Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?
Jalanan begitu sepi, dikelilingi padang rumput hijau di sisi kiri dan kanan, diteduhi awan mendung yang tampak pilu pada kelakuan manusia. Udara dingin sedang menggerogoti tulangku, memaksa Kevin —yang fokus menyetir— menyelimutiku. Aku bersikeras membuka kaca Blacknum untuk menikmati pemandangan yang sebentar lagi akan musnah. Aku tahu, kecil sudah harapanku untuk bisa mengunjungi Padang Rumput Hijau. Tuhan mulai menunjukkan hari pembalasanNya.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Kevin dengan alis sedikit berembun.
“Mengenang perkataan Profesor tentang Padang Rumput Hijau. Di sana, takkan ada kesedihan ataupun kebahagiaan. Profesor bilang, di sana, aku bisa berlari sepanjang hari, hingga tulang keringku retak dan tak mampu lagi bergerak. Hhhh, benar-benar omong kosong.”
“Kupikir, itu cerita yang indah,” ujar Kevin dengan mata birunya yang tenang.
“Alasannya?”
“Karena kupercaya, Padang Rumput Hijau itu ada. Dan Profesor memberitahumu kebenarannya.”
“Kau bisa mengantarku ke sana?” Profesor tak berdusta jika Kevin tahu tempat itu.
“Well… untuk mengunjungi Padang Rumput Hijau… Tuhan telah menetapkan waktu bagi setiap manusia untuk datang ke sana. Waktu tersebut adalah rahasia terbesar yang hanya diketahui olehNya.”
“Rahasia? Jadi, Padang Rumput Hijau itu bukan di Bumi?”
“Ha-Ha-Ha!” Kevin menggosok kepalaku, terus memandang jalan yang lurus sebagai petunjuknya. “Tunggulah. Kau akan segera tahu di mana tempat itu berada.” Aku tertawa karena Kevin menunjukkanku senyum ramahnya. Aku tahu jika Kevin mempercayai keberadaan tempat itu dan akan melakukan apapun untuk memasukinya. “Tetapi,” wajah Kevin membeku sebelum melanjutkan perkataannya, “hanya segolongan tertentu yang berhak mengunjungi Padang Rumput Hijau, ‘kan?” Kevin tersenyum.
“Benar,” ujarku sambil menundukkan kepala. “Profesor sudah menjelaskannya padaku.”
Sekarang, aku bisa melihat kecemasan di wajah Kevin karena dia tahu mungkin saja Tuhan tak memilihnya sebagai golongan yang berhak menginjakkan kaki di Padang Rumput Hijau. Jemariku langsung mengusap lengan Kevin, berusaha membuatnya tenang dan percaya jika Tuhan itu… Pemaaf.
Kevin memintaku menyuapinya keripik kentang karena sudah enam jam kami terus berada di perjalanan. Ya. Perutnya terus berontak karena lapar. Kevin tak bisa menepikan Blacknum hanya untuk sekedar makan siang karena kami masih berada di zona merah. Namun, melihat wajah Kevin yang mengunyah tanpa henti, berhasil membuatku kenyang.
“Hey, Buddy,” Kevin menyadarkanku. “Apa yang kau ingat tentang tempat lahirmu?”
“Albion?” tanyaku balik. “Aku hanya tahu Profesor menyebutnya sebagai tempat kelahiranku. Itu saja.”
“Benar-benar pelit Pak Tua itu!” ejek Kevin dengan senyum bahagia, seperti sedang mengingat kenangan bersama Profesor. “Aku takkan berbohong padamu karena aku harus menyampaikan kebenaran. Benar?”
“Tentu,” aku mengangguk.
“Baik,” Kevin menghela napas panjang, “Dulcebase adalah laboratorium rahasia yang terletak di bawah tanah Darvaz, Turkmenistan, yang pernah digunakan Paramiliter untuk menguji penemuan-penemuan baru seperti senjata penghancur massa. Laboratorium itu pernah terhubung dengan empat Headquarter Paramiliter menggunakan jalur railink bawah tanah. Namun karena ledakan besar yang terjadi di Darvaz setengah abad silam, Dulcebase akhirnya terkubur dan tak terjamah karena gas beracun menguasai tempat itu, dan akan membunuh siapapun yang masuk ke dalamnya. Kau masih mendengarkanku?” tanya Kevin dengan irama guyonan. Dia tak mau jika logikaku terlalu menganggapnya seperti kenyataan pahit.
“Lanjutkanlah.”
“Sejak ledakan itu, media terus mencari kebenaran di balik tragedi Darvaz dan mengeksposnya ke publik, yang mana hari ini kita kenal tempat itu sebagai,”
“Hell’s Gate.” Kevin mengangguk mendengar jawabanku.
“Ratu tak ingin ambil resiko yang bisa menyibak sosok aslinya ke mata dunia, dan juga tak mau membuang-buang sumber daya terbatas untuk membangun kembali Dulcebase. Sebagai gantinya, dia menutup tempat itu… selamanya.” Tiba-tiba, aku tertawa karena irama suara Kevin yang seperti petugas inspeksi. “Ada apa?”
“Tak ada apa-apa,” jawabku menahan tawa.
“Huff! Tahun 1985, Prof. Hopkins mengeksplorasi reruntuhan Dulcebase, membangun kembali fasilitas laboratorium sebagai tempat yang tak terdeteksi oleh Paramiliter. Dan tentunya, Profesor membangun tempat yang begitu aman dan steril…”
“Untuk menciptakanku.” Kevin terdiam sepuluh detik setelah mendengar ucapanku, kemudian tersenyum bijak.
“Ya. Untuk melahirkanmu ke dunia.” Kevin mengusap tengkukku sebelum melanjutkan penjelasan panjangnya. “Sejak hari pertama embriomu hadir, Prof. Hopkins terus mendengarkanmu fakta-fakta penting yang mempengaruhi aspek kehidupan. Profesor ingin merekam kebenaran tersebut di dalam sebuah perangkat yang aman. Namun karena tak ada satu pun perangkat tunggal terkomputerisasi yang mampu menyimpan jutaan fakta itu, Profesor akhirnya menciptakan…”
“Bionic,” lengkapku. Kevin menghela napasnya.
“Dirimu.” Kevin tersenyum dan meluruskan pernyataanku. “Profesor menanamkan sesuatu seperti algoritma… program… di dalam otakmu untuk memakai seluruh kapasitas pikiranmu dalam menyerap informasi kebenaran. Dan media untuk membuat ribuan fakta itu terlindungi… sekaligus kekal sampai sekarang… adalah rangkaian kode genetikmu. Darahmu.”
“Darahku?”
“Ya. Rangkaian genetikmu itu tak hanya menyimpan informasi biologis, tetapi juga kebenaran yang selalu dijelaskan Prof. Hopkins. Namun, seluruh fakta yang ada di otakmu,” Kevin menyentuh sisi kepalaku dengan telunjuknya, “telah dicopy dan dimanipulasi oleh Ratu untuk disebar pada masyarakat dunia. Dan ketika kau siap untuk hidup di dunia luar, Profesor harus mengaktifkan algoritma di otakmu untuk menjadikanmu sebagai makhluk tercedas di muka bumi, mampu menyerap, mengingat, dan memahami seluruh kebenaran yang dibutuhkan para manusia buta.” Kevin menelan ludahnya. “Sejak kau berusia tiga tahun, Profesor membawamu ke Black Cube untuk melindungimu, dan terus mengajarimu tentang kebenaran di balik perintah Tuhan dan kebohongan sang Ratu. Bisa kau bayangkan betapa mengagumkannya dirimu?” Kevin tertawa sedikit bersama linangan air mata.
“Darimana kau tahu informasi itu?”
“Dari Raja Mahmood, Mr. Joseph, dan rangkaian proyek Profesor yang kulihat di laptopnya. Sebenarnya, ini harus dirahasiakan, termasuk dari dirimu.” Kevin kembali mengacak-acak rambutku karena wajahku terlalu serius mendengarkannya. “Kau seharusnya mulai menyebarkan kebenaran pada masyarakat dunia ketika umurmu 16 tahun. Di saat itu, kapasitas otakmu telah mencapai level tertinggi untuk memahami, memilih, dan menentukan sebuah keputusan penting berdasarkan fakta-fakta yang terukir di pola genetikmu, dan kenyataan yang seharusnya kau saksikan di luar Black Cube. Namun kau tahu, Profesor takkan membiarkanmu melihat dunia luar karena Ratu masih memiliki kekuatan dan dominasi. Termasuk, dia bisa…” membunuhku, “… mencelakaimu.” Kevin tersenyum dan melirikku sesekali. Senyumannya begitu menyakitkan, seakan-akan mengingat seseorang yang dikasihinya, namun telah pergi karena dibunuh oleh makhluk biadab. Jen dan April. “Tak satu pun orang tua di dunia ini yang ingin mencelakai anaknya, ‘kan?” Aku mengangguk.
“Maaf. Sebelumnya kau bilang sebuah keputusan penting. Apa itu?”
“Tak tahu, Buddy.” Kevin menaikkan bahunya sekali. “Itulah alasan kita sedang menuju Albion sekarang. Mr. Joseph bilang jika Prof. Hopkins telah menyiapkan penyempurnaan untukmu, untuk menghadapi masyarakat dunia ketika umurmu 16 tahun. Dan kuharap, kita akan menemukannya.”
Profesor memiliki misteri yang selalu dikuburnya sejak kulahir ke dunia, hingga akhirnya dia mati dan takkan pernah kembali untuk melindungiku. Apa yang sebenarnya kau inginkan, Profesor?
“Lihat!” Aku menunjuk sebuah terowongan besar, begitu gelap yang akan segera kami lewati. Wajahku sedikit gugup karena kegelapan akan segera melahapku.
“Jangan cemas,” kata Kevin sambil meremas tanganku.
Blacknum mulai memasuki terowongan yang benar-benar gulita. Bahkan, pencahayaan dari lampu sorot tak bisa menembus ujung terowongan. Blacknum terus saja terombang-ambing seperti melindas sesuatu yang lembut, namun menciptakan suara retakan yang membuat telingaku gusar memikirkannya. Selain itu, terowongan ini sangat pengap, dengan bau amis yang memaksaku menutup kaca Blacknum.
“Sial, ada apa ini?” Kevin begitu kewalahan karena Blacknum terus melindas benda-benda yang tak kami ketahui, memaksanya fokus setengah mati untuk mempertahankan kestabilan laju kendaraan. “Pandanglah bintang, bayangkan sinar Mentari, begitu kemilau menuntunmu keluar dari terowongan hitam kelam…”
“Lagu apa itu?” tanyaku sedikit terganggu oleh suara sumbang Kevin.
“Kau tak tahu? Ya ampun!” Wajah Kevin tertawa dan menggerutu karena terus melindas sesuatu yang mengganggu Blacknum. “Itu lagu yang baru kuciptakan. Bagus, ‘kan?”
“Tidak sama sekali.” Kejujuranku memaksa Kevin menjitak kepalaku. “Bisakah kau berhenti melukai kepalaku?” protesku muak.
“Ya! Dan bisa kah kau berhenti menjadi penghisap semangat?”
“Penghisap semangat?” tanyaku heran.
“Ya! Kupikir, suaraku tak seburuk yang kau pikirkan.”
“Kau bermimpi?” Kevin kembali menjitak kepalaku dengan wajah yang tambah gusar. “Okay-okay! Suaramu…paling tidak… tak terlalu buruk! Puas?” Dia tertawa karena aku memujinya sedikit. “Paling tidak.”
Kevin terus menyanyikan lagunya selama menelusuri terowongan gelap dengan jalan bergelombang. Sebenarnya, dia berhasil membuatku tertawa dan melupakan ketakutanku pada kegelapan yang sedang melahap kami.
“Lihat!” tunjuk Kevin ke arah depan. Aku bisa melihat titik cahaya di ujung terowongan yang akan mengakhiri kegelapan. Wajahku berbinar, terus menatap Kevin yang rautnya lama kelamaan… “Tuhan...” Ada apa? “Buddy… tatap mataku. Jangan beralih.” Aku tak mengerti perintah Kevin, malah tak mematuhinya. Dan karena aku mengingkarinya, hukuman pun jatuh padaku.
Kevin menghentikan Blacknum dan berjalan keluar untuk menyaksikkan kebiadaban di hadapan kami. Kakiku melangkah, berdiri di tanah mengerikan yang tak bisa tercerna oleh logikaku. Aku melihat ratusan mayat yang tergantung di atas pohon, di tiang, di gerbang, dan sisanya tergeletak di jalanan… dan terus tergeletak sampai ke dalam terowongan gelap.
Aku berlari menerjang kumpulan gagak hitam yang mulai mencabik daging manusia, berlari dari satu mayat ke mayat yang lain, terus berharap jika masih ada yang bisa kuselamatkan. “Ayolah… kumohon… bernapas!” Tak tahu berapa banyak cipratan darah yang sudah hinggap di pakaianku, atau tajamnya paruh gagak yang terus mematukku. Namun, logikaku yang berkecamuk memerintahkan seluruh jariku untuk mencari sisa-sisa ruh yang masih bisa kuselamatkan. “Bangunlah… Kumohon!”
Puluhan meter sudah kumencari seseorang yang bisa diselamatkan… namun percuma. “Kemari,” Kevin membalikkan tubuhku agar bisa didekapnya. Jemariku terus berusaha meremukkan punggung Kevin, bergetar begitu kuat agar dia tahu betapa murkanya logikaku saat ini. Kevin tak membalas sedikit pun perlakuan kasarku. Bahkan, dia memelukku makin erat, menahan ketakutan dan kebingunganku yang tak bisa lagi sabar menghadapi ulah makhluk keji. Mereka tak punya sedikit pun kebaikan hati, rela melakukan kebiadaban pada manusia tak bersalah. Anak-anak… wanita… tua renta… mati tanpa martabat. Dan para bajingan itu tak memiliki hak untuk menginjakkan kaki di Padang Rumput Hijau.
“Mereka harus membayarnya…”
“Ayo pergi dari sini, Buddy…”
Para bajingan itu harus dibakar di Neraka.
Ketika kau memikirkan kebusukan, seluruh jagad raya akan membantumu meraih apa yang kau dambakan, menghancurkanmu, membakarmu di api terpanas yang tak mampu kau bayangkan sama sekali.
“Hey, Buddy? Hey…” Kevin membangunkanku dengan telunjuknya yang mengusap air mata di pipiku.
Aku menghirup napas untuk menghapus segala perasaan keji yang sempat menetap di benakku, memikirkan hadiah terbaik untuk para bajingan yang telah melakukan pembantaian itu. Rahangku masih bergetar, menahan amarah, karena aku benar-benar menyukai perasaan bengis yang merajai saraf otakku, memaksaku bersumpah untuk membayar pengorbanan para manusia tak bersalah. Tetapi, Kevin begitu lembut bersamaku, terus membuatku percaya jika aku tak seharusnya mengikuti perasaan itu. Perasaan yang menggodaku untuk membunuh seseorang.
“Kemari.” Kevin menempelkan sisi kepalaku ke pundaknya, padahal dia sedang fokus menyetir. Kevin mampu memberikan kehangatan yang bisa meredakan pemberontakkan di kepalaku, menghapus segala kekejian yang hampir menguasai… hatiku. Jariku terus menggenggam erat lengan Kevin agar bisa terlindungi dari ketidak-mampuanku mengikuti amarah Iblis.
Tiga jam dari tempat pembantaian, yang bisa kulihat sekarang hanyalah rangkaian pohon cemara, begitu kelam dengan gradasi ungu dari pantulan Mentari. Aku tak melihat satu pun mayat yang tergantung di pohon itu, atau tergeletak di jalan yang sepi ini. Aku hanya bisa mendengar kicauan burung di atas ranting, begitu harmonis, seperti suara Raja Mahmood ketika melantunkan perintah Tuhan.
Kevin menepikan Blacknum setelah melihat aliran sungai di bawah lembah. Dia ingin membawaku ke sana untuk membersihkan percikan darah yang menempel di sekujur tubuhku. Kevin harus mengangkat seluruh perbekalan, sekaligus menopang tubuhku karena aku bersikeras berjalan di sampingnya, menggenggam lengannya yang kekar, agar bisa melindungiku dari hasutan Iblis. Aku ketakutan setengah mati ketika pikiranku terus berkutat pada hasrat yang ingin mengakhiri nyawa seseorang, meskipun seseorang yang akan kubunuh pantas mendapatkan ganjaran setimpal.