu lebih penting. Bagaimana kalau terjadi sesuatu kepada Ibu?”
“Sudahlah, Maura. Dengarkan apa kata dokter saja,” kata Hardy.
“Begini saja, kita tunggu semua hasil pemeriksaan keluar. Mudah-mudahan bagus. Dan kita akan tentukan tindakan berikutnya.”
“Semoga saja, Dokter. Mungkin hanya karena kecapean selama ini.”
“Dengan sangat menyesal, kami menyampaikan bahwa Ibu terkena kanker hati.”
Kata-kata itu terus membayang di pikiranku. Semua yang telah aku bangun, siapakah yang akan meneruskannya? Anak-anak itu mereka membutuhkan aku. Mengapa Tuhan memanggilku untuk pelayanan ini kemudian membuatku untuk meninggalkannya? Malam itu aku bergumul penuh dengan Tuhan. Mencoba bertanya mengapa dan mengapa? Aku berada dalam titik terendahku saat ini, bimbang, tidak tahu harus berbuat apa. Satu-satunya yang kupikirkan adalah pusat belajar kami yang sedang berkembang. Haruskah aku mengikuti saran dokter dengan beristirahat total sambil menjalani pengobatan? Aku tidak bisa membayangkan wajah-wajah polos itu, bagaimana nasib mereka kelak? Mereka penuh dengan semangat dan cita-cita untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Tentu saja banyak orang yang membantuku menjalankan pusat belajar ini, namun apakah semuanya akan sama? Apakah mereka akan menyayangi anak-anak itu seperti aku menyayangi anak-anakku? Tidak, mereka tidak boleh tahu keadaanku saat ini, itu bisa saja mematahkan semangat mereka. Terutama Wina, dia jangan sampai tahu. Aku terus berpikir dan akhirnya tubuhku semakin lemah.
“Hardy, bisa jemput aku dan bawa ke rumah sakit? Aku tidak kuat lagi.”
“Tentu saja, Maura. Tunggu di sana.”
“Tolong jangan sampaikan kepada siapa pun, cukup di antara kita saja,”
“Baiklah, terserah kamu. Yang penting kamu berobat, ya. Dan maaf, Maura. Aku harus memberitahu Lisa.”