Aku sedang berada di rumah sakit hendak menjalani kemoterapi pertama. Ada rasa takut, cemas, bimbang, berbagai perasaan campur aduk kini.
“Bu Maura tenang saja, semuanya akan berjalan baik,” kata Dokter. “Ibu akan menginap beberapa hari saja di sini, dan bisa pulang ke rumah. Tapi kalau ada apa-apa segera datang kembali.”
“Baik, Dokter.”
Di sampingku kini ada dua orang kakakku, Gustaf dan William. Mereka berdua sedang memegang tanganku dan kami berdoa bersama. Tentu saja, aku harus memberitahukan mereka. Mereka saudaraku. Aku bersyukur mereka tidak menghakimiku yang selalu menyembunyikan sesuatu dari mereka. Namun, tatapan keduanya, seakan iba melihatku kini.
Kemoterapi telah selesai dilakukan. Kini aku beristirahat. Seorang kepala perawat masuk ke dalam kamar perawatanku saat ini.
“Selamat pagi, Bu Maura. Bagaimana kabar Ibu?”
Aku menggeleng. “Rasanya badanku remuk, suster.”
“Itu wajar, Bu. Pengaruh obat kemoterapi.” Ia kemudian mendekatiku, dan seketika memekik. “Ya Tuhan. Bukankah Anda teman Ibu Selina? Pasien yang dirawat di tempat ini dulu?”
“Ya, Suster. Itu saya. Jadi Suster juga yang merawat Bu Selina?”
“Ya, tentu saja. Waktu itu saya masih sangat muda. Sudah berapa lama ya? Sepertinya sudah lebih belasan tahun yang lalu. Ternyata Tuhan membuka jalan.”
“Ya, Suster, kita bisa bertemu lagi.”
“Bukan hanya itu, ada sesuatu yang ingin saya berikan kepada Ibu Maura. Ya Tuhan, saya hampir saja melupakan surat itu, baru sebulan yang lalu saya menemukannya lagi.”
“Surat apa, Suster?”
“Surat yang ditulis oleh Bu Selina. Saya menemukannya terjepit di bawah laci dalam lemari. Hampir-hampir tidak terlihat. Pada bagian luarnya tertulis untuk Maura.”
“Oh ya? Dan apakah surat itu masih ada pada Anda?”
“Ya ... ya ... saat itu saya tidak dapat menemukan keberadaan Anda atau keluarganya. Jadi saya menyimpannya saja, kalau-kalau surat itu penting. Saya tidak membukanya. Selama bertahun-tahun saya melupakan surat itu, baru sebulan yang lalu saya melihatnya lagi di dalam file arsip surat-surat penting kebetulan saya membereskannya.”
“Besok saya akan membawanya kemari,” kata Perawat itu.
“Ya baiklah Suster.”
Apa yang hendak dikatakan Selina kepadaku sampai menulis sepucuk surat? Mengapa tidak menuliskannya untuk Wina? Apa ada sesuatu yang penting? Sejenak perkataan perawat tadi terus berada di dalam pikiranku dan melupakan rasa mual dan sakit pada sekujur tubuhku.
Teruntuk Sahabatku, Mbak Maura ...