Belum pernah aku merasakan betapa segarnya tubuhku seperti pagi ini. Otot-ototku sungguh ringan, kencang, dan aku sudah bisa mengendalikan seluruh alat gerakku. Di sampingku, B-16 masih terlelap bersama Pumpkin yang menyelubungi tengkuknya. Serigala itu bisa-bisanya mendengkur tanpa mempedulikan B-16 yang mungkin terganggu… atau tidak sama sekali. Sebaiknya, aku segera mandi karena bau amis sudah melekat di sekujur kulitku. “Kubawa ini juga.”
Sebelum air hangat segar membasahi tubuh, aku perlu melakukan peregangan terlebih dahulu untuk melemaskan beberapa otoku yang masih kaku. Tapi, di kamar mandi ini, aku tak bisa menemukan alat binaraga, hanya ada furnitur mewah seperti di ruang utama Black Cube. “Ini alasannya kenapa Pak Tua sering sakit punggung. Dia jarang berolah raga.” Pilihan lain, aku menelanjangi diri dan mulai berlari mengitari kamar mandi.
Wow! Kamar mandi ini ternyata cukup luas dan memiliki beberapa furnitur yang bisa kualihkan sebagai alat olah raga. Setelah mengitari kamar mandi sepuluh kali, aku terlentang di atas lantai dan melakukan sit-up sekitar seratus kali. Rasanya, otot perut dan punggungku terbakar, menghasilkan keringat yang mulai membanjiri lantai keramik kamar mandi.
“Ganti posisi.” Jika B-16 di sini, aku bisa menjadikannya sebagai partner olah raga, menyuruhnya duduk di atas punggungku selagi kumelakukan push-up. Aku bisa merasakan aliran napasku lancar, mengirim jutaan oksigen yang diikat hemoglobin ke seluruh sel-sel tubuhku. Kalori yang terbakar membuat kepalan tanganku semakin kuat saat menahan tubuhku yang naik turun secara vertikal, semakin keras dan kasar agar bisa melindungi B-16 dari intaian Paramiliter.
Sejam berlalu. Aku mulai mengisi bath-up dengan campuran air hangat dan sabun cair saat melakukan pendinginan. Melihat busa sabun yang hampir menutupi permukaan air, membuatnya seperti bom waktu yang tiba-tiba meledak dan melahap kehidupan. Setelah cukup, aku langsung membenamkan diri dan mencari posisi telentang yang nyaman.
“Ahh… Surga dunia.” Tanganku meraih gulungan hologram yang kubawa, mulai menelusuri kembali rancangan B-16 yang diciptakan Profesor. Anehnya, sama sekali tak bisa kuidentifikasi bagaimana Pak Tua membangun Pemuda cepak itu. Manusia bionic. Tak ada petunjuk mengenai awal pembentukan B-16, hanya ada struktur otak dari kecerdasan buatan yang dimaksudkan untuk menghancurkan sang Ratu. “Dia tanggunganku sekarang, alasanku harus mengubah sikap menjadi lebih dewasa. Sial.”
Berjalan keluar kamar mandi, aku melihat B-16 sedang mencuci wajahnya di wastafel, lalu mengeringkannya secepat mungkin dengan handuk kecil yang digantungnya di leher. Mata emeraldnya yang lembab menatapku, membiarkan bibirnya tersenyum saat berjalan mendekatiku.
“Aku sudah selesai memakai kamar mandi,” kataku. Dia mengangguk dan malah menyeretku ke lemari pakaian. Kupikir dia akan mandi. “Wah…” mataku melihat rancangan baju yang tampak berbeda dari yang dikenakan manusia sekarang, seperti baju yang berasal dari zaman futuristik. “Siapa yang merancangnya.”
“Profesor,” lugas B-16. Aku mengangguk sambil mengambil celana jeans hitam dan kemeja army berpola 3D gelap. “Kupikir, bajuku muat di badanmu.”
“Tinggimu berapa?” B-16 kebingungan menjawabku. Tanganku mencengkeram belikatnya, lalu menempelkan tubuhnya ke dadaku. Ternyata, daguku masih bisa menyentuh kening B-16. “Kau sekitar 180 cm, tak jauh beda dari tinggiku. Bagaimana beratmu?” Aku memutar B-16 sambil mengamati tubuhnya yang cenderung kurus namun sedikit berisi, tapi tak berbentuk. Tentu saja. Dia hanya tahu bagaimana caranya makan, belajar, dan bermain bersama Serigala. “Kupikir sekitar 80 Kg. Kau harus rajin membentuk tubuhmu.” Dia tak mengerti maksudku.
Aku langsung memakai baju rancangan Profesor, lalu menatap bayanganku di kaca sambil memamerkan bentuk tubuhku yang gagah.
“Bagaimana? Keren, ‘kan?” pamerku.
“Ya.” Ya? Hanya ya? B-16 hanya berjalan pergi menuju ruang makan tanpa ekspresi apapun. Dia gila! Supermodel dunia saja mengagumi kejantanan tubuhku, berharap bisa menghabiskan malam bersamaku sebagai kenangan tak terlupakan. Dan dia, bocah tengik itu, sama sekali tak memuja tubuhku? Memang, aku tak tahu apa yang ada di pikirannya. Tapi paling tidak, memujiku sedikit tak ada salahnya, ‘kan? Dasar kutu buku.
Di meja makan, Pumpkin dan kawanannya menciptakan simfoni lolongan paduan suara, begitu lucu mengiringi B-16 yang menyiapkan kami cokelat panas. “Maaf. Aku kehabisan telur,” ucap B-16. Aku mengangguk sambil menepuk pundaknya. Saat hendak mengambil mug berisi cokelat lezat, B-16 menggenggam tanganku duluan sebagai tanda ingin berdoa terlebih dahulu. Tapi, perutku sudah lapar setelah olah raga berat. “Wahai Tuhanku, terima kasih atas berkahMu pagi ini, untuk sarapan terlezat yang bisa mengenyangkan perut kami. Terima kasih Tuh…”
“Hey Tuhan,” sela-ku di akhir doa B-16. “Berikanlah Prof. Hopkins bir dingin di sana. Dia pantas mendapatkannya. Amin.” Aku menyapu wajahku dan mulai mengarahkan cokelat panas yang tak sabar kuteguk. “Ahh… enak sekali!” Namun, mataku melirik B-16 yang memasang raut wajah datar, seakan tak puas atas selaanku pada doa tulusnya. “Hey,” aku menyentuh dengkul B-16 dengan kakiku. “Percayalah. Dia pantas mendapatkannya.” B-16 akhirnya tersenyum, mulai menyantap cokelat panasnya, diiringi lantunan musik lolongan Serigala yang menyebalkan.
Sarapan selesai. B-16 mengubah struktur ruangan menjadi hunian yang lebih nyaman untuk berkumpul bersama keluarga. Secara otomatis, papan tulis bersih muncul dari lantai kayu, memberiku pertanda jika dia ingin mempelajari sesuatu dari ilmu yang kumiliki.
“Kau ingin belajar strategi Militer?” B-16 menatapku bingung. “Profesor pernah mengajarimu strategi Militer?” Kepalanya menggeleng.
“Profesor mengajariku ilmu sains: fisika, matematika, kimia, dan biologi. Terkadang, dia menceritakanku sejarah sang Ratu.” Mataku terbelalak karena teringat sesuatu yang harus kuajarkan padanya. Jari-jariku dengan cepat mengambil spidol dan menggambar piramida yang berisi tiga proyek terbesar sebagai dasar konspirasi sang Ratu.
“Dengar," bidikku ke mata B-16. "Untuk menggapai obsesi terakhirnya, Ratu harus menyelesaikan tiga proyek terbesar hingga dia membangkitkan Satu Perintah Dunia sebagai kehendaknya. Pertama," jariku menulis rangkaian kata yang mulai terserap ke dimensi virtual, "pimpin Umat Katholik untuk membunuh para Muslim. Proyek ini telah selesai dilaksanakan. Pemicunya adalah mentransformasi isi Mushaf Kuno tentang penyaliban Yesus Kritus. Prof. Hopkins telah membuat inskripsi palsu sebagai sistem kamuflase untuk melindungi Mushaf yang asli. Tapi, aksi sang Ratu telah memaksa Umat Katholik tetap membantai masyarakat Muslim di beberapa tempat, meskipun Misionaris telah menyadarkan Pemerintah Italia tentang campur tangan Paman Sam di dalam kasus ini.”
“Kevin…”
“Kedua, melakukan invasi ke Timur-Tengah dan negara bekas Uni Soviet untuk memperluas daerah teritorial Tanah Utara sebagai sistem pertahanan terkuat Paramiliter. Aku dan Prof. Hopkins telah memerintahkan prajurit Misionaris untuk menyusup ke kubu Paramiliter di Russia dan France Headquarter. Rachel… kau tahu, sang Ratu… akan berpura-pura sebagai aktivis kemanusiaan saat perang sipil terjadi, setelah dia menghancurkan wilayah target dengan hulu nuklir. Dia ingin memutar-balikkan fakta dengan menghasut masyarakat dunia jika Rusia telah melakukan genosida secara besar-besaran. Keuntungannya adalah Pejabat Tinggi Adidaya memiliki kesempatan sebagai penolong dengan mendukung NATO menghentikan aktivitas Militer Rusia. Dan tentunya, untuk memperbaiki keteledoran yang tak Rachel perbuat di St. Peter’s Square.” Aku makin bersemangat mengilustrasikan proyek Paramiliter.
“Kevin…”
“Keuntungan lainnya, konspirasi ini bertujuan untuk membodohi Jenderal Perang Tanah Utara yang berpikir jika Rachel berada di pihaknya. Padahal, Rachel akan melengserkan jabatannya dan mengambil alih sistem kepemerintahannya, menjadikan Tanah Utara dan negara bekas Uni Soviet sebagai ‘Tanah Tak Bertuan.’ Rachel akan menyatukan seluruh penduduk di kawasan teritorial itu sebagai input program ‘cuci-otak,’ sekaligus mengimprove teknologi nuklir Rusia.”
“Kevin…”
“Yang terakhir, menunjukkan pada mata dunia tentang kolaborasi Pemimpin Negara Adidaya —para aliansi Rachel— yang memimpin proyek jahanam saat kekacauan mulai tampak, menciptakan kepanikan masa di penjuru dunia, dan menjadikan Bumi sebagai tempat paling berbahaya untuk dihuni makhluk hidup. Dan ketika manusia diliputi kesengsaraannya, Rachel akan menampakkan dirinya sebagai Pemimpin Absolut yang mampu menyelamatkan mereka, dengan menyisipkan Satu Perintah Dunia yang tak terbantahkan.” Ilustrasi ini membuat tanganku kaku.
“Vice-Admiral Kevin Humphrey!” Mataku terbelalak melihat B-16 yang mulai menangis. Penjelasanku yang menggebu-gebu tak menghiraukan perasaannya, membuatnya ketakutan setengah mati mengapa Tuhan menciptakan makhluk sekejam Rachel? Berusaha lembut, aku mendekap kepalanya di antara pundak dan lenganku. “Manusia tak seharusnya sekejam itu karena kita semua setara di mata Tuhan. Kita seharusnya menolong sesama dan menciptakan perdamaian. Karena dari awal, manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk merdeka.”
“Maafkan aku, Buddy," genggam tanganku mengarahkan wajah B-16 ke mataku. "Namun, manusia selalu mengikuti nafsunya dan tergiur oleh bantuan Iblis.” Aku menatap wajah B-16 dan memberitahunya jika dia haruslah siap, kuat, untuk menghadapi kenyataan dan dusta yang menyelubungi hidup dengan kebrutalan. “Dan kita akan memberi mereka harapan, ‘kan? Sama seperti matamu yang selalu memberiku harapan.”
Tanganku menyeret B-16 ke ruang kerja Profesor untuk memintanya meretas sistem keamanan laptop. Okay. Aku mengakses proyek pemberontakkan dan melihat misi yang harus diselesaikan dengan prioritas tertinggi. Misi membunuh Jenderal Perang Tanah Utara dibatalkan karena Rachel berhasil mengacaukannya. Dan selanjutnya adalah…
“Kevin, kau kenal orang-orang itu?” Di monitor utama, aku melihat pasukan Paramiliter, dengan wajah letih mereka yang dipaksa kuat, tertatih-tatih mendekat ke sebuah selter di sebelah kapal selamku yang kandas.
“Oh tidak…” terkutuklah kau, Rachel. “Buddy, persiapkan seluruh barang-barang penting, pakaianmu, seluruh suplai makanan yang ada ke dalam tas. Aku akan membereskan dokumen-dokumen Prof. Hopkins di sini.” Secepat mungkin, tanganku memasukkan semua blueprint, catatan, literatur, dan laptop Prof. Hopkins ke dalam koper hitamnya, selagi B-16 mematuhi instruksiku dengan panik. Dia terus bertanya apa yang terjadi, namun tak kupedulikan karena sibuk mencari di mana senjata apiku. “Buddy! Dimana pistolku?”
“Ubah layout kamar, please!” Ruang keluarga berubah menjadi kamar tidur di mana B-16 menyeret lenganku ke kasur California King-nya. Dia merogoh bagian bawah kasur, tempat disembunyikannya pistolku. “Ini.” Di dalam laci ruangan, aku mencari amunisi, atau bom yang disimpan Prof. Hopkins sebagai pertahanan cadangan. Tapi tak ada sama sekali!
“Buddy, lepas keran gas dengan putaran penuh!” B-16 mengerti yang kuperintahkan. Tubuhku menyeret seluruh barang bawaan dan para Serigala mendekati pintu baja Black Cube. “Akses sistem keamanannya sekarang!” B-16 mengonfirmasi rangkaian kode rumit ketika aku menyiapkan dua kembang api terakhir di tanganku. “Cepat lari keluar!”
Saat B-16 dan kawanan Serigala menarik seluruh barang bawaan menuju lorong hitam, jemariku menyulut api dan membakar sumbu kembang api yang siap-siap melesat ke sumber gas. Tubuhku langsung berlari menyusul B-16, menariknya sekuat tenaga menuju permukaan salju. “CEPAT!” Kawanan Serigala kewalahan membungkus tubuhku dan B-16 saat ledakan besar menghempas kami ke sisi jurang yang baru saja terbentuk.
“Buddy… Buddy!” Aku menggenggam kening B-16 yang memar akibat tubrukan dengan dinding batu. Namun, jarinya malah menyikap darah di bibirku, dan langsung mengusapnya dengan kapas anti-septik. Kubilang tak ada waktu untuk penanganan medis, dan langsung bergerak menjauhi Paramiliter yang berusaha menyebrangi jurang buatan itu.
Pumpkin memimpin kami menuju tunnel bawah tanah sepanjang 300 kaki sebagai akses rahasia menuju pelabuhan bawah laut. Ukurannya cukup untuk tubuhku dan B-16 merangkak di antara Pumpkin dan kawanan Serigala. Mataku bisa melihat cahaya di depan Pumpkin, memaksaku menyeret tubuh lebih cepat agar sampai di moncong tunnel dan turun ke pelabuhan bawah laut.
Kami tergopoh-gopoh menuju kapal selam saat Paramiliter menembakkan peluru ke segala arah. “Pumpkin, jaga B-16 di dalam dek!” Aku harus menyelam ke dasar kapal selam untuk menghidupkan mesin secara paksa karena ruang aktivasi energi telah dikuasai Paramiliter. Sisa Serigala lainnya terus menghadang Prajurit yang berusaha membunuh kami, tak peduli jika terkaman pisau dan peluru telah mencabik kulit mereka. “Sialan!”
Beda dari sebelumnya, tak ada ruang sama sekali untukku bernapas. Hanya ada ruangan kecil untuk jemariku yang lembab saat memotong paksa kabel utama yang terhubung ke generator kapal selam. Kepalaku seperti ingin pecah, disertai temperatur di bawah nol derajat Celcius yang siap sedia mematikan jantungku. Tanganku terus gemetar, memaksa hentakan listrik memercikan api untuk membakar hulu energinya. Berhasil!
Namun, ketika berenang ke permukaan, seluruh ototku membeku, membuatku sulit bergerak di saat-saat oksigen makin menipis di otakku. “S-sial…” Saat hampir kehilangan kesadaran, aku merasakan taring tajam yang mencengkeram kerahku, menarikku menuju tepian kapal selam, tepat sebelum otakku membeku sempurna.
Tubuhku diseret ke dalam dek yang menutup sempurna, dihujani tembakan Paramiliter yang berhasil lolos dari terkaman Serigala. B-16 melakukan napas buatan padaku, memukul-mukul jantungku tanpa henti, agar darah kembali mengalir ke seluruh tubuhku.
“Kevin! Bangunlah!” Tenggorokanku begitu perih setelah memuntahkan air es yang bersarang di paru-paruku. Aku meminta B-16 membopong tubuhku ke area panel, memberinya instruksi untuk mengaktifkan tombol tenaga, dan mulai menyelam ke dasar Samudera Atlantik. Di pelabuhan, kawanan Serigala masih berjuang mati-matian, menghadang Paramiliter yang mulai menjadikan mereka sebagai sasaran kebengisan. Hanya satu yang tersisa, si Serigala putih yang selalu berada di samping B-16.
B-16 meletakkan kepalaku, lagi, di atas pangkuannya, setelah meminta Pumpkin —yang begitu cepat mengeringkan bulunya— untuk duduk di atas dadaku, atau mungkin tubuh telanjangku karena pakaianku basah kuyup.
“H-hey… B-Buddy,” sapaku berusaha menenangkan B-16. Wajahnya begitu depresi, merasa gundah memikirkan kebengisan manusia yang rela membunuh hewan kesayangannya. Aku memaksa tubuhku duduk di samping B-16, membagi selimut beludru yang sempat dipersiapkannya, dan menempelkan keningnya yang memar ke leherku. Jemariku yang masih kaku kupaksa mengusap punggungnya yang gemetar, berusaha memberinya kehangatan dari gesekan antar kulit. “Kau akan baik-baik saja. C-cobalah untuk tidur. Ya?”
“Kau tahu William Shakespeare’s Sonnet III?” Sial! Aku tak hafal dengan baik karena selalu menutup telinga ketika Pak Tua membacakanku puisi itu. Sayangnya, aku tak bisa menolak permintaan B-16 karena harus menenangkan mentalnya yang baru saja menyaksikkan pembunuhan. Ayo, otak! Ingatlah!
“Um… Look in thy glass, and tell the bet…”
“The face…”
“T-the face… thou viewest Now is the time… The time?”
“The time that face should form another;”
“Yeah, form another; Whose freshy repair if now thou not renewest…”