Di tempat kuberasal, masyarakat hanya terbagi menjadi tiga kategori sederhana: pembunuh, korban, dan penonton.
Di dalam hidupku, terlalu banyak pasukan kegelapan yang menyelubungi, memaksaku melakukan tindakan keji, dan menghasutku untuk meninggalkan seseorang yang kucintai, seseorang yang mustahil bisa kuselamatkan. Rasanya sungguh menyakitkan dan tak bisa dimaafkan. Bukan untukku. Tapi untuknya.
Di sampingku, Jen menciptakan kedamaian setelah kupeluk semalaman. Tidur di dekatnya membuatku cemas karena memaksaku untuk melakukan kesalahan fatal. Keegoisanku lagi-lagi menempatkannya dalam posisi bahaya. Di dekatku, tak ada jaminan untuk keselamatan mereka. Karenanya, rasa bersalah akan membungkusku kembali ketika harus meninggalkan Jen sendirian bersama April.
“Maafkan aku.” Bibirku begitu berat melepas ciuman di kening Jen. Mataku terus memandang wajahnya sekali lagi, begitu dalam, sebelum kakiku keluar kamar karena sudah waktunya pergi.
Di kamar April, gadis kecil itu sedang memeluk boneka Grizzly saat terjebak di mimpi indah. Terlalu jauh baginya memandang keindahan, sebuah fatamorgana, karena kenyataan tak seperti apa yang dibanyangkannya saat ini.
Aku memberanikan diri mendekati April, perlahan tidur di sampingnya, dan memeluknya erat. Sebagai imbalan, telapak tangan halus April menyentuh pipiku, merasakan guratan dari bulu-bulu kasar yang mulai tumbuh lebat di sana. Aku tak tahu mengapa April bisa melakukannya, karena kutahu dia sedang berada di tempat yang jauh saat ini. Dan kuputuskan untuk tidak mencium keningnya karena kujanji, “akan bertemu denganmu lagi.”
Berjalan mendekati B-16 adalah bagian tersulit karena aku akan bertindak sebagai bajingan yang memaksa makhluk itu terbangun dari mimpi bersama Profesor. B-16 pernah berkata padaku, setelah kematian Profesor, setiap kali dirinya berusaha terlelap, dia tak pernah melihat mimpi indah sekali pun. Tentunya, sebuah harapan yang memberinya alasan untuk hidup telah pergi. Dia takkan pernah kembali ke pelukan B-16, hanya bisa memberinya sentuhan pasif di dalam kenangan yang akan selalu melekat di otak luar biasa makhluk termurni itu.
“Buddy, kita harus pergi sekarang.” Mata mengantuk B-16 menatapku, berusaha setuju dengan perintahku. Sebelum pergi, aku meletakkan sisa uang yang kupinjam dari Sam, dan sebuah surat yang kutujukan pada Jen. Aku berjanji akan kembali bersamamu di kehidupan baru.
Di dalam mobil, B-16 mencoba melanjutkan tidurnya yang terganggu, ditemani Pumpkin yang bersikeras duduk di pangkuan majikannya itu agar bisa dielus. Mataku terus melirik kaca spion, memandangi rumah Jen yang lama-kelamaan mulai lenyap. Mobilku mulai keluar dari gerbang perumahan, menggetarkan jantungku karena rasa bersalah mulai menyelubungi hingga membuat napasku sesak.
“Lindungi Isteri dan Anakku,” perintahku pada Prajurit Misionaris yang mengikutiku. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan mereka. Karena pecundang sepertiku, tak pantas mendapatkan kasih sayang tulus mereka.
Kembali ke New York, kami sampai di sebuah gedung apartemen di mana seseorang yang penting bagiku berada. Dia satu-satunya pihak yang bisa memberiku dan B-16 perlindungan hingga waktu agresi ke U.S. Headquarter tiba. Aku berencana untuk mengajaknya bergabung dengan pasukanku, meskipun lebih banyak akan menyusahkannya, termasuk memakai tempatnya sebagai markas rahasia. Namun aku sedikit ragu jika dia mau melihat wajahku, setelah aku memaksanya bertanggung-jawab atas keputusan yang tak bisa dimaafkan.
“Buddy, kita sudah sampai.” Seperti biasa, B-16 mengikutiku dengan langkah terhuyung-huyung karena otaknya masih butuh istirahat, mengingat jika proses detoksifikasi di dalam tubuhnya masih berlangsung hingga setengah jam ke depan. Plus, Serigala bodoh itu tanpa belas kasih memerintahkan B-16 untuk menggendong tubuhnya yang berat, karena makhluk licik itu begitu malas menggerakkan kakinya untuk berjalan. Dia hanya memanfaatkan kebaikan hati B-16. 4.30 pagi.
“Lantai 16, kamar 431.” Berdasarkan sistem pelacak, pintu yang ada di hadapanku seharusnya menyimpan pria yang hendak kutemui. Tanganku mulai menggedor pintu putih di hadapanku sebanyak lima kali, sedikit keras, lalu menunggunya selama 30 detik. Ya, tak ada seorang pun yang keluar. Aku melihat B-16 mulai duduk di teras apartemen, terus memeluk Pumpkin yang dengkurannya makin keras. Aku tak tega melihatnya. “Ben!” Cepatlah buka! “Ben?” cklek…
“What the f…”
Di hadapanku, berdiri seorang pria telanjang berambut pirang, 29 tahun, yang setengah tubuhnya tertutupi pintu, dan tak berhenti menghentak sesuatu yang terus menciptakan desahan. Mata biru pekatnya menatapku tak percaya, berhasil mengingatkanku pada wanita yang melahirkan kami, bersama keringatnya yang mengucur deras ke garis tulang pipi dan dagunya yang merupakan warisan dari pria yang rela memukulku habis-habisan. Kupikir, saat ini bukanlah waktu yang tepat, karena jari-jari lentik mulai menggerayangi tubuh berbentuk Ben, termasuk mencengkeramnya kuat saat hampir mencapai… klimaks.
BRAK!!! Dan benar. Ben langsung membanting pintu di hadapanku, secara kasar, karena aku adalah bajingan yang memutuskan untuk mencampakkannya dari kehidupanku.
20 menit berlalu, aku hanya bisa duduk di samping B-16 yang sudah terlelap, terus berharap jika Ben akan menyelesaikan aktivitasnya secepat mungkin. Well, erangannya memberitahuku begitu. Benar saja, pintu yang hampir mematahkan hidungku terbuka, memberi akses keluar bagi wanita yang terus melumat bibir Ben tanpa henti. Ayolah…
“Sampai besok, Baby.” Tubuh Ben berdiri di hadapanku, tanpa memperhatikanku sedikit pun, melambaikan tangan pada wanita bertubuh Supermodel yang selalu berharap bisa menemani malamnya. Ya, sifatku kiranya turun pada pria jangkung di depanku. Tapi, sikap kasarnya mulai mengisolasiku kembali, mengunci rapat-rapat pintunya, tanpa memberiku kesempatan untuk bicara.
“Oh, Man! Ayolah!” Kepalan tanganku menggedor paksa pintu Ben, memohon agar dia memaafkanku karena… Cklek!
“Kau siapa!?” geram Ben menantangku.
“Ayolah, Ben,” keningku mengernyit disertai senyum ramah, “Aku Saudaramu…”
“Bajingan! Puft!” Ben meludahiku tanpa alasan jelas. “Saudariku mati di usia muda. Dan aku tak punya Saudara laki-laki sepertimu!” Dia belum memaafkanku.
“Aku tak bermaksud membuangmu. Itu hanya salah paham dan kesalahan kecil…”
“Kesalahan kecil!?” Jari-jari kasar Ben mencengkeram kerahku dan membanting punggungku ke dinding. “Kau membuangku ketika tak ada seorang pun yang mau menyelamatkanku, tak seorang pun yang sudi menganggapku sebagai anggota keluarga! Kau bajingan tengik egois dan malu mengakuiku sebagai Saudara kumuh yang butuh pertolonganmu! Kau bilang itu kesalahan kecil, huh!?” Tiba-tiba, Ben menghunuskan pisau dari saku celananya ke leherku. Mataku hanya bisa terpejam menunggu Malaikat mencabut nyawaku. “What the f…”
“Tolong, hentikan!” Tangan B-16 mencengkeram mata pisau yang hampir memutus urat leherku, membiarkan darah mengalir dan berbercak di wajahku. Begitu segar dan menyakitkan. Sikutku, tanpa perintah, membentur keras bibir Ben hingga dia melepasku agar bisa menggenggam telapak tangan B-16. “Wah… ternyata ini rasa sakit yang sesungguhnya…”
“Buddy…” Tubuh B-16 terduduk saat telapak tanganku berusaha menghentikan perdarahannya. “Bertahanlah,” napasku panik melihat wajah B-16 yang tertawa, baru merasakan sakitnya sayatan pisau yang memaksa darahnya menyembur tanpa henti. “Sayatannya terlalu dalam…”
“Oh, sial! Oh, sial!” Ben benar-benar panik, menjenggut rambutnya paksa ketika darah B-16 semakin deras mengucur. Perdarahannya takkan berhenti sebelum aku menjahit lukanya. “H-hey!” Tanpa pikir panjang, tubuhku langsung masuk ke dalam apartemen Ben sambil memapah B-16, diikuti Pumpkin yang terus melolong sekaligus mendengus pada Ben.
Aku hanya bisa terduduk di sofa abu-abu, terus menekan luka B-16 dengan kemeja putihku yang sudah merah padam. Tiba-tiba, Ben mengambil alih posisiku merawat luka B-16, begitu hati-hati menjahit luka menganga itu, memastikan jika ciptaan Profesor takkan mati. Dia memperlihatkanku keahlian tim medis pasukan U.S. Navy.
“Tuhan itu pemaaf,” senyum B-16 mampu menggenangkan air di kelopak mata Ben. Begitu tangguh namun rapuh. Air itu akhirnya jatuh hingga membuat B-16 cemas. “Kenapa menangis? Kau merawat lukaku dengan baik.”
“Kau… sial,” Ben mengusap cepat air matanya dan kembali membalut telapak tangan B-16. “Siratanmu seperti Adikku. Dia kelaparan di tengah badai salju. Aku… aku tak bisa menolongnya.” Perkataan Ben membuat hatiku perih, memaksaku menahan getaran di bibirku lebih lama. Namun begitu sulit. “Aku bahkan tak punya sesen pun untuk ditukar dengan roti basi.” Sial!
“Maafkan aku telah mengingatkanmu pada sesuatu yang menyedihkan,” sendu B-16. Sial! “Kevin? Kenapa sekarang… malah kau yang menangis?”
Terkutuklah aku!
“AKU MINTA MAAF!” Tubuhku kupaksa sujud di hadapan kaki Ben, tak peduli jika dia tetap menganggapku sampah dan lebih mengutamakan kesembuhan B-16. “AKU BAJINGAN YANG TAK BISA MELINDUNGI SAUDARAKU SENDIRI!” Paru-paruku sungguh sesak ketika liur menghadang oksigen masuk ke tenggorokanku. “AKU MENCAMPAKKANMU KARENA AKU SEORANG PENGECUT!” Darahku seperti dipaksa mengalir ke satu titik di otak, terus bertumpuk seperti bom waktu yang kapan saja bisa meledak. Rasanya begitu tajam, membiarkan anggota tubuhku yang lain kehilangan suplai oksigen untuk membiarkannya tetap hidup. “AKU MEMBIARKAN ADIK KITA MATI KARENA TAKUT PADA BAJINGAN ITU!” Tak tahu seberapa banyak air mata yang bercampur dengan lendir hidungku jatuh ke lantai, berusaha menyentuh keningku yang mulai kaku karena menahan tekanan. “S-sungguh, Ben… maafkan aku… Hhkk-Hhhkk…”
“Hey, Buddy,” aku bisa merasakan tubuh Ben mulai berdiri. “matamu tampak merah. Ayo, kuantar ke kamarku. Kau bisa istirahat di sana.”
“B-bagaimana dengan Saudaramu… Kevin? Dia juga butuh tidur… Ben.”
“Kubawa kau duluan. Kau lebih pantas. Sebelah sini.” Telingaku hanya mendengar langkah kaki mereka menjauhiku, meninggalkanku seperti sampah yang bahkan pengemis pun tak ingin memulungnya, lebih hina dari ratusan tikus yang dibakar sebagai hama, lebih rendah dari budak yang selalu diperintah Ratu untuk membunuh ribuan manusia tak bersalah.
“Kau seharusnya pergi juga, Pumpkin.”
Aku bisa mendengar ayam jantan mulai berkokok. Nadanya begitu panjang, mengantarkan Mentari yang mulai bangkit dari tidur panjangnya. Samar-samar, telingaku mendengar langkah seseorang mendekatiku, menendang tubuhku agar segera berbaring di atas lantai, dan melempariku dengan selimut hangat bewarna biru. Satu setengah jam aku bersujud, menekan keningku keras-keras ke lantai, sebagai pengharapan untuk dimaafkan oleh Adikku sendiri. Rasanya seperti selaput tipis antara hidup dan mati. Karenanya, mataku setuju untuk terpejam beberapa saat, seiring Ben yang melangkah jauh meninggalkanku kembali.
Di malam Natal, 25 tahun yang lalu, adalah hari di mana Polisi menangkap Ayahku. Satu-satunya lilin sebagai lambang perayaan Natal di rumah kami pun dinyalakan, memberi sedikit kehangatan untuk Adik perempuanku, Angie, yang terserang demam tinggi di usianya yang ke-lima. Kata terakhir yang kudengar darinya adalah dia memintaku kue kesukaannya, hanya seiris, karena dia sungguh lapar. Aku tak berani meminta uang pada Ayah yang sedang mabuk di depan perapian, bersama tangannya yang terus menggenggam pisau dapur. Aku hanya memberi tahu Angie besok. Dan yang kutahu, tak ada hari esok untuknya.
Malam itu, Polisi menyergap Ayahku dan menggeledah rumah kami, menemukan 25 Kg bubuk heroin yang cukup mendakwanya sebagai pengedar narkoba. Ibuku histeris, memohon pada Polisi untuk tidak membawa Ayah di Malam Kudus. Selang beberapa jam, Angie mengembuskan napas terakhirnya. Mati. Ibu tak bisa menerima kenyataan, mulai depresi, dan meninggalkanku bersama Ben.
Mingu demi minggu Ibu tak kunjung pulang, membuatku cemas sambil memeluk Ben yang kelaparan. Satu-satunya yang terlintas di benakku adalah membawa Ben ke Panti Asuhan yang tampak hangat, meninggalkanya yang masih berumur empat tahun sendirian, menghardiknya keras untuk tidak mengikutiku. Satu-satunya kenangan masa kecil yang bisa kuingat tentang Ben adalah tangisannya yang memintaku kembali. Aku berpikir jika keputusanku itu adalah solusi terbaik yang bisa memberikannya kehidupan layak di masa depan. Namun nyatanya, itu bukanlah keputusan tepat yang dipilih remaja 13 tahun untuk Adiknya.
“Kau malu padaku… ‘kan?” Ben menyibak tirai agar Matahari menyengat mataku, begitu cerah menyelamatkanku dari mimpi buruk. Tubuhku bangkit dan menyender di sofa, berusaha menikmati aliran darah yang masih tersumbat dan menciptakan denyut tajam di otakku. Aku mengambil napas panjang, memfokuskan pikiranku, dan menatap Ben dengan mata bengkak.
“Sudah kubilang, aku pengecut.”
“Aku tak bisa memaafkan seorang pengecut.” Ben mulai beranjak ke kamarnya, merasa muak mendengar suara bedebah sepertiku. Tuhan, rasanya begitu sulit mendapatkan pengampunan darinya.
“Hey,” aku berhasil menghentikan langkah Ben sebelum masuk kamar. “Boleh kupakai kamar mandimu atau…” dan dia membanting pintu padaku. Kuanggap itu sebagai izinnya. So, aku berjalan ke dapur untuk meneguk beberapa gelas air segar. “Ahhh… nikmat sekali.” Aku mencari berberapa lembar roti, selai, dan susu di kulkas Ben, lalu membawanya ke sofa sebagai sarapanku sambil menonton berita pagi. Semoga saja, ada berita tentang investigasi gempa buatan yang melenyapkan bumi Tiongkok. Tapi yang ada, hanya berita politik sebagai awal pemboikotan produk China di Amerika. Sudah dimulai.
Di dalam bath-up, aku menenggelamkan diri, memberanikan mentalku untuk meraih waktu menahan napas terpanjang yang pernah kulakukan. Sudah 15 menit berlangsung. Otakku mulai menciptakan ribuan bintik warna yang menyatu menjadi beberapa bentuk: mata, hidung, bibir, dagu, telinga, dan rambut indah dari dua orang yang menungguku di rumah, menungguku bersatu kembali dan memulai hidup baru sebagai keluarga. Kehidupan indahku hanya bisa dimulai di Era Baru, tempat di mana para manusia bisa hidup bebas dari kekangan Iblis yang ingin menjadikan mereka sebagai budak. “Hhhh…” tubuhku bangkit dari permukaan air, membiarkan paru-paruku menyerap sebanyak mungkin oksigen untuk membunuh denyutan yang dari tadi menyerang otakku.
Berjalan keluar kamar mandi, hanya ada Pumpkin yang menyambutku dengan gonggongan. Aku tak tahu apakah dia menanyakan keadaanku, atau meminta jatah sarapan yang telat kuberikan, atau mungkin mengejekku yang begitu egois melumat apel merah di tanganku tanpa membaginya. “Ini.” Aku menggelindingkan apel yang punya bekas gigitanku. "Wah!" Tak kusangka, ternyata hewan itu dengan senang hati memakannya.
Aku berdiri tepat di depan kamar Ben, namun tak berani sedikit pun melangkah masuk ke dalam. Dari celah pintu, aku bisa melihat B-16 masih tertidur pulas, dengan telapak tangan yang ditumpuknya di atas dada. Ben ternyata sedang memandang B-16 dengan raut wajah sedih, seakan mengingat Angie melalui pancaran ekspresi makhluk ciptaan Prof. Hopkins. Aku tahu jika cukup berbeda antara raut Angie dan B-16. Tapi jujur, B-16 memiliki senyum yang sama diperlihatkan Angie di waktu kematiannya. Harapan. Dan kutahu, Ben bisa melihatnya.