“Maaf, Bu. Ini di luar perkiraan kami. Sel-sel kanker itu kembali muncul, dan semakin ganas," kata Dokter Jacob Alberto, yang selama ini menangani penyakitku.
“Jadi Dokter, masih ada kan yang bisa dilakukan?” tanya William.
“Kita akan terus berusaha. Tidak ada yang mustahil.”
“Lakukan apa saja Dokter, asal adik saya bisa terus hidup,” kata William dengan wajah cemas.
“Katakan yang sebenarnya, Dok. Berapa lama lagi waktu hidup saya menurut perkiraan Dokter, secara medis maksudnya. Karena hidup dan mati di tangan Tuhan, itu hal yang lain lagi,” kataku. Aku punya perasaan semua ini akan terjadi, dan aku harus bersiap.
“Susah untuk memprediksinya, Bu. Bisa setahun atau dua tahun mungkin? Juga bisa saja hanya tinggal beberapa bulan.”
Aku terdiam. Tak sanggup berkata-kata. Dalam hati kecilku masih ingin sembuh.
“Baiklah, Dokter.”
“Tenangkan diri Ibu. Lakukan hal-hal yang membuat ibu bahagia. Kondisi di pulau tempat tinggal Ibu bagaimana? Saya juga berasal dari sekitar kepulauan itu, namun di sebelah utara. Sangat indah di sana, rasa-rasanya ingin pulang.”
Aku tersenyum. “Ya, tentu saja saya senang di sana, Dokter. Rasanya damai.”
“Beristirahatlah dan nikmatilah hidup yang Tuhan masih anugerahkan, Bu Maura. Oh, hampir saja lupa. Mungkin Bu Maura tidak perlu lagi kembali ke kota ini untuk kontrol. Saya akan memberikan obat minum saja untuk sebulan, dan jika sudah hampir habis, bisa datang ke dokter di rumah sakit di kota kabupaten di kepulauan itu, kebetulan dokter yang bertugas di sana adalah saudara sepupu saya, dokter Augusto. Saya akan menuliskan rujukan kepadanya. Bagaimana?”
“Ya, Dokter, terima kasih.”
Aku kembali menatap ke arah lautan yang terhampar luas di hadapanku, akhirnya aku akan meninggalkan anak-anak itu, entah sampai kapan aku tidak tahu. Sudah banyak dari mereka yang berhasil, termasuk Wina. Aku merindukan Wina. Dia bahkan tidak tahu kondisiku saat ini. Aku merasa bersalah padanya, dia pasti akan marah karena menyembunyikan hal ini. Namun sebentar lagi dia akan lulus, aku hanya menunggu sampai hal itu terjadi. Mudah-mudahan waktuku masih cukup untuk bisa bertemu dengannya lagi.
Beberapa waktu telah berlalu, saat itu aku sudah duduk di depan televisi dengan tidak sabar. “Ayo, segera nyalakan TV itu,” kataku kepada Yuni. “Acaranya akan segera dimulai.”
Acara wisuda Wina akan ditayangkan secara live melalui sebuah situs berbagi video. Aku menyuruh Crisco mencari informasi tentang hal ini, yang langsung mengubungi kampus tersebut melalui sambungan internasional menanyakan jadwal wisuda Wina. Aku masih menyembunyikan keberadaanku dari Wina.
“Kamu berhasil, sayangku. Kamu meraih impianmu. Ini kemenanganmu,” kataku sambil menahan air mata yang terus berjatuhan dari kedua pelupuk mataku. Aku mengingat tatapan ketakutan seorang gadis kecil yang menolongku lari dari peristiwa penyekapan. Anak itu kini dengan kepala yang terangkat sedang menatap masa depannya.
“Ibu sangat bangga padamu. Ibu akan mendoakanmu selalu.”
Dan Tuhan mendengar kerinduanku ..., beberapa waktu kemudian, sepucuk surat datang kepadaku.