Kehendak Sang Ratu

saiko
Chapter #10

THE WAY

Kegelapan selalu menyelubungi dan melumpuhkan kita. Tetapi, Nak, hanya butuh setitik cahaya untuk menyinarimu ke jalan yang tepat. Jangan takut.

“Profesor…”

“Hey-hey… mimpi buruk?”

“Ya. Sedikit.”

“Kau kedinginan. Ayo pergi dari sini. Keparat itu tak punya otak, membuatmu basah kuyup dan tidur di kamar mandi.”

Aku tersadar jika tubuh Kevin sedang terkubur di dalam bath-up, bersama ratusan bongkahan es —yang dibawa Ben entah dari mana— untuk memperlambat metabolismenya. Pelindungku itu tiba-tiba mengalami gagal jantung, menghambat suplai oksigen menuju otaknya, hingga melumpuhkan seluruh sistem sarafnya.

Perdarahan di otak Kevin akibat benturan dan pukulan adalah masalah lain yang membuatku cemas. Tetapi untungnya, Ben dengan baik hati mau mendengar permintaanku, mengoperasi isi tempurung kepala Kevin yang mengalami pembengkakan, dan berhasil menyelamatkan nyawa Saudaranya itu. Dia sungguh malang dipilih Profesor sebagai pelindungku.

Ben membawaku lagi ke kamarnya, memberiku bajunya sebagai pengganti bajuku yang basah kuyup. “Semoga kau tak demam,” ujar Ben prihatin.

Aku teringat kejadian sebelum Kevin pingsan. Dia mengamuk sejadi-jadinya, berusaha meremuk tulang leherku, karena kutahu jika dia ingin membagi bebannya padaku. Lebam akibat genggaman jari-jari Kevin di leherku juga sangat jelas. Di otakku, logikaku masih memproses berita yang kudengar dari televisi. Tentang Jen dan April. Bagaimana mungkin manusia memiliki hasrat untuk membunuh sesamanya? Apa sebenarnya tujuan mereka melakukan tindakan keji itu? Apakah karena aku yang mereka cari? Seperti yang kuingat, Profesor memberitahuku jika terlalu banyak manusia yang ingin menyakitiku. Itukah cara mereka menyakitiku? Dengan membunuh dua wanita yang paling dicintai Kevin?

“Apa yang kau pikirkan?” Jari-jari kuat Ben mengusap kepalaku dengan lembut, menyadarkan logikaku saat mencari jawaban atas tindakan… tak manusiawi.

“Maaf. Aku sedang memikirkan Jen dan April.” Ben mendengus sambil memakai kaos lengan buntungnya, lalu berbaring di atas kasur sambil menatap loteng yang dipenuhi sarang laba-laba.

“Aku tak pernah tahu jika dia memiliki Isteri dan Anak.” Bibirku terbuka sedikit, tak menyangka jika Ben tak mengetahui keberadaan Kakak Ipar dan Keponakannya selama ini.

“Apa begitu rumitnya hubunganmu dengan Saudaramu, Ben?” Tubuhku duduk di sisi samping kasur, sambil menghadap wajah Ben.

“Dia bukan Saudaraku.”

“Tetapi Kevin bilang jika kau Adiknya.”

“Secara Biologis, ya. Secara emosi, tidak.”

“Teori siapa itu?” Wajahku memerah menahan tawa atas jawaban Ben. “Sebagaimana yang kupelajari dari Profesor, jika kau punya kedekatan Biologis dengan seseorang, artinya kalian bersaudara. Satu keluarga. Manusia pertama di Bumi adalah Adam, kemudian Tuhan menciptakan Hawa dari tulang rusuknya untuk menemani Adam di kesendiriannya. Mereka saling mencintai dan memiliki keturunan. Dan DNA mereka bersemayam di tubuh kita. Hanya karena lingkungan dan struktur geografis yang berubah, sehingga manusia mengalami evolusi untuk bertahan hidup, dan terbagi menjadi beberapa ras yang memberikan khas pada stuktur tubuh manusia, bukan berarti mengingkari kenyataan jika seluruh manusia bersaudara.”

“Ya Tuhan,” Ben mengusap wajahnya karena gusar dengan penjelasanku.

“Bayangkan, Ben… jutaan manusia saling terhubung sebagai satu saudara. Plus, DNAmu memiliki keterdekatan dengan DNA Kevin, menjelaskanmu jika kalian memiliki ikatan persaudaraan yang lebih kuat dibanding dengan yang lain. Dan itulah alasan mengapa otakku tak bisa menerima perbuatan sekelompok manusia pada Jen dan April. Karena kita… bersaudara.”

“Yang kutahu,” Ben menyandarkan punggungnya ke kepala kasur dan memasang raut wajah lucu, “kedua Putera Adam saling membunuh. Dan itulah yang Manusia Pertama wariskan untuk kita. Saling membunuh. Apa Profesormu sudah menceritakan sejarah itu?”

“T-tidak. Tidak pernah.” Keningku mengernyit menyanggah pernyataan Ben.

Well, itulah faktanya. Maafkan aku telah membiarkanmu mendengarkannya. Tetapi Buddy, dunia yang kau kenal di dalam logikamu, sangatlah jauh berbeda dengan apa yang terjadi dalam realita.”

“Aku tahu,” wajahku menunduk, sambil menahan bibirku yang mulai gemetar. “Profesor telah menjelaskannya padaku. Tetapi dia percaya jika manusia akan sadar tentang apa sebenarnya tujuan mereka diciptakan. Segera.” Aku tersenyum mengingat harapan Profesor. “Manusia bisa belajar dari kesalahan sebagai bekal perbaikan di masa depan. Untuk kehidupan yang lebih baik,” aku menatap mata Ben. “Mereka hanya sedikit tersesat sekarang. Karenanya, Profesor tak mengizinkanku hidup di dunia luar sebelum manusia menyadari kesalahan mereka dan mengubah Bumi menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali.”

“Memang, kau tinggal dimana sebelumnya?”

“Di Black Cube, di bagian paling utara Bumi, selama lebih dari 20 tahun.”

“20 tahun!?” Aku tak mengerti mengapa Ben begitu terkejut mendengar jawabanku. “Dan kau selalu berada di sana selama 20 tahun?” Sekarang, matanya yang terbelalak mendekati wajahku.

“Sebenarnya tidak juga. Aku sempat ke permukaan Kutub Utara untuk menyalakan kembang api bersama Kevin.”

“Dan kau tak pernah mengunjungi daerah lain, seperti liburan ke Pantai Mediteranean?” Ben menanyaiku tempat yang belum pernah diceritakan Profesor. Karenanya, aku menggeleng. “Wah… malang sekali. So,” Ben batuk sekali untuk bertanya kembali. “Apa kegemaranmu?”

“Wah! Kalau ditanya begitu, hal yang paling kusukai di dunia ini adalah sains.”

“Sains, huh?” Kini, mata Ben sedikit menyipit, disertai bibirnya yang agak terangkat ke sisi kanan, sambil memindahkan tubuhnya dari tempat tidur. Ben mencari sesuatu di lemari kayunya, semacam alat yang disembunyikan di punggungnya saat Ben kembali ke atas kasur. Lalu, Ben menyodorkanku peralatan yang disembunyikannya, sambil tertawa seperti Profesor saat beliau mengajariku awal mula penciptaan Semesta. “Kau tahu,” Ben sedikit membukuk padaku dan mulai berbisik, “levitasi?”

“Levitasi?” Aku menggeleng tetapi Ben tertawa.

“Ya, Tuhan… wajah bingungmu sungguh lucu! Kau sering menunjukkannya ketika ingin mengetahui sesuatu yang baru?” Ben tetap tertawa.

“Tak tahu. Profesor juga menanyakan hal yang sama. Mungkin karena aku terlalu penasaran. Jadi, apa itu levitasi?”

Ben menyiapkan meja virtual yang bisa mengambang di udara, menyelimutinya dengan kain hitam, kemudian menuangkan cairan beruap ke dalam tutup botol. “Okay. Aku akan meletakkan silinder besi ini ke dalam cairannya. Kau mau menghitung mundur selama 15 detik?” Aku lakukan apa yang diperintah Ben. Selama proses hitung mundur, Ben menaburkan serpihan baja hitam dalam gerak melingkar di atas meja. Kemudian, dia menunjukkanku silinder besi lainnya dan menjatuhkannya ke atas meja. “Apa yang terjadi pada silinder besi itu?”

“Kau… hanya meletakkannya di atas meja. Tak terjadi apa-apa, kupikir,” bingungku.

“Benar. Sudah selesai hitung mundurnya?” Aku mengangguk. Ben mencapit silinder besi yang tampak dingin itu dan mengeluarkannya dari cairan beruap. “Kau siap?” Mataku tertuju pada silinder besi beruap yang di jatuhkan Ben ke atas meja. Namun anehnya, besi itu mengambang tanpa menyentuh permukaan, kemudian berputar beberapa inchi di atas serbuk besi, terus berputar dalam gerak rotasi konstan dengan kecepatan yang lama kelamaan menurun.

“B-bagaimana itu bisa terjadi?”

Ah, levitasinya sudah berhenti.” Ya! Aku melihat jejak serbuk baja yang sekarang menyerupai rel kereta. “Cairan yang beruap ini adalah nitrogen cair dalam temperatur minus derajat Celcius. Silinder besi yang tadinya netral memiliki dua kutub berlawanan setelah didiamkan beberapa detik di dalam nitrogen cair, dan menghasilkan medan magnet di sekitar permukaannya. Nah, serbuk gergaji yang kutebar juga memiliki medan magnet tipis. Hal itu yang membuat silinder besi seperti melayang, padahal saat itu terjadi gaya tolak-menolak yang kuat, sedangkan gaya tarik-menariknya lemah. Paham?”

“Wow! Kau cerdas sekali, Ben!” pujiku tulus. Pipi Ben tiba-tiba merona disertai senyum lebarnya yang manis. Karena pertunjukkan telah usai, Ben merapikan kembali peralatan laboratoriumnya ke dalam lemari, kemudian kembali duduk menyender di sampingku. “Ben…”

“Ya?”

“Kau sungguh tak pernah melihat Jen, atau April sebelumnya, tanpa sengaja mungkin?” Wajah Ben yang tadinya tersenyum kini kaku, memperlihatkanku sedikit rasa terintimidasi, lebih tepatnya rasa tak enak hati atas kematian dua orang yang dicintai Kevin.

“Sudah kubilang, hubunganku dengan Saudaraku sungguh rumit.” Dia menyebut Kevin tanpa sengaja sebagai Saudaranya. “Rasanya, aku sudah terlalu tua saat menyadari telah memiliki keponakan.” Ben mencoba menyembunyikan kesedihannya dengan ekspresi tegang nun kuat. Aku bisa melihat dari matanya, apa yang sebenarnya dia rasakan atas kepiluan yang dialami Kevin. Dia tak bisa menyembunyikannya. “Hey, kau belum makan malam, ‘kan?” Ben mengambil kotak kardus pipih lebar di kursi kamar, lalu memberiku seiris roti segitiga dengan berbagai macam topping. “Jam sebelas malam. Rasanya agak terlambat untukmu makan malam.” Aku menghela napas dan mulai mencicipi pizza yang baru pertama kali kumakan. Rasanya sungguh menyakitkan.

“Aku merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Kev… Oh, Tuhan!” Aku teringat jika harus segera mengeluarkan Kevin dari es.

“Biarkan saja dia! Ah!”

Kakiku berlari cepat ke kamar mandi dan menemukan, “Kevin…” dia masih terlelap rupanya. Jari-jariku mengusap memar di garis tulang pipi Kevin, berusaha menyerap kepedihan yang ada, dan memindahkannya padaku. Namun percuma. Hatiku terus bergejolak, memberiku rasa sakit yang tak bisa kujelaskan. Rasa sakitnya berbeda ketika telapak tanganku tersayat hunusan pisau Ben, atau ketika sikut Kevin menghentak daguku saat mengeksekusi utusan Pejabat Tinggi. Rasa sakitnya sama ketika aku mengetahui jika Profesor… “Ben,” aku memanggil Ben yang hanya berdiri di dekat pintu kamar mandi. “Bisa kupinjam handuk, selimut hangat, dan baju-bajumu? Lebih penting lagi, kita harus memindahkan tubuh Kevin yang menggigil segera.”

Lihat selengkapnya