Sejak awal penciptaan, Iblis telah menghasut manusia untuk mengingkari Tuhan sebagai bentuk pembangkangan. Takkan pernah berhenti, takkan pernah menyerah. Adam menyalahkan dirinya untuk dosa terbesar… mengingkari kehendak Tuhan.
B-16 masih belum tahu apa yang akan kukatakan sebagai alasan meninggalkannya sekali lagi. Dia tampak damai, dengan kemeja putih bercorak sayap biru, begitu berkilau di bawah paparan Matahari yang membias dari atap kaca Black Cube. Perlahan, tanganku meraih kelopak matanya, menyapu air yang masih berlinang dan tak mampu jatuh, seperti air Surga yang enggan membasahi Bumi. Pupil emeraldnya melirikku, bersama senyum ramahnya yang menyimpan kekecewaan atas kebiadaban yang telah kulakukan.
“Profesor, kau mau tambah?”
“Nak, aku harus pergi.” Seperti bara di wajah Phoenix, B-16 menunjukkan kesedihan dengan air mata yang akhirnya jatuh. Tubuhku langsung menyelubunginya seperti selimut hangat dari penderitaan. “Jangan menangis.” B-16 selalu terisak setiap kali kuucapkan perpisahan, karena hal yang paling sulit diterima logikanya adalah kehilanganku. “Aku hanya pergi sebentar. Aku janji akan kembali.” Tangannya tak pernah setuju membiarkanku beranjak untuk mengemasi barang-barang, mengikatku dengan pelukan hangatnya, sambil menenggelamkan wajahnya di dadaku. “Aku janji akan pulang hari ini.” Perasaanku hancur ketika melepas genggaman B-16. Dia hanya terduduk sopan, ditemani Pumpkin yang selalu setia menghiburnya dari kekasaranku. Meninggalkannya sendirian adalah perlakuan terkejam yang selalu kulakukan pada makhluk suci itu.
Tanganku tak berhenti memasukkan berkas-berkas ke dalam koper hitam, sekaligus menyiapkan segala perangkat komunikasi yang bisa menghubungkanku dengan sahabat-sahabatku. Tak lupa, foto B-16 seukuran saku baju kusimpan baik-baik agar kelak, di tengah waktu sekarat, aku bisa memandang wajahnya yang menenangkan.
Sekali lagi, mataku menatap B-16 yang masih duduk sopan di area makan, melirikku sesekali seperti anak kecil yang mengintai kesempatan untuk mencuri sebuah muffin. Dia tampak takut, gundah, memikirkan penciptanya yang bekerja sebagai budak manusia paling biadab di kehidupan ini.
Sambil membawa barang bawaanku, tubuhku mendekati B-16, memeluknya lebih dalam, dan menempelkan bibirku ke ubun-ubunya. Air hangat mulai menetes dari kelopak matanya, membasahi pori-pori pergelangan tanganku, sebagai pekikan yang mencegahku pergi. Tubuhnya gemetar, lebih gemetar dibandingkan saat dia menceritakan mimpi buruk tentang kegelapan yang melahap cahaya. Wajahnya menoleh ke dadaku, memberikan embusan napas hangat yang membuat jantungku semakin pedih. Bibirnya berbisik tanpa nada, berusaha memintaku sehari saja untuk tinggal bersamanya. Hanya sehari. Namun, bibirku tak mampu menjawab permintaan itu, maupun mengucapkan kata perpisahan. Secara kasar, aku melepas jemari B-16 yang menempel di punggungku, dan beranjak pergi meninggalkannya untuk waktu yang tak bisa kutentukan.
“Aku janji, Nak.”
Di permukaan salju, tetesan air mataku membeku ketika meluncur dengan kecepatan medium. Rasanya sama ketika aku mendengar perkataan terakhir Ibu. Tempat teraman di kehidupan ini… hanyalah di Surga. Aku tahu, manusia memiliki emosi yang membuat mereka menjadi kuat untuk melindungi apa yang diyakininya. Jika butuh mengorbankan nyawa, tak satu pun kata yang bisa menyangkalnya. Dan itulah yang kulakukan untuk menyelamatkan apa yang kuyakini.
“Selamat datang, Prof. Hopkins! Kapal selam anda telah tersedia.”
Setelah menyiapkan pasokan makanan untuk kawanan Husky, kakiku mulai menuruni lubang palka menuju pelabuhan bawah laut. Tetapi ketika pandanganku menyatu dengan mata biru Pumpkin, kurasa bibirku harus memohon sesuatu padanya.
“Jangan pernah tinggalkan Puteraku sendirian. Okay?” Lolongan panjang Pumpkin membuatku sedikit lega jika dia akan selalu setia melindungi majikannya.
Di dalam kapal selam, aku harus mencari rute terdekat menuju pantai Australia. George sedang menungguku di sana karena kami harus bertukar posisi terlebih dahulu sebelum Paramiliter tahu jika George adalah palsu. Napas beratku membuat gusar, serasa memindahan berton-ton batu yang menimpa jantungku. Batu-batu itu telah menguburku sejak langkah pertamaku meninggalkan B-16.
Aku tak pernah menginginkan satu pun dari ini, tak pernah ingin berada di dalam permainan konspirasi mereka. Aku hanya ingin kehidupan normal, bersama Putera tercintaku, di padang rumput hijau terakhir. Apa itu mustahil kugapai?
Kapal selam mulai memasuki Samudera Hindia, sekitar 15 menit lagi untuk sampai di pelabuhan bawah laut pantai timur Australia. Komando statistik telah mengirimkan George sinyal untuk menyiapkan sistem kamuflase sebagai pelindungku dari intaian Paramiliter. Keberadaanku harus diselundupkan sampai tiba di Sydney.
“Itu dia.” Dari kejauhan, mataku menangkap kerlipan merah sebagai konfirmasi kedatanganku dan membuka gerbang menuju akses pelabuhan bawah laut.
Di dalam kanal, pasukan Misionaris membantuku keluar dari kapal selam. “Sebelah sini, Profesor.” Jenderal Sherman langsung memimpin jalan ke permukaan tanah. Dia melapor jika sistem kamuflase telah siap melindungiku menuju rumah. “Silahkan, Profesor.” Aku masuk ke dalam mobil bernavigasi tunggal yang hanya mematuhi komando George. “Tetaplah hidup, Profesor.”
Di mobil, aku memeriksa laptop untuk mengidentifikasi IP address yang Ratu gunakan untuk memerintah atasenya di Moscow. Ratu telah siaga meluncurkan misil nuklir ke Georgia sebagai peringatan untuk Presidennya agar menyerah dan mendeklarasikan negaranya sebagai teritorial Rusia. Ratu ingin menciptakan perang sipil untuk menggerakkan masyarakat dunia menghujat Presiden Rusia yang melakukan genosida. Setelahnya, Ratu akan unjuk diri sebagai aktivis perdamaian, membantu para pengungsi, dan mengutuk kejadian perang yang diciptakannya sendiri.
Paling tidak, dia ingin dikenal seperti aktivis mulia Rachel Corrie, meskipun tak harus tewas di medan perang. Simpati masyarakat akan mengalir deras untuk mendukung sang Ratu sebagai figur penyelamat. Sebelum mimpi buruk itu terjadi, aku harus mematikan komputer hulu ledak dengan skenario jika 20% error terjadi pada satelit saat mengonfirmasi sandi suara Ratu. Inilah alasan mengapa wanita itu ingin menemuiku karena akulah pihak yang mengontrol navigasi hulu ledak.
“Sir, selamat datang di rumah.” Supir membukakanku pintu mobil dan membawa barang-barangku masuk ke rumah. Aku memeluk George erat, berusaha membagi ketakutanku pada kekuasaan sang Ratu.
“Ayo! Hanya beberapa jam lagi sebelum Ratu gusar menunggumu.” Aku mengangguk sebagai respon kecemasan George.
Seorang asisten mulai merubah tampilanku ke dalam wujud yang disukai sang Ratu, dengan rambut pirang pucatku dan sedikit uban yang mengisyaratkan umurku saat ini. Dia memakaikanku kemeja hitam sederhana dan celana dasar gelap dengan efek gradasi ketika terpantul cahaya. Sepatu hitam mengkilap juga melapisi telapak kakiku yang bengkak, berusaha membuat Ratu kagum akan benda-benda kesukaannya. Benda berkilau. Asisten itu juga membiarkan kancing leherku terbuka karena pertemuan ini bukan sesuatu yang formal.
“Okay,” George mendekat dan menepuk pundakku. “Ini tasmu. Semoga pertemuannya menyenangkan dan sampai jumpa di Tokyo.” Aku mengangguk pada George sambil mengikuti asisten menuju pesawat jet yang akan menerbangkanku ke Hamburg. Dengan kaca mata hitamnya, George melambaikan tangan padaku saat aku menatapnya dari jendela pesawat jet. Bibirnya berbisik, “tetaplah hidup.”
Tengah hari. Dengan pesawat jet ini, Pilot hanya butuh waktu kurang dari sehari untuk membawaku ke Hamburg. Artinya, aku akan sampai sekitar pukul enam pagi zona waktu Jerman. Ratu seharusnya sedang menyiapkan sarapan untuk si kembar karena bus sekolah akan menjemput mereka pukul delapan pagi. Memikirkan hal itu, mengingatkanku pada B-16 yang tak punya kesempatan untuk menikmati setiap mata pelajaran di sekolah formal, bersosialisai dengan teman-teman seumurannya, saling membantu, dan yang terpenting adalah dia bisa melihat bagaimana wujud asli dunia di luar penjara Black Cube. Namun, aku masih beruntung jika seekor Siberian Husky akan selalu mengerti Puteraku apa adanya.
“Hey, Nak,” gumamku sambil melihat foto B-16. “Apa yang sedang kau lakukan?” Dia makhluk sederhana dengan cinta di dalam otak bionic-nya, berdegup secara konstan, selaras dengan alam yang membiarkan Cenderawasih terbang bebas di atas padang rumput kesukaannya. Mata emeraldnya tak bosan-bosan memberiku harapan, sekaligus sisi rapuh dari setiap hati manusia, dan hidup bersama kebiadaban yang menyiksa mereka dalam kebohongan. Sebuah harapan yang akan bangkit di hari perhitungan. Sebuah harapan terakhir sebelum manusia lupa siapa jati diri mereka yang sebenarnya.
Aku suka memanggil proyekku bersama Misionaris sebagai pemberontakkan. Tetapi, pemberontakan seharusnya menghimpun banyak simpatisan, tak hanya 20 Prajurit handal yang mengontrol misi dan menghasilkan keputusan tepat di situasi terburuk. Kevin dan George terus mencari kandidat terbaik tanpa membuat mereka mati setelah gagal dalam tes —sang Ratu akan membunuh ‘sampah’ yang gagal masuk Paramiliter untuk menghilangkan barang bukti keberadaannya— yang tentunya berpengalaman dalam menentukan mana si penyusup Paramiliter dan mana anak didik baru terkualifikasi. Jika mereka gagal dalam tes dan terbukti sebagai masyarakat sipil biasa, mereka akan hidup kembali secara normal di bawah pengawasan Misionaris. Tetapi jika mereka terbukti sebagai Paramiliter, eksekusi mati akan ditimpakan tanpa pengampunan.
“Hey, Kakek Tua! Bagaimana kabarmu?” Aku sedang melakukan video meeting dengan Kevin yang berkeringat seperti habis menyeret ratusan banteng ke kandang. Kevin tampak sedang mengikat seseorang, bukan, banyak orang yang matanya ditutup kain hitam. “Bella, ambil alih penanganan.” Kevin menunjuk rekannya untuk menggiring manusia-manusia yang mulai berontak itu, lalu berjalan menjauhi mereka, sambil membawa laptop dan segelas wisky-nya ke dalam ruang privasi untuk mengobrol bebas denganku. “Para umpan itu sedang menuju pesawat yang akan dijatuhkan di St. Peter’s Square. Setelahnya, wanita itu pasti memerintahkan Paramiliter untuk membawaku bertemu dengannya di Prime Headquarter.”
“Kau sudah punya testimoni?” tanyaku tak yakin.
“Untuknya? Tentu!” Kevin meneguk wisky dalam sekali waktu dan mengunyah es untuk mendinginkan kepalanya. “Akan kukatakan: betapa geramnya aku ketika dia meninggalkanku di Vegas setelah menikmati tubuhku. Ha-Ha-Ha…” Sungguh, bocah di hadapanku tak pantas menjaga Puteraku kelak.
Misi Kevin adalah meledakkan pesawat Pemerintah U.S., berisikan 100 Paramiliter yang kami ciduk untuk membingungkan sang Ratu tentang apa yang sedang terjadi. Misi ini akan membuat Pejabat Tinggi Adidaya geram dan menyalahkan Ratu yang tanpa pemberitahuan melaksanakan proyeknya. Ribuan Umat Katholik akan mengutuk dan melawan Pemerintah Amerika sebagai konspirasi yang memaksa masyarakat berpikir apakah ini ulah Pentagon yang menggunakan Al-Qaeda sebagai kambing hitam? Membunuh rakyat Muslim tak bersalah untuk alasan invasi?
“Tentu tidak, Pak Tua!” Kevin melanjutkan jawabannya yang sempat kuabaikan. “Dia bakal tertawa jika kukatakan itu.” Mata biru Kevin tampak menelusuri sebuah kecemasan yang tak diketahuinya. “Semuanya terlaksana dengan bersih, bebas barang bukti. Dan sebenarnya, misi anarkis ini akan mengambing-hitamkan seorang Commander Paramiliter. Dan sang Ratu akan memerintahkan pihak otoritas tertinggi untuk membebas-tugaskan Commander itu… maksudku, membunuhnya.”
“Bagaimana jika Ratu tetap bersikukuh mengundangmu ke Headquarter, menginterogasimu dengan bengis, atas apa yang telah kau lakukan kemarin malam di pestanya?”
“Oh,” Kevin mengangkat satu kakinya ke atas kursi dan mulai tersenyum seperti Iblis. “Jika itu terjadi, baru kugunakan alasan mengapa dia meninggalkanku di Vegas.” Kevin menuang wiskynya lalu menawariku. “Pak Tua, berlebihan jika Ratu menyiksaku. Aku ‘kan hanya menulis kenyataan tentang RATU PALSU, PEJABAT PALSU, CAMARLINGUS PALSU di beberapa kaca kamar mandi. Ah! Pasti bukan hal penting untuknya,” tawa Kevin begitu puas, lalu melirikku penasaran. “Pak Tua, bagaimana simbol kita menyongsong Dunia Baru?”
“Aku tak punya waktu memikirkannya. Kupercayakan saja padamu selama kau bisa menyatukan manusia untuk bergabung bersama kita.” Kevin mengerti dan mengacungkan kedua jempolnya. Tanpa basa-basi lagi, dia mengucapkan perpisahan karena harus mengontrol misi yang diselubungi metode 9/11.
Sungguh… aku merasa bersalah atas tragedi yang menimpa salah satu pesawat komersil Malaysia. Karena Atase yang dicurigai Ratu berada di penerbangan itu, ratusan penumpang tak bersalah harus menanggung kebiadabannya. Akulah orang yang mengirim transmisi rahasia sebagai bug ke Departemen Pertahanan China tentang kordinat lokasi Prime Headquareter, dan akhirnya membunuh ratusan manusia tak bersalah yang memiliki keluarga di rumah masing-masing, menunggu beberapa dari mereka untuk merayakan ulang tahun ke-16 anaknya, termasuk membiarkan Atase —yang tak tahu menahu atas tindakanku— disiksa mati-matian di penjara bawah tanah terdalam. Awalnya aku berharap, dengan mengirimkan kordinat tersebut, Presiden China mau menguji misil balistika antar benua mereka, sehingga aku dan para Misionaris bisa mendapatkan petunjuk di mana keberadaan Prime Headquarter. Aku sungguh minta maaf.
***
“Kita akan mendarat di bandara dua menit lagi, Sir. Tolong gunakan sabuk pengaman.” Waktu berlalu cepat. Melihat Hamburg dari langit, rasanya begitu menakjubkan, memaksaku tetap tenang selama beberapa jam ke depan bersama Ratu. Di landasan pacu, sudah ada jejeran mobil hitam, dilindungi oleh pasukan Paramiliter yang memakai pakaian formal serba hitam, dan menyambutku dengan senyum palsu. Tak seorang pun bisa dipercaya.
Jet akhirnya mendarat sempurna. Pilot membuka pintu untuk Mary Sue yang berjalan masuk begitu anggun, bersama otoritas keamanan Paramiliternya, memeriksaku dengan standar operasi yang memuakkan —pemindaian dan prosedur tes kesehatan— sampai aku dinyatakan bersih untuk menemui sang Ratu.
Mary Sue memeriksa laptopku dan memintaku mengonfirmasi kata sandinya. Aku mengerti. Untuknya, kuberikan layar tampil yang berisikan proyek sang Ratu, bukan proyek yang kusembunyikan untuk pemberontakan. Laptopku memiliki tiga sub-partisi yang masing-masingnya dilindungi algoritma kamuflase. Proyek sang Ratu, proyek pemberontakan, dan penciptaan B-16. Untuk mengakses sistem keamanan proyek pemberontakan dan penciptaan B-16, mereka tak bisa membukannya sebelum membunuhku terlebih dahulu, kemudian menaksir berapa banyak sel saraf segar yang masih bekerja di otakku, tepat satu menit aku dinyatakan tewas. Tak sampai di situ, mereka harus menginputkan jumlah sel tersebut ke dalam formula Euler sampai hasil proposional imajiner muncul. Mereka takkan bisa meretas logika basisku karena tak satu pun orang yang bisa menghancurkan benteng pertahanan terakhirku untuk B-16.
“Baik, Sir. Anda dinyatakan bersih. Selamat datang di Hamburg,” Mary Sue memberiku senyuman manis saat kami beranjak keluar pesawat.
Berjalan di landasan pacu menuju mobil, Mary Sue akan membawaku ke Safe House di mana dokumen EFC berada. Inilah proyek terakhir yang harus diselesaikan untuk menggapai Kehendak sang Ratu.