Satu bulan kemudian,
Matahari menyembunyikan sinarnya saat pagi menjelang. Mendung memenuhi pulau Camar Perak beserta lautan yang mengelilinginya. Hari ini akan turun hujan.
Yuni, perawat Maura bangun lebih awal dengan maksud mempersiapkan dirinya dan Maura untuk berjalan-jalan menikmati pagi hari di tepian pantai. Namun, pagi itu alam kurang bersahabat.
Yuni bergegas hendak menemui Maura untuk menyampaikan bahwa rencana mereka pagi itu sebaiknya ditunda, dan mereka akan mencoba mencari kesibukan di dalam rumah saja.
Ketika Yuni membuka pintu, ia melihat Maura masih tidur. Ia ragu, apakah akan membangunkannya atau membiarkannya tidur saja. Cuaca seperti ini memang membuat siapa pun enggan untuk bangun dari tempat tidur.
Namun akhirnya, Yuni memutuskan untuk mendekati Maura. Ia mulai merasa ada sesuatu yang aneh pada Maura. Cahaya yang selalu terpancar dari wajahnya seakan redup. Jantung Yuni mulai berdetak kencang. Ia sudah beberapa tahun menemani Maura siang dan malam, ia dapat merasakan jika ada sesuatu yang tidak beres.
Dengan gemetar Yuni mencoba menyentuh Maura, tubuh yang sedang terbaring itu kini sedingin es. Yuni segera tahu bahwa darah Maura sudah tidak mengalir, rohnya telah pergi meninggalkan tubuh yang kini hanya berbaring diam.
Yuni melangkah mundur, dengan deraian air mata ia berlari keluar dari ruangan itu, “Tolong! Tolong! Pak Agung! Crisco!” teriakan Yuni menggelegar terdengar di setiap sudut ruangan. Gadis itu nampak panik dan berlarian ke sana ke mari.
Pak Agung yang sedang menggunting tanaman di halaman, segera menengok ke arah rumah ketika mendengar teriakan itu. Hatinya tidak karuan kini. Ia segera menyadari bahwa sesuatu telah terjadi.
“Bu Maura?” Ia segera melemparkan peralatan berkebun di tangannya dan berlari masuk ke dalam rumah.
“Yuni, ada apa?” tanya Pak Agung mendapati Yuni yang berdiri di bawah tangga gemetaran, “Bu Maura … Bu Maura, di kamar ….”
Pak Agung berlari melesat diikuti Crisco yang juga telah berada di ruangan itu menuju ke kamar Maura.