Waktu terus berdetak…
Napas terakhirku kembali, mengejutkan seluruh saraf kehidupanku untuk memaksa paru-paru menyerap oksigen lebih dalam. Namun pikiranku buyar, lebih perih tepatnya, ketika sayup-sayup mendengar jeritan seorang pria yang meminta pertolongan.
Tubuhku dijerat. Serabut kasar dari tali tambang berhasil menembus lapisan kulit terdalamku, menggurat dinding pembuluh darahku agar cairan amis itu dipaksa keluar melalui pergelangan tangan dan kakiku. Pandanganku begitu kabur melihat sesuatu melalui serat-serat kain hitam, berusaha fokus melihat pria yang merintih semakin teraniaya. Kevin.
“A-aku bukan suruhan Ratu! Sungguh! ARGH!”
Bunyi pecutan kulit bergetar hingga ke rumah keongku. Suaranya bercampur dengan pekikan Kevin, begitu tajam menyayat logikaku untuk menentang kebrutalan sesama makhluk hidup. Suara seretan tubuh semakin menggerus pikiranku, berusaha menerima keadaan Kevin yang digulingkan hingga menindih tubuh atasku. Napasnya begitu berat, disertai denyut jantung tak stabil ketika dadanya menyentuh perutku. Pasti… pasti… siksaan yang diterimanya jauh-jauh lebih kejam dibanding yang didapatnya dari pukulan Ben.
Tuhan di Arsy, kuatkanlah kami, bantulah kami melewati mimpi buruk ini, jadikanlah kami percaya jika di balik kegelapan akan ada pencerahan, biarkanlah mereka mengerti jika Kau sungguhlah Pemaaf.
Kuku-kuku Kevin yang gemetar berusaha menyibak penutup mataku. Tetesan darah yang mengalir dari ujung-ujung kukunya langsung menempel di tulang pipiku. Mataku tak bisa menghentikan tangis ketika melihat wajah Kevin yang tak bisa kukenali lagi. Bengkak, terkoyak, darah, daging yang ruyak melengkapi setiap sudut-sudut wajahnya yang elok. Tubuhnya ditelanjangi, dipecut tanpa henti hingga goresan daging terus memaksa darah segar keluar dari pembuluhnya. Kejam… mereka benar-benar… kejam…
“Apa yang mereka lakukan padamu?” lirihku. Kening Kevin mengernyit merespon pertanyaanku. Jemarinya yang gemetar terus mengusap air mataku, memaksaku mematuhi janjiku pada Ben jika laki-laki tak boleh menangis. Namun sekarang, janji itu tak bisa kupenuhi. Melihat seseorang yang dipercaya Penciptaku untuk melindungiku, bersimbah darah dan luka yang bahkan makhluk sekuat apapun takkan bisa menahannya, memaksaku menangis sejadi-jadinya. Tetapi, ketika telapak tangannya menempel di dahiku, aku bisa merasakan kehangatan yang menenangkan kesemerautan logikaku. Mereka pantas mendapatkan ganjaran yang setimpal. “Apa yang mereka lakukan padamu?”
Kevin tertidur dengan memar di sekujur tubuhnya. Tubuhnya dibalut koyakan daging, kelupasan kulit, dan darah yang terus tersembur paksa. Aku bisa melihatnya menggigil karena siksaan yang didapatnya sudah melewati batas kemampuan tubuhnya. Mulutnya mengigau kalimat tak jelas, melantur. Rasanya, alam bawah sadar sedang mengambil alih otaknya untuk lenyap dari penderitaan.
“T-tolong…” ucap bibir Kevin bergetar di permukaan perutku. Tak ada lagi nada guyonan yang biasa dilakukannya untuk menghiburku. Hanya tersisa keletihan, trauma, dan perdarahan. Kuharap, seseorang berhati manusia dengan senang hati membawakanku perlengkapan medis segera.
Tiga jam penuh aku menunggu, tak seorang pun datang. Kering, keringat, nyeri, bercampur aduk di dalam penjara berbatu yang pengap ini. Butiran-butiran pasir hanya memberikan efek perih pada kulit Kevin yang menunjukkan daging merah, memaksa tangannya semakin menjalar untuk mencengkeram pundakku sekeras mungkin. Padahal kupikir, mimpi indah tadinya telah membawa Kevin ke dimensi lain sebagai ganti obat penghilang rasa sakit. Mereka monster.
“Apa yang bisa kulakukan untuk menolongmu?” Bibirku menawarkan pertolongan mustahil pada Kevin. Tetapi, apa lagi yang bisa kulakukan?
“Aku haus…” dan aku tak mampu memberimu air. “Sungguh, maafkan aku membawamu kemari, Buddy… memaksamu merasakan hukuman yang… sepatutnya… tak kau terima… argh,” Kevin mengerang saat kulit bibirnya terkelupas terlalu dalam.
“Maafkan aku,” aku sungguh menyesal.
“Ha-Ha,” Kevin berusaha menghilangkan rasa bersalahku. “Hhh… Pesawat tanpa awak dan misil balistik yang menyerang kita berasal dari Pasukan Aliansi Timur-Tengah. Mungkin, dalam pikiranku, mereka menganggap kita sebagai musuh. Maafkan aku, Buddy.”
“Bukankah kau bilang Raja Jazeera tahu siapa Profesor? Dia seharusnya juga tahu jika kita ke sini untuk melakukan… negosiasi.”
“Raja tahu Profesor. Tetapi, beliau belum ambil keputusan untuk bergabung. Dan kupikir, membawamu ke sini bisa menyadarkannya jika Missionaris tidaklah main-main untuk menghancurkan Ratu, Paramiliternya, dan aliansinya. Berulang kali kujelaskan pada para penyidik itu, namun mereka bersikukuh menolak permintaanku untuk menemui Raja. Malah, penyiksaan ini terjadi atas perintah langsung dari beliau.” Kevin menangis, dengan sedu yang ditahannya sekuat mungkin. Terlalu banyak penderitaan yang ditahan tubuh rentannya.
“Kau sebaiknya tidur. Paling tidak cobalah…”
Lidahku terhenti ketika lima manusia jahat membanting jeruji besi, masuk mendekatiku dan menyeret tubuhku mengikuti mereka. Kevin meronta sekuat tenaga dan mencengkeram pergelangan kakiku, menahan seluruh pijakan kaki para monster yang tak menghiraukan kondisi sekaratnya.
“CUKUP! JANGAN SIKSA DIA LAGI!” Mulutku mendapat tinju keras hingga mengeluarkan darah seperti Kevin. Mereka akhirnya menyeretku keluar, meninggalkan Kevin yang tak sadarkan diri akibat siksaan bertubi-tubi.
Mereka menegakkanku di bawah lampu gantung dan mengelilingiku dalam bentuk lingkaran. Di sisi kananku, ada sebuah meja kayu yang di atasnya terdapat berbagai macam peralatan tajam, mesin-mesin pemotong, dan rantai besi. Mataku berusaha menelusuri wajah mereka yang ditutupi kain hitam, mempelajari kebengisan yang terpancar dari mata hitam itu. Mereka tanpa belas kasih. Zalim. Pembunuh.
Tiba-tiba, mereka menelanjangiku paksa, mendorong tubuhku ke satu temannya ke temannya yang lain, mencekik leherku, dan memukul keras perutku. Kakiku tak mampu menopang tubuhku lagi. Aku hanya mampu bersujud sambil terbatuk-batuk menghadap tanah berpasir, menyerap udara sedalam mungkin untuk meredakan nyeri yang merajai sarafku. Kemudian, seseorang mencengkeram kepalaku dan membantingnya ke permukaan berbatu. Mataku bisa melihat darah yang mengalir dari keningku, menggumpal dengan butiran pasir, hingga membuat bendungan amis berdebu.
“Iblis! Pada siapa kau bekerja!”
“Aku tak bekerja untuk siapapun! Aku kemari untuk meminta pertolonganmu… pertolongan Pemimpinmu. Atas Nama Tuhan aku bersumpah bahwa kami takkan membahayakanmu!”
“PENDUSTA!”
Para manusia itu merentangkan tubuhku dengan paksa ketika seseorang yang menghantam kepalaku berdiri sambil membawa pecut kulit. Saat cambukannya mengelupas punggungku, mataku tak mampu lagi membendung air mata. Rasa perih yang kurasa hanya bisa meyakinkan logikaku jika manusia… tak bisa diselamatkan.
“Allahur Rahman… Allahur Rahim. God most benevolent, God most merciful. Lindungilah hamba dari manusia buta. Maafkanlah mereka, wahai Pemaaf…”
“Kau…” getar tubuh Algojo yang bisa kurasakan. Sekejap, dia membunuh rasa gentarnya atas kalimat suci yang telah kuucapkan. Gerahamku kembali menghentak keras untuk menahan sabetan tajam di atas punggungku. Sungguh, aku tak mampu menahannya lagi! “IBLIS!”
“Kau percaya Allah! Kau percaya jika Dia Maha Pengasih dan Penyayang! Kau percaya Iblis! Makhluk jahat yang brutal! Kau mempercayai mereka berdua! Dan mana di antara mereka yang lebih mempercayaimu!?”
Kepalaku yang kaku menoleh ke pria jahat yang mencambukku. Tangannya membeku di udara, bersama siratan matanya yang begitu cepat memperlihatkan keraguan. Rasa takut. Siratannya diliputi kegelisahaan, keimanan yang goyah untuk mencerna pertanyaannku tentang apa yang akan dikatakannya pada Tuhan saat mempertanggung-jawabkan kekejiannya sekarang.
“Kau! Bawa dia kembali ke sel.”
Hukumanku berhenti. Bahkan, pakaianku kembali melekat di tubuhku. Manusia itu juga memasukkanku kembali ke tahanan tanpa menjerat pergelangan tangan dan kakiku.
“Sir…” tanganku berinisiatif menggenggam jari manusia yang mencambukku sebelum dia mengunci jeruji besi. “Maafkan aku. Maukah anda membawakanku beberapa obat dan makanan untuk Saudaraku? Kumohon…”
Namun, manusia itu menepis tanganku dan meninggalkanku tanpa sepatah kata pun. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah meletakkan kepala Kevin ke pangkuanku, dan mengusap rambutnya yang basah akibat keringat secara perlahan, berharap jika saja mimpi indah menjebaknya lebih lama.
20 menit kemudian, gerombolan manusia itu kembali. Tetapi, seseorang yang belum pernah kulihat bersama mereka datang dan masuk mendekatiku secepatnya. Dia duduk di sampingku, membawakanku air minum dan roti untuk segera kusantap. Pupil matanya yang cokelat menatapku, sungguh penasaran dan yakin.
“Namamu siapa, Nak?” tanyanya padaku dengan suara bijak seperti Profesor.
“Namaku B-16, Sir.”
“B-16? Kau…”
“Prof. Hopkins menciptakanku untuk menolong manusia melalui kebenaran tentang tujuan Tuhan menciptakan mereka. Aku adalah bionic, Sir.”
“B-Bionic?” Telapak tangan pria itu menelusuri setiap sudut wajahku dengan hati-hati, mempelajari bentuk tubuhku, dan mencari alasan logis bagaimana mungkin Profesor bisa menciptakan makhluk sepertiku. “Dia tak berbohong. Allahu Akbar. Dia tak berbohong…” wajahnya menyeringai disertai bentuk kelopak mata yang melengkung. Bibirnya yang cokelat merekah, menampakkan jejeran gigi putih bersih dan rapi untuk tersenyum padaku. “Lalu, dimana Prof. Hopkins, Nak?”
“Professor…” wajahku tertunduk pada pria yang elok ini. “Beliau telah wafat, Sir.”
“Wafat?” Wajahnya yang tersenyum berubah menjadi ekspresi tak percaya. Jejeran jarinya menggenggam pundakku, menahannya begitu hangat seperti ingin menyerap beban yang kupikul selama ini. “Innalillah… bagaimana bisa, Nak?”
“Aku tak tahu, Sir. Tetapi,” wajahku menoleh pada Kevin yang bernapas begitu berat, “Profesor mempercayai Kevin untuk melindungiku dan membawaku pada Pemimpinmu, Sir.”
Seketika, raut wajah sedih pria itu berubah menjadi… sedikit kesal. Dia seperti merasa jijik ketika melihat kondisi Kevin yang lemah dan terbaring dengan balutan luka berpasir. Tampaknya, Pria itu memiliki memori buruk tentang Kevin, sesuatu yang tak bisa… dilupakannya.
“Maafkan aku atas perlakuan buruk yang kau terima, Nak. Aku akan membawamu keluar dari sini.” Ketika tangan Pria bijak itu menarikku hingga meninggalkan Kevin sendirian, kakiku membeku untuk menolak ajakannya.
“Aku tak bisa meninggalkannya sendirian.” Tubuhku kembali memeluk Kevin yang masih tak sadarkan diri. “Dia lebih butuh penanganan medis dibandingkan diriku. Dia sekarat. Kumohon.” Mataku tertutup untuk menahan air yang mulai mengalir deras. Seketika, Pria bijak itu memenuhi permintaanku dengan memerintahkan suruhannya untuk membawa Kevin bersama kami.
Kami berada di dalam minivan hitam yang dilengkapi peralatan medis untuk memberikan pertolongan pertama pada Kevin. Aku tak mampu melepas telapak tangan Kevin, menahan getarannya yang terus memberitahuku betapa sakit yang dirasakannya. Jemariku mengusap kening Kevin dan berhati-hati untuk tidak menyentuh lukannya. Tetapi, matanya tak kunjung terbuka, hanya terus menampakkan ekspresi jika dia… benar-benar hancur.
Kami sampai di sebuah wilayah yang Pria bijak bilang sebagai sarang rahasia. Banyak sekali para Tentara berseragam hitam, lengkap dengan persenjataan mutakhir, dan sistem keamaan untuk melindungi wilayah ini dari penyusup. Pria bijak berkata jika beliau sedang membawa kami menuju Town Site 1, di mana fasilitas medis berada.
“Hati-hati,” tim medis langsung mengangkat tubuh Kevin ke kasur portable dan mendorongnya masuk ke dalam rumah sakit. Aku terus mengikuti ke mana pun mereka membawa Kevin, hingga akhirnya tubuhku di dorong sebagai peringatan tak boleh masuk. Dokter membiarkanku berdiri di lorong, memandang kamar dengan tulisan operasi yang telah dibubuhi sinar LED. Sebagai gantinya, seorang Perawat datang untuk memberikan penanganan medis pada luka yang kudapat dari siksaan. Dia mengusap lembut kening, lengan, dan punggungku dengan senyawa menyengat yang perih sebagai prosedur anti-infeksi. Rasanya sungguh menyakitkan, sama seperti kejutan listrik yang mencabik-cabik koyakan dagingku. Kemudian, dia menyemprotkan cairan yang memberikan sensasi dingin sebagai pereda nyeri, dan membalut lukaku dengan perban putih bersih. Aku pun mengikuti langkah perawatan terakhir dengan meneguk pil sebagai pemercepat proses penyembuhan luka.
Pria bijak datang menghampiri Perawat dan berkomunikasi dengan bahasanya. Mungkin, beliau sedang menanyakan kondisiku. Setelah Perawat itu pergi, Pria bijak duduk di sampingku, sambil menggenggam pundakku dengan hangat. Dia mengingatkanku pada Profesor karena kupikir mereka memiliki umur dan keramahan yang sama.
“Kau suka es krim? Kita bisa mencarinya,” ujar Pria bijak.
“Sungguh, aku suka es krim,” jawabku, “tetapi, aku ingin tetap di sini sampai perawatan Kevin selesai. Terima kasih.” Lalu, Pria bijak beranjak meninggalkanku tanpa ekspresi. Oh Tuhan, betapa kasarnya aku. “Sir!” Tubuhku berlari untuk menepuk pundak Pria bijak. Namun, tindakanku memaksa para Tentara berseragam hitam mengelilingiku dan menodongkan senapan mereka ke berbagai sudut kepalaku. Mataku hanya bisa terpejam, berusaha melupakan kebengisan manusia karena aku percaya jika mereka hanya sedikit tersesat. Lalu, Pria bijak menghampiriku, memelukku, dan menatap setiap Tentaranya untuk segera menghentikan tindakan buruk mereka. “Aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku sungguh-sungguh minta maaf atas penolakan kasarku karena…”
“Anakku, aku yang seharusnya minta maaf karena telah menyiksamu.” Jari hangat Pria bijak menggenggam pipiku. “Aku menciptakan sistem prosedur keamanan untuk mengeksekusi manusia yang dicurigai mau menghancurkan Aliansi dan Negaraku. Dan aku memohon maaf padamu jika sistem yang kuciptakan mengidentifikasimu sebagai musuh. Sungguh, maafkan aku, Nak.” Pria bijak mengusap kepalaku dengan lembut untuk menghilangkan rasa nyeri akibat sentakan moncong senapan. Dan juga, dia memanggilku Nak, sama seperti yang dilakukan Profesor. “Maafkan aku.” Pria bijak dan para Tentaranya meninggalkanku. Kutahu, mereka sebenarnya orang-orang baik. Sungguh.
Operasi Kevin masih belum selesai, membiarkanku terus menunggu hingga waktu yang tak kuketahui. Sebaiknya, aku duduk tenang karena otot dan sendiku butuh penenangan setelah dirawat.
Sejak Kevin mengevakuasiku dari Balck Cube, banyak sekali pengalaman baru yang kulihat dan mulai menyelubungi otakku. Pengalaman itu bukan lagi teori, atau bahkan cerita yang keluar dari mulut Profesor. Malah, aku harus berhadapan pada setiap detil di setiap detiknya atas apa yang terjadi di dunia luar. Kebanyakan sungguh… brutal. Dan sejujurnya, hal itu membuatku tak nyaman karena sesuatu di otakku terus memaksaku mengikuti ketidak-manusiaan itu.
Seluruh aliran fakta itu telah menciptakan dorongan pada logikaku untuk berpikir, mempelajari, bersikap, dan beradaptasi dari setiap kejadian yang diliputi ledakan, siksaan, bahkan pembunuhan untuk alasan mengerikan. Mereka menari layaknya kosmos, berputar searah jarum jam, berubah dari waktu ke waktu menuju siksaan lain dari manusia yang tak kukenal. Semua perang, kelaparan, ketidak-yakinan hanya berasal dari satu hulu, sebuah hulu yang menggiurkan setiap sel, jaringan, organ, dan indera tubuhku untuk bergerak mendekatinya, menyentuhnya, dan tersentuh olehnya.
Hulu itu secara alami telah bersemayam di benakku sejak pertama kali Tuhan meniupkan ruh ke tubuhku. Hulu itu terus tumbuh dan berkembang sejak paru-paruku pertama kali menghirup oksigen, sejak pertama kali Profesor mengecup keningku, dan sejak hari pertama saat kumenatap penderitaan yang sebenarnya. Hulu itu terus tumbuh untuk memberiku hasutan agar bersatu dengannya.
Lalu, bagaimana menurutmu jika kau menyatu dengan hulu itu, Nak?
Aku bisa menjadi salah satu dari mereka, Profesor. Aku akan menjadi kejam dan zalim. Dan jika itu terjadi, aku takkan bisa melepaskan diri dari kenikmatan tersebut.
Kenikmatan untuk?
Membunuh manusia tak bersalah.
Hulu itulah yang kita panggil sebagai…, Anakku.
“Ini.”
Pria bijak duduk di sampingku dengan membawa dua buah es krim dan... “Pumpkin!” Tubuhku tak bisa berhenti memeluk Husky kesayanganku dan membagi kecemasan yang membendungku, kekhawatiranku akan masa depan yang semakin lama semakin dilahap kegelapan.
“Ambilah, Nak,” tawar Pria bijak. Aku meletakkan Pumpkin di lantai, lalu mengambil es krim dari tangan Pria bijak itu. “Hijau untukku, merah untukmu.”
“Terima kasih. Hap!” Mmm, aku merasakan kesegaran dari asamnya stroberi dan kelembutan krim, dikombinasikan dengan beberapa kotak kecil brownies lembut. “Bukankah ini irisan buah segar, Sir?”
“Ya. Dan sebenarnya, es krim ini buatan tangan.”