Aku mendengar lantunan musik instrumental, lagu klasik tepatnya, lagi-dan-lagi dimainkan tanpa henti. Mungkin, hanya ada lagu itu di playlist-nya. Ketika mata buramku terbuka, aku bisa merasakan sesuatu yang lengket dan menyengat sedang menjilati bibir dan hidungku. Bahkan, beberapa bulu tertelan oleh mulutku.
“OH SIAL!” Gemetar, aku membanting diri ke lantai, menghindar sejauh mungkin dari terkaman Serigala salju itu. “Benar-benar sial!” Ini hanya mimpi… bangunlah, Kevin… Bangunlah!!
“Selamat pagi, Vice-Admiral Kevin Humphrey…”
“KAU SIAPA!?” Aku terperanjat hingga membentur sanding laci, menjatuhkan pistol ke pangkuanku, dan langsung membidik kepala Pemuda cepak itu. Telunjukku menekan pelatuk pistol hingga peluru melesat ke sisi samping telinganya, gagal menghancurkan tengkoraknya karena tanganku tak berhenti gemetar.
Pemuda itu menatapku takut, begitu pucat seperti kulitnya yang kuning langsat, namun tetap teguh memegang mug merah beraroma cokelat panas. Penampilannya yang lembut berhasil membuatku jatuh tak berkutik ke karpet bulu domba, melihat kakinya yang tergopoh-gopoh mendekatiku seperti sedang memburu mangsa. Tangannya yang lembut meletakkan kepalaku ke pangkuannya, mengusap kening dan ubun-ubunku yang membengkak, kemudian melekatkan handuk hangat di atasnya.
“Aku membuatkanmu susu cokelat karena hanya ini yang berani kuambil dari tas merah Profesor.” Mata emeraldnya yang sipit kembali berlinang, meneteskan air yang kembali jatuh ke bibirku. Lenganku bisa merasakan gemetar jarinya saat menggenggamku, berusaha membagi beban yang tak kuketahui, namun bisa meremukkan jantungku. “Aku…”
“Kau siapa?” Kemudian, kegelapan melumat pandanganku.
Di masa lalu, aku memimpin Batalion untuk menyelesaikan misi berbahaya di Afghanistan. Tujuannya adalah menyisipkan Bin Laden palsu ke barak ekstrimis di Lembah Jourah, sebuah tempat terisolir di bagian selatan Afganistan. Kami sebenarnya berhasil menangkap Bin Laden yang asli dan menyanderanya di Camp X-Ray untuk menggali informasi tentang kode akses laboratorium nuklir Iraq. Mungkin itu sebabnya Prof. Hopkins dihina oleh Raja Jazeera saat mengajukan proposal Misionaris karena Profesor berpihak padaku.
Rachel memintaku secara diam-diam untuk menyusupkan Bin Laden palsu ke Militer Taliban karena Asset itu akan memimpin kejadian 9/11. Dunia luar hanya tahu jika Bin Laden melakukan tindakan keji setelah membunuh ribuan manusia tak bersalah. Dan sekali lagi, Rachel berhasil menghasut masyarakat dunia untuk mengutuk penduduk Timur-Tengah, termasuk memudahkannya mengambil alih kepemimpinan di ‘Tanah Tak Bertuan’ hari ini. Selain itu, Rachel bisa menggunakan penduduknya sebagai input program ‘cuci-otak,’ memperkuat Batalion Paramiliternya saat perwakilan negara perserikatan pura-pura buta atas apa yang terjadi. Bagaimana nasib Bin Laden yang asli? Kami menyiksanya, namun tak sampai mencabut nyawanya. Dia sungguh tangguh, begitu yakin dengan ideologi dan keyakinannya untuk tak pernah memberikan apa yang Ratu mau.
Ada sebuah malam ketika Ratu mempercayaiku untuk memburu Taliban di tepi barat Afghanistan. Bunuh setiap manusia yang kau temui di sana, dan jangan biarkan satu bukti pun hidup. Prof. Hopkins di kala itu bergabung dengan pasukanku, menyaksikanku membunuh sekitar 350 anak kecil di sekolah mereka, dan membumi-hanguskan kampung itu seperti tempat yang tak pernah ada sebelumnya. Tak tahu alasannya apa, tapi hatiku terus berontak saat melihat api menjilati para penduduk yang kupikir tak ada sangkut-pautnya di dalam konspirasi Rachel. Pikiranku terus memaksaku yakin jika yang kukerjakan adalah perbuatan Iblis dan tak sepatutnya disentuh manusia.
Setelah menyelesaikan misi, aku mengunci diri di dalam kamar, berusaha menyakiti sekujur tubuhku untuk merasakan pedihnya siksaan yang kulakukan pada mereka. Jika Prof. Hopkins saat itu tak menyelamatkanku… mungkin… aku takkan hidup sampai hari ini. Dia penyelamatku.
Tiga tahun setelah 9/11, Ratu memandatkan perintah selanjutnya. Melepas Bin Laden yang asli dan biarkan SEAL membunuhnya. Saat itu, ada seorang agen CIA, seorang wanita muda dan sahabatku yang menyimpan misi rahasia di pikirannya: mengungkap jati diri sang Ratu. Dia hampir berhasil menyelesaikannya… hampir… sebelum pasukan Paramiliter meringkusnya untuk diinterogasi di Prime Headquarter.
Tanpa ampun, Rachel memerintahku untuk menyiksanya, memberiku kesempatan untuk menatap mata emerald sahabatku yang penuh keteguhan, dengan bibir keringnya yang tersenyum karena tak mendapat jatah air sedikit pun. Satu hal sebelum aku menembak kepalanya, dia berkata harapan akan memperlihatkan kebenaran bagi manusia yang rapuh… percayalah, Kevin.
Setelah kematiannya, aku mulai berontak, tak peduli lagi apakah nyawaku akan dicabut Rachel karena berulang kali gagal menyelesaikan proyek. Dan sekali lagi, Prof. Hopkins menemuiku, menyelamatkan nyawaku dari kebimbangan manusia hina. Dia memberiku harapan untuk hidup, untuk menguak kotak kebohongan Rachel yang mengendalikan para manusia tolol. Dia membawaku ke jati diriku yang sebenarnya, tak pernah membiarkanku terpuruk di tengah hasratku yang ingin mengakhiri nyawa. Dia satu-satunya penyelamatku sebelum Rachel membunuhnya.
Proyek pertama yang kuselesaikan bersama Prof. Hopkins adalah membuatku mengaku pada Badan Intelijen Amerika jika akulah pembunuh Bin Laden. Prof. Hopkins berhasil meyakinkan Rachel jika aku masih dalam kendali program ‘cuci-otak,’ sekaligus memberitahunya jika kasus itu bisa dijadikan konspirasi untuk meyakinkan Pejabat Tinggi Adidaya setelah Fat Little Dutchman mempermalukannya. Prof. Hopkins mau agar aliansi Paramiliter percaya jika Rachel dengan senang hati akan melakukan apapun untuk memuaskan hati mereka, termasuk menjual Paramiliter handal untuk melakukan tugas apapun.
Aku membuktikannya dengan membunuh lebih dari 35 tahanan politik penting, sebagai tindakan mengunci mulut mereka yang hendak bertestimoni jika kerusuhan di Timur-Tengah didalangi oleh Pentagon. Dan Pejabat Tinggi itu harus segera membebaskanku sebelum rasa haus-darahku menjadi brutal, membunuh seluruh manusia di dalam penjara terkutuk Siberia.
“Vice-Admir…”
Tubuhku yang terkejut bangkit untuk mengunci leher Pemuda cepak berkulit kuning langsat, lalu menempelkan moncong senjata api ke sisi kepalanya. Aku bisa merasakan sesaknya dia ketika menghirup oksigen, membuatku makin mencengkeramnya erat sebelum dia membunuhku. Namun, pola kotak hijau di kemeja putihnya mengingatkanku pada kupu-kupu yang membuka gerbang akhirat.
“Kau siapa!? Untuk siapa kau bekerja!?” hardikku pada si Pemuda.
“A-aku… akh… Aku tak mengerti…”
Mataku tak berhenti mengamati sekeliling ruangan yang memberiku perlindungan dan selimut beludru. Kamar tidur mewah ini serupa dengan kamar tidur Ratu Elizabeth di Istana Buckingham. Tapi yang membuatku cemas adalah tatapan pembunuh selusin Serigala yang geram atas tindakanku. Taring mereka bergetar, meneteskan liur kental, dan siap-siap mencabik kulitku sebelum telunjukku melepaskan tembakan.
Seketika, otakku terasa kaku, seperti dihentak sengatan listrik yang melumpukan seluruh otot gerakku. Sendiku terasa nyeri, tak mampu menahan tubuhku hingga jatuh menuju lantai. Dengan sigap, si Pemuda membalikkan tubuhnya dan menahanku dengan gerak jatuh perlahan, lalu meletakkan kembali kepalaku ke pangkuannya. Dia mengalungi hidungku dengan kanula agar oksigen segar bisa mengalir ke paru-paruku yang sesak.
“Bagaimana perasaanmu, Vice-Admiral Kevin Humphrey?”
“Berapa lama... aku tertidur?”
“Sepuluh hari.”
Rusukku seperti remuk setelah mendengar jawaban Pemuda cepak. Sayangnya, otot-ototku tak memiliki energi karena hipotermia menciptakan efek samping di sistem metabolismeku. Dan hal terbodohnya, aku membiarkan tubuh lemahku sebagai sasaran kawanan Serigala yang lapar.
Sekitar 30 menit, otakku berusaha fokus untuk tidak menghiraukan rasa sakitku. Membunuhnya. Aku bisa merasakan aliran darah mulai deras melintasi jemari tangan dan kakiku, menggerak-gerakannya sedikit, lalu berusaha bangkit dan duduk menyender di atas kasur. Di sebuah partisi yang kupikir dapur, Pemuda cepak sedang menyiapkan sesuatu yang menggelitik hidungku, sesuatu yang dibuat George untuk Prof. Hopkins sebagai makan siang terakhirnya. Sukiyaki.
Aku tak tahu apa yang salah denganku, atau mungkin karena aku tak mandi selama sepuluh hari. Para Serigala itu benar-benar membidikku tajam dengan mata biru mereka, dengan bibir yang mendengus sebagai ancaman jika taring mereka siap menerkamku. Aku tak peduli. Yang kuperlukan adalah mengambil gulungan hologram yang berserakan di dekat tas merah Prof. Hopkins.
“Hussh!” Bibirku berusaha mengusir Serigala bodoh itu tapi mereka terus mengikuti ke mana pun kupergi. Aku melewati sekitar 13 sampai 15 jejeran papan tulis virtual, berisikan perhitungan kontinyu yang rumit dan simulasi untuk menguji setiap konstrain yang mempengaruhi model matematisnya. Aku bisa melihat bentuk sel saraf empat dimensi, terus berputar pada sumbu x searah jarum jam dengan latar belakang biru. Tampaknya, seseorang sedang menguji sebuah formulasi untuk meretas sistem keamanan Profesor. Tapi… mustahil.
Di pojokan, aku melihat ruang kerja Prof. Hopkins, dengan komputer canggih dan rak berisikan ratusan buku yang dipaksa muat. Juga, ada beberapa jurnal yang sedang dikerjakannya, blueprint dari inovasi terbaru yang ditemukannya, dan… “bukankah ini… Pemuda itu?” Sebuah bingkai kayu seukuran telapak tangan menyimpan foto Prof. Hopkins bersama Pemuda itu. Mereka tampak damai di depan perapian di sisi lain ruangan kubus ini. Apa dia keponakannya? Karena yang kutahu, Prof. Hopkins tak memiliki Anak ataupun Isteri. Dan kutahu, Rachel pasti sudah membunuh mereka terlebih dahulu.
Berhenti memikirkan foto itu, aku tergiur untuk mengakses laptop Prof. Hopkins yang mungkin bisa memberikanku informasi mengenai lokasiku berada, dan tentu, lokasi di mana dia menyembunyikan bionic itu. “Sial! Aku tak tahu sandinya.” Otakku yang cedera saat ini tak mampu membajak algoritma sistem keamanan yang diciptakan Profesor, atau mungkin, tak satupun ilmuwan tercedas di dunia yang bisa membajaknya. Sial.
“Vice-Admiral Kevin Humphrey,” ucap Pemuda cepak yang membuyarkan konsentrasiku. Kepalaku menoleh padanya yang membawa senampan makanan. “Mari makan malam. Ubah ruangannya, please.” Tubuhku langsung panik merasakan getaran yang terjadi di ruang kubus ini. Dinding-dindingnya seakan hidup, bergerak secara vertikal dan horizontal… a-atau… berubah menjadi bentuk-bentuk mewah lainnya, dilengkapi furnitur mahal, menjadi sebuah ruang makan elegan.
“Apa yang terjadi!?”
“Ayo.”
Pemuda itu berdiri di sisi samping meja makan, begitu sopan, dan memintaku untuk segera duduk di kursi yang dia sediakan. T-tapi, geraman para Serigala tak berhenti padaku, seakan merasa tak rela jika aku mendapatkan perlakuan baik Pemuda yang kupikir… telah menyelamatkanku.
“Hey,” acung telunjuk Pemuda itu di udara, “bersikaplah sopan. Dia tamu kita.” Secara perlahan, tangan pemuda itu mengusap lembut kepala dan leher masing-masing Serigala, mengubah ekspresi mereka menjadi ramah dan penuh kasih sayang. Dia menyiapkan 12 piring keramik, lalu meletakan daging Sukiyaki ke masing-masingnya dengan adil. Wajahnya tersenyum melihat sekawanan Serigala yang lahap menyantap masakannya… bukan menyantap dagingku. “Mereka sungguh hewan yang ramah,” mata emerald Pemuda itu menatapku, “dan mereka bukan Serigala. Mereka Siberian Husky.”