Hening.
Di luar, angin malam berembus lembut, menggoyangkan dedaunan yang tampak gelap di bawah langit penuh bintang. Kabin itu berdiri kokoh, dikelilingi hutan yang tampak seperti tirai tebal—seolah-olah memisahkan tempat itu dari dunia luar. Tidak ada suara lain selain gemerisik pohon dan sesekali bunyi ranting yang patah.
Aditya duduk di depan meja kayu sederhana di ruang kerja kabin, jari-jarinya mengetuk permukaan meja tanpa pola yang jelas. Laptop di depannya menyala, tetapi layar kosong itu seperti mencemoohnya. Tidak satu kata pun yang berhasil ia ketik sejak tiba di sini dua hari lalu.
“Fokus,” bisiknya kepada diri sendiri, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba memaksa pikirannya bekerja. Tapi saat itu, sesuatu di sudut mata nya menarik perhatian. dalam-dalam, mencoba memaksa pikirannya bekerja. Tapi saat itu, sesuatu di sudut matanya menarik perhatian. Bayangan.
Ia menoleh cepat, memandangi pojok ruangan di dekat jendela. Tidak ada apa-apa di sana, hanya kursi tua yang dibiarkan kosong sejak ia tiba. Ia menghela napas panjang, merasa konyol.
“Hanya bayangan,” gumamnya.
Namun, perasaan aneh itu tidak hilang. Seperti ada sesuatu yang memperhatikannya dari pojok ruangan itu, sesuatu yang tidak terlihat, tetapi nyata. Ia mengabaikan rasa tidak nyaman itu, meyakinkan dirinya bahwa ia hanya terlalu lelah. Tapi semakin ia mencoba fokus, semakin perasaan itu menguaspanjang, merasa konyol.
“Hanya bayangan,” gumamnya.
Namun, perasaan aneh itu tidak hilang. Seperti ada sesuatu yang memperhatikannya dari pojok ruangan itu, sesuatu yang tidak terlihat, tetapi nyata. Ia mengabaikan rasa tidak nyaman itu, meyakinkan dirinya bahwa ia hanya terlalu lelah. Tapi semakin ia mencoba fokus, semakin perasaan itu menguasaiterlalu lelah. Tapi semakin ia mencoba fokus, semakin perasaan itu menguasainya.Angin berembus lebih kencang. Jendela kayu bergetar, mengeluarkan bunyi yang tajam. Aditya bangkit dan berjalan ke arah jendela, memastikan semuanya terkunci. Saat ia mendekat, ia merasakan hawa dingin yang tidak biasa menyentuh kulitnya.
Ia menoleh sekali lagi ke pojok ruangan.
Kali ini, ia yakin. Ada sesuatu di sana. Sesuatu yang berdiri dalam gelap, berbentuk manusia tetapi tanpa wajah, hanya bayangan yang menatapndingin yang tidak biasa menyentuh kulitnya.
Ia menoleh sekali lagi ke pojok ruangan.
Kali ini, ia yakin. Ada sesuatu di sana. Sesuatu yang berdiri dalam gelap, berbentuk manusia tetapi tanpa wajah, hanya bayangan yang menatapnya.
Jantung Aditya berdetak cepat. Ia mundur perlahan, tidak mampu mengalihkan pandangan dari sosok itu. Tapi saat ia berkedip, sosok itu menghperlahan, tidak mampu mengalihkan pandangan dari sosok itu. Tapi saat ia berkedip, sosok itu menghilangPanik mulai merayap. Ia mengusap wajahnya, berusaha menenangkan diri. “Kau hanya lelah, Aditya,” bisiknya.Namun, di luar jendela, ia melihat bayangan yang sama—berdiri di antara pepohonan, menatap langsung ke arahnya.
Hening berubah menjadi mencekasama—berdiri di antara pepohonan, menatap langsung ke arahnya.
Hening berubah menjadi mencekaAditya menutup gorden dengan tergesa, tangannya gemetar. Hawa dingin merayap dari lantai kayu ke seluruh tubuhnya, membuat bulu kuduknya berdiri. Ia melangkah mundur, punggungnya membentur meja kayu di tengah ruangan.
Pikirannya berkecamuk. Itu hanya imajinasi. Stres. Tidak nyata. Namun, kegelapan di luar gorden tampak seperti hidup, seolah-olah ada sesuatu yang menunggu di baliknya.
Ia menyalakan semua lampu di kabin. Sinar kuning dari lampu-lampu tua itu menyinari setiap sudut ruangan, tapi rasa tidak nyaman itu tetap bertahan. Rasanya seperti ada sesuatu yang menyelinap di balik terang—sesuatu yang tidak terlihat oleh mata manumembentur meja k ruangan.