Percayalah jika harapan masih mengingat kita.
“Sungguh!? Aku tak harus membunuh Ratu?” Hatiku begitu lega mendengar perkataan Kevin. Dia menjelaskan jika ada alternatif lain yang lebih efektif untuk menggagalkan seluruh proyek sang Ratu, tanpa harus memaksaku melakukan tindakan keji yang dibenci Tuhan. Namun, aku sedikit bingung sekarang. “Kita pergi kemana katamu? Maaf, aku lupa nama tempatnya.” Kevin membidikku tajam dengan mata biru serigalanya, sedikit menekuk lehernya untuk menciptakan garis lurus sejajar antara pupilku dan pupilnya.
“Turki.”
“Turki? Apakah itu rumah untuk ayam kalkun?”
“Jangan bercanda,” Kevin menjitak kepalaku karena pertanyaanku sangatlah tak sopan. “Turki adalah Negara di mana Profesor menyembunyikan sesuatu yang penting. Sesuatu yang harus… dilindungi.”
“Oh ya!” teriakku mengejutkan Kevin. “Aku teringat sesuatu. Raja Mahmood memberiku es krim yang bisa melar dan berasal dari Turki. Apakah negara itu yang kau maksud?”
“Ya! Benar sekali! Wah, kau pelit tidak menyisakanku sedikit!” Kevin tertawa lepas sambil mengacak-acak rambutku. Aku tak pernah melihatnya sebahagia ini sebelumnya. Terlebih lagi, setelah Kevin menghadapi kenyataan atas pembunuhan Jen dan April. “Kita akan mencari es krim itu setiba di Turki. Harus!”
Aku mendengar suara komando Pilot yang memerintahkan kami untuk memakai sabuk pengaman. Dari jendela pesawat, aku sudah bisa melihat tatanan kota, terutama landasan pacu bandara internasional Ataturk. Kevin mulai memasukkan laptop Profesor ke dalam tas dan mengaktifkan sistem keamanannya. Setelah semua persiapan selesai, dia memakaikanku dan Pumpkin sabuk pengaman sebaik dan senyaman mungkin. Tingkahnya agak sedikit aneh, seperti sedang menyembunyikan sesuatu di balik ekspresi hangat dan ramahnya. Kuharap, kali ini aku takkan melihat kebrutalan dalam bentuk apapun.
“Apa ada Paramiliter di sini?” tanyaku cemas.
“Kau tak perlu cemaskan itu. Tak perlu lagi,” ucap Kevin sambil menggenggam pundakku. “Yang harus kau lakukan adalah melihat hal-hal baru yang indah dan belum pernah kau saksikan. Aku di sini menjagamu. Okay?”
“Kau… baik-baik saja?” tanyaku heran.
“Apa yang salah denganmu?” Kevin memprotes pertanyaanku dengan mata lebarnya. Aku tak mengerti. Aku hanya menanyakan kondisinya yang berbeda 180 derajat. Namun lagi-lagi, dia menjitak kepalaku. Memang salahku apa? “Duduklah dengan tenang. Sebentar lagi kita akan bersenang-senang. Okay?” Kali ini, aku hanya berani mengangguk karena tak ingin dijitak lagi.
Pesawat mendarat dengan lembut. Sebelum keluar ke landasan pacu, Kevin mengajakku ganti baju karena dia pikir seragam yang kami kenakan benar-benar kuno. Kevin mengeluarkan setelan pakaian dari tasku, memberiku kaos biru laut, jeans hitam, jaket kulit coklat, dan sepatu boot biru dongker. Dia memaksaku segera memakainya. Padahal, aku sedikit malu harus telanjang di depannya meskipun Kevin tak peduli. Ya, dia bahkan tak malu membiarkan tubuhnya tak ditutupi sehelai benang pun.
Selesai pakai baju dan hendak berjalan keluar, Kevin dengan buru-buru merangkul pundakku ketika Pilot membukakan pintu pesawat. Mataku melihat barisan Prajurit berseragam hitam yang wajahnya ditutupi topeng kain. Mata mereka setajam senapan yang dibidikkan padaku, bersama langkah kaki mereka yang berjalan tegap dan cepat menuju posisiku di dekat sayap pesawat.
“Orang-orang itu sebenarnya teman kita. Mereka hanya ingin melakukan prosedur keamanan standar, sama seperti yang dilakukan prajurit Sam. Jangan cemas, okay?”
Aku tak bisa mengangguk pada Kevin karena salah satu Prajurit telah memaksaku tengkurap di atas aspal, meraba-raba seluruh bagian tubuhku dengan tepukan keras, dan menghardikku dengan dialek yang belum pernah kudengar. Wajah Kevin terus tersenyum padaku, seperti ingin meyakinkanku jika perlakuan kurang nyaman ini akan segera berakhir. Tetapi, logikaku merasakan intimidasi yang kuat, serasa ingin memerintahkan seluruh otot-ototku bergerak dan melawan Prajurit di atas punggungku. Siksaan apa lagi yang akan kuterima setelah ini?
“Percayalah, mereka teman kita.” Kevin terus menceritakan es krim favoritku saat logiakku berontak atas kecemasan hatiku. Bahkan, dia meyakinkanku jika mereka bukanlah Paramiliter yang ingin mencelakaiku.
Pemeriksaan selesai. Para Prajurit mengizinkanku dan Kevin berdiri kembali, mengelilingi kami, dan berjalan menuju tepian landasan pacu seperti pengawal yang memberikan perlindungan total. Bibirku manyun memikirkan kebenaran yang dikatakan Kevin. Ya. Kebenaran itu berhasil meredakan gejolak logikaku yang ingin, membalas perbuatan mereka.
Tepat lima meter di hadapanku, berdiri seorang pria yang lebih tua dibandingkan Kevin, namun lebih muda dari Profesor. Dia mengenakan mantel tebal dan sarung tangan hitam sebagai pelindung dari butiran salju yang mulai turun. Uban-uban di sisi kepalanya terlihat apik, bersama kerutan di sisi kelopak matanya saat pria itu tersenyum. Mata cokelatnya membidik Kevin tajam, bersamaan tangannya yang menggenggam tangan Kevin sebagai ucapan selamat datang di negeri bernama Turki.
Sambutan hangatnya tak berlangsung lama. Pria itu mulai bersemangat menceritakan kerusuhan yang sedang terjadi di daerah perbatasan Rusia dan Syria, memaksa Kevin menghentikan gerakan bibir pria itu dengan lembut, dan memintanya untuk menatapku.
“Mr. B-16,” wajah pria itu terperangah menyadari keberadaanku. “Demi Tuhan di Surga… kau nyata!” Tangan pria itu mememeluk tubuhku seperti anak kecil yang baru menemukan boneka kesayangannya. Secara resmi, aku bertemu dengan Mr. Joseph Bayrmoglu, orang kepercayaan Prof. Hopkins.
“Mr. Joseph,” ucap Kevin meminta perhatian pria yang masih betah memelukku. “Maukah kau mengantar kami ke kedai es krim Turki?” Telapak tangan Kevin menempel di ubun-ubunku. “Adikku ini ingin sekali memakannya. Ya, bisa dibilang ketagihan setelah Raja Mahmood memberinya satu.”
“Oh, tentu!” ujar Mr. Joseph sambil merangkul pundakku. “Ikuti aku.”
Kami masuk ke dalam salah satu mobil sedan hitam yang di kelilingi mobil baja bersenjata. Konvoi ini sama seperti yang kurasakan saat berpergian bersama Raja Mahmood. Kevin bilang jika fasilitas ini termasuk prosedur keamanan standar yang diperuntukkan bagi pejabat penting, seperti Kepala Negara, “termasuk diriku,” tawa Kevin membahana, membuatku makin penasaran tentang apa yang disembunyikannya saat ini.
Di perjalanan, Kevin dan Mr. Joseph membahas proyek Misionaris secara… sembunyi-sembunyi… dari pendengaranku. Ya, mereka saling berbisik. Ketika kucoba mendengarnya, Kevin langsung mengalihkan perhatianku dengan pertanyaan, “Rasa es krim apa yang ingin kau coba nanti, Buddy?” atau, “kira-kira bagaimana ekspresi Serigala bodoh itu saat menjilat es krim dingin itu, ya?” Benar. Sesuatu sedang disembunyikannya.
Aku melakukan apa yang Kevin minta, memandang sesuatu yang baru dan indah. Di luar kaca mobil, aku melihat pemandangan dari perpaduan dua kebudayaan, Eropa dan Asia. Aku bisa menyaksikan bangunan-bangunan artistik dengan sentuhan kaligrafi Islam dan arsitektur bangunan kuno zaman dinasti Romawi yang berasimilasi dengan Otoman Turki. Aku tak bisa menahan tanganku untuk menurunkan kaca mobil, membiarkan terpaan udara musim dingin membekukan pori-poriku, hingga akhirnya keindahan yang kulihat bisa menekan logikaku yang sedang berontak.
“Buddy, kau bermimpi?” Kevin menyadarkanku saat membukakan pintu mobil untukku. “Ayo! Kita sudah sampai.” Aku mengikuti Kevin ke lingkungan yang penuh sesak, dikerumuni lautan manusia yang antusias pada beragam jenis produk di kios-kios kayu. Kevin menyelubungi punggungku dengan tangan kanannya, menghilangkan kemungkinan apapun jika aku akan terpisah darinya dan Mr. Joseph. “Genggam pinggulku,” tukas Kevin dengan ramah. Kulakukan.
Berbagai macam jenis karpet yang terbuat dari wol asli, atau bahkan imitasi, saling menumpuk dan unjuk diri untuk memikat hati pengunjung. Jejeran teko teh emas —yang membuatku penasaran apakah ada jin di dalamnya— saling memantulkan cahaya dari lampu-lampu kristal yang menggantung di atasnya. Banyak juga manusia yang sedang bersosialisasi dengan koleganya sambil mengisap sebuah pipa yang terhubung ke kendi kaca, lalu mereka menyemburkan asap beraroma rerempahan dan buah. Hidungku semakin tergelitik ketika mencium aroma panggangan roti gandum yang lezat, memaksa cacing-cacing ususku memberontak agar aku segera memakannya.
Sebenarnya, Kevin tak perlu merangkulku atau bahkan cemas jika aku akan hilang di tengah pasar tradisional ini. Tangannya itu menghalangi pandanganku saat menikmati serba-serbi di setiap sudut pasar. Tetapi, dia bersikeras melakukannya dan tak mau mendengar permintaanku. Ketakutan Kevin akan kehilanganku masih terpancar di wajah palsunya.
“Di sana,” tunjuk Mr. Joseph ke sebuah kedai berlampu warna-warni. “Kedai yang dipenuhi anak-anak itu menjual es krim yang kau cari. Dondurma.”
“Buddy,” Kevin merogoh sakunya dan memberiku beberapa lembar dollar. “Pergilah dan tunggu di sana. Ajak Pumpkin bersamamu.”
“Penjualnya mau menerima dollar?” tanyaku heran. Namun, Kevin menjitak kepalaku lagi.
“Berikan saja uangnya,” tukas Kevin padaku. “Tunggu aku di sana, ya?” Kevin tersenyum ramah dan membalikkan tubuhku agar segera berjalan menuju kedai Dondurma. Perawakannya sungguh aneh ketika aku meliriknya bersama Mr. Joseph.
Aku tahu jika mereka ingin bicara sesuatu yang rahasia. Tak mengapa bagiku. Hanya saja, jantungku terus berdegup aneh karena sebuah perasaan membuatku gugup. Tak bisa kujelaskan.
Di depan penjual yang menatapku bingung, mungkin tepatnya aneh, aku melihatnya sedang merentangkan bongkahan es krim menjadi panjang layaknya karet. Bagaimana mungkin? Yang kutahu, es krim akan cepat lumer sebelum aku sempat melahapnya. Tetapi, Dondurma tidaklah sama.
“Untukku?” kataku pada penjual yang memberiku kerucut es krim berwarna putih. Saat penjual itu meletakkan bulatan es krim di atas kerucutku, aku langsung menariknya mendekati bibirku, tetapi tak satu pun rasa lezat yang kurasa. Dia merebut es krimku sambil memutar-mutarnya di udara. “Kenapa?” tanyaku bingung.
Anak-anak di sekitarku tertawa akan kebingunganku. Begitu juga si penjual. Bahkan, dia memutar-balikkan kerucut es krimku setelah menambah dua bongkahan es krim bewarna merah dan hijau. Anehnya, es krim itu tak jatuh atau lumer sama sekali. Ketika tongkatnya mengarahkan Dondurma ke hadapanku, kerucut es krimnya langsung kurebut. Namun, es krim yang ingin kunikmati malah ditarik kembali dan direntangkan hingga warnanya menyatu seperti pelangi.
“Apa salahku padamu?” gusarku pada penjual yang malah tertawa terbahak-bahak. Aku tak mengerti. Aku memiliki uang untuk membeli es krimnya. Tetapi, penjual itu terus mengambil Dondurmaku setelah kugenggam.
“Kau berasal dari Jepang?” tanya penjual itu.
“Tidak,” jawabku, “aku berasal dari Kut...” bibirku membeku karena mengingat perkataan Kevin yang menyuruhku untuk membungkam segala hal yang berkaitan dengan Profesor. “M-maksudku, aku berasal dari Amerika Utara. Aku ke sini bersama Saudaraku,” telunjukku menunjuk Kevin yang sedang bicara serius dengan Mr. Joseph, “untuk liburan di sini.” Maafkan kebohonganku, Tuhan.
“Itu Saudara laki-lakimu?” tatap penjual itu ragu. “Yang di persimpangan jalan? Yang sedang berbicara dengan pria di sampingnya? Yang berambut pirang emas itu?” Aku mengangguk padanya yang masih sibuk menggulung-gulung es krimku di udara.
“Ya,” jawabku ragu. “Aku dan Saudaraku memiliki Ibu yang berbeda,” dan Ayah yang berbeda juga.