Ketika dunia diterkam bara api, sang Waktu mulai berhenti. Sang Waktu memimpin para Malaikat memusnahkan sisa-sisa kebohongan manusia, kebingungan, dan kecurangan. Di saat itu mereka berkata, “betapa meruginya kami! Ampunilah kami! Berilah kami kesempatan sekali lagi, wahai sang Pemaaf!”
“Kau lapar, Nak?”
Mata emerald itu menjawabku dengan kebisuannya, mengingatkanku pada puisi terakhir dari seorang anak di daerah konflik Timur-Tengah: Kami bukanlah penghancur… kami hanya ingin hidup damai seperti mereka. Maafkanlah setiap dosa yang kami perbuat! Sungguh! Tuhan Maha Melihat lagi Maha Mengetahui. Sungguh! Dialah Dzat Maha Adil ketika hari pembalasan itu tiba.
Mata itu, dengan gradasi hijau-pekatnya, tampak seperti padang rumput segar yang disinari Mentari pagi. Sebuah harapan memaksa pupilnya melebar ketika menyerap cahaya di belakang kepalaku, memandangku yang mengecup keningnya begitu dalam… begitu menenteramkan. “Kau lapar?”
Dia sempurna, murni, dan jujur. Di usianya yang ke-25 tahun, hanya cinta yang bisa membuatnya tegar untuk hidup di penjara kubus, terisolasi dari intaian hiruk-pikuk dunia luar yang memaksanya… mati. “Kau lapar, tidak?” Rambut cepak hitamnya, ditemani kulit kuning langsatnya, begitu lembut dan berkilau, seperti mutiara hitam yang baru ditemukan di dasar palung terdalam. Percampuran ras Asia Tenggara, darah Apache, dan Indo-Australia memang sungguh menakjubkan.
Bibir merahnya sedikit pucat, menyimpan rasa lapar ketika hidungnya menghirup aroma bakaran Wagyu. Namun, dia begitu malu mengatakan apa yang diinginkan perutnya, karena hanya ada kesopanan yang merajai posisi tertinggi otaknya. Kesopanannya adalah harta terindah dibandingkan para Pemimpin Kejam yang menjanjikan kedamaian pada nyawa tak bersalah. “Kau lapar, Nak?”
Satu-dua-tiga-empat kali kutanya, namun dia hanya tersenyum sebagai rasa syukur karena ku bisa bersamanya. Kutahu betapa hancur dirinya ditinggal berbulan-bulan di Black Cube, dihantui oleh kecemasan apakah aku masih hidup dan bisa kembali? “Kau lapar?” Yang ke-lima kalinya, dia memelukku erat.
“Maafkan aku, Profesor.” Matanya berlinang menatapku. “Hatiku berdegup kencang, seperti derasnya air terjun Victoria di musim hujan.” Aku terkekeh sambil mengelus pipinya. “Ini pertanda apa?”
“Itu yang disebut cinta, Nak.” Wajah murninya kebingungan karena baru kali ini mendengarku menyebutkan kata itu. “Cinta.”
“Cinta?” Kebingungannya membuatku mengangguk. “Sungguh lucu.” Aku menunjukkan wajah tak mengerti pada anak elok ini, begitu murni dan tulus. “Cinta adalah ketika hatiku berdegup kencang seperti air terjun Victoria di musim hujan. Dan cinta adalah ketika air mataku akan jatuh saat memelukmu sekarang. Itukah yang disebut cinta, Profesor?”
“Itulah cinta.”
B-16, seorang bionic dengan kemurnian, kepolosan, dan kecerdasan di setiap saraf otaknya, menyimpan miliyaran fakta yang terjadi di dunia ini, sejak 1930 hingga sekarang. B-16, dia sedang bermain bersama kawanan Siberian Husky, memeluk mereka seperti saudara kandungnya sendiri, begitu ramah dan penuh kasih sayang. Matanya terpejam, memberitahuku imajinasinya tentang sebuah tempat yang selalu kudongengkan padanya.
“Ada sebuah padang rumput luas, jauh-jauh-dan-jauh, sampai mataku tak bisa melampaui batas penglihatan. Langit mendung bercahaya, tidak untuk hujan, hanya untuk melindungiku dari sengatan Matahari. Begitu aman dan nyaman. Di sana ada pohon bersama ribuan apel yang sudah matang dan merah. Kuambil satu. Hmmm… begitu manis dan segar, menyulut sensasi nikmat di setiap pori-poriku. Jika Profesor bersamaku, dia pasti akan bermain kejar-tangkap. Bersamamu juga, anjing-anjingku… karena dia… mencintai kita.” Mata B-16 terbuka, melihatku dengan kelembutan dan kasih sayang yang selalu menyemangatiku di tengah kebiadaban. Kaulah penyembuhku. “Aku mencintaimu, Profesor.”
Tanpa sadar, sarafku menuntun pergerakanku untuk mendekapnya, mengelus kepala cepaknya, meyakinkannya jika tak ada satu alasan pun bagi jariku untuk menyakitinya. Malah, mereka ingin melindungi bionic ini dari kejaran sang Ratu. Dia harus bertahan hidup sebelum manusia lupa apa tujuan mereka diciptakan.
“Aku menyayangimu juga, my Son. Sangat.”
B-16 membantuku menyiapkan daging panggang bersama kawanan Husky di ruang utama. Black Cube hanya memiliki luas 125 m2, dengan satu ruang besar utama, satu kamar mandi, dan satu dapur. Secara otomatis, komputer akan mengubah tata letak ruang utama menjadi berbagai macam jenis ruangan —seperti: kamar tidur; ruang makan; dan ruang keluarga beserta furniturnya. Seperti sekarang, seluruh instrumen Black Cube menyuguhkan kami ruang makan yang nyaman, bersama lagu klasik kesukaan B-16. Nocturne No.2-Choppin.
“Biarkan aku, Profesor.” B-16 melayaniku —sesuai instruksiku— untuk menata piringku dengan steak Wagyu, kacang polong, kentang tumbuk, dan saus pedas manis. Di sisi piringku, diletakannya garpu, sendok, dan pisau. Tak lupa, dia menuangkanku segelas anggur putih sebagai hidangan pembuka favoritku. B-16 juga memberiku semangkuk sup Soba-mi, lengkap dengan taburan ebi dan sumpit merahnya. Benar-benar rapi. “Dan satu lagi,” B-16 mengalungiku serbet putih agar noda makanan tak melekat ke kemejaku. “Selesai.” Bahkan, para Siberian Husky mengaung terbahak-bahak melihat tingkah B-16 yang seperti kepala pelayan.
“Bagaimana rasa dagingnya?” tanyaku pada B-16. Tampaknya, dia mengunyah daging Wagyu begitu penasaran, menikmati setiap tekstur lembut yang lumer di lidahnya. Decapannya juga terdengar jelas, ketika liurnya memecah ledakan rasa yang menari di atas papilanya. Ekspresinya yang mengernyitkan kening, ditambah lekuk matanya yang menyimpan pergerakan pupil, membuatku tahu jika rasanya…
“Sangat lezat!” Wajah B-16 sumbringah ketika menelan lumatan daging Wagyu. Jari-jarinya tak henti mengiris beberapa potongan lagi, kemudian langsung melahapnya ke mulut. “Dibanding daging yang kau bawa dari Australia, Wagyu bertekstur lebih lembut setiap kali kugigit. Dagingnya merangsang liurku, membuatku semakin ketagihan melahapnya. Hap!” Seruput bibir B-16 membuktikan jika dia tak berbohong. Takkan pernah.
“Raff!” Mata B-16 tiba-tiba teralihkan pada seekor Husky yang memanjat ke pangkuannya.
“Hey-hey! Kau sudah dapat jatah!” bentakku pada anjing salju itu. Namun, tubuhku langsung kaku ketika B-16 menatapku ramah sebagai peringatan atas tindakan kejiku.
“Pumpkin? Kau masih mau?” goda B-16 pada anjing itu.
Pumpkin, begitulah B-16 menamai anjing seputih salju itu. Memang, di antara kawanan lainnya, Pumpkin adalah Husky favorit B-16. Pumpkin selalu menemani Puteraku saat kutinggal pergi, berkomunikasi dengannya dengan bahasa yang tak kumengerti, dan selalu setia menjaga dan melindunginya. Aku tak habis pikir, bagaimana bisa Pumpkin lolos dari selter dan mengakses sistem keamanan Black Cube tanpa otoritasku? Namun yang kutahu, jalan hidupnya telah mantap menentukan siapa majikan yang harus dilindungi.
Kami mencuci semua peralatan makan di dapur. Well, kegemaran B-16 adalah bermain busa sabun di westafel. Memang tampak jelas karena aku tak pernah mengizinkannya mandi. Kelemahan B-16 adalah tubuhnya begitu rentan diserang demam. Jika temperatur tubuhnya kurang atau lebih sedikit saja dari 30o Celcius, hatiku pasti hancur karena Tuhan sedang membubuhinya dengan sejumput api Neraka, memaksaku mendengar ceracaunya sakit… tolong aku, Dad… Aku tahu, otakknya sedang tak stabil karena over-heating. Dan kutahu, sangat mustahil baginya memanggilku… Ayah.
“Okay! Jangan terlalu banyak,” tanganku mengusap kepala B-16 sambil menasihatinya. “Kau tahu, kita harus menggunakan sabun ini dengan bijak. Residunya bisa mencemari samudera, menjadi racun yang membunuh biota di Kutub Utara, sampai tersebar ke setiap pantai yang ada di Bumi. Kau tak mau itu terjadi, ‘kan?” B-16 langsung berdiri tepat di sampingku dengan wajah pucatnya.
“Kalau itu terjadi, aku tak bisa melihat paus lagi, Profesor?” Aku mengangguk. “Aku mengerti. Aku mengerti.”
“Anak cerdas.” Aku menuntun B-16 mencuci tangan, lalu menyuruhnya mengatur setiap peralatan makan dengan baik di dalam lemari kaca. Para Siberian Husky juga turut membantu kami, mengikuti setiap langkah kami, meskipun sebenarnya membuatku terganggu. “Hhh… mereka terlalu sopan. Saking sopannya, tak mau lepas dari langkah kita,” ejekku.
“Karena mereka mencintai kita, Profesor.” Jemariku kembali mengusap rambut cepak B-16.
Aku membawa B-16, beserta gerombolan Siberian Husky, untuk menikmati kehangatan karpet di depan tungku perapian. Ruang utama yang tadinya ruang makan, kini berubah menjadi kamar tidur yang nyaman.
“Nak,” aku mengusap kepala B-16 sambil memeriksa beberapa dokumen penting yang berisikan rencana pemberontakan. Sungguh ironis. Aku menyayangi B-16, namun tak bisa menolak jika dialah satu-satunya harapanku menghentikan wanita yang ingin membunuhnya. Aku benar-benar Ayah yang buruk.
“Profesor…” sahut B-16. Mataku melirik B-16 sesekali karena fokus mempelajari proposal gila Kevin. “Aku ingin sekali mengikutimu ke mana pun kau pergi.” Mataku membeku pada harapan B-16 yang selalu kutolak. “Aku ingin sekali membuktikan setiap foto dan penjelasanmu tentang tempat-tempat menakjubkan yang dimiliki Bumi.” Embusan napasku begitu berat, tak berani menatap mata B-16 langsung karena aku takkan bisa mengabulkan permintaanya.
“Anakku…” jari-jariku akhirnya menempel ke pundak B-16, berusaha memindahkan keinginannya ke tubuhku.
“Aku tahu,” senyum B-16 padaku. “Kau harus melindungiku dari sekelompok manusia yang memandang dunia dari sudut kejam, ‘kan?” Kepalanya menunduk, menopang rasa kecewa di balik raut wajah yang tulus. Tubuhku langsung membungkus B-16 sebelum jantungnya berdegup kencang karena tak bisa menggapai mimpinya. “Aku bahagia kau di sini,” cengkeram tangan B-16 di punggunku. “Kuharap, kau akan tinggal lebih lama dan…” jangan, “… takkan pernah pergi lagi.”
Perkataannya seperti lading panas yang menghunus jantungku. Dia merasa kesepian, tak tahu sedikit pun tujuanku menciptakannya ke dunia ini. Yang dia tahu, hanya memahami setiap fakta, kejadian, puisi, yang mendeskripsikan betapa kejamnya sang Ratu.