KEVIN! TOLONG!
Tubuhku tak bisa bergerak… tak bisa kukontrol. Tubuhku serasa mati setelah gelombang kejut meledakkan jiwaku. Aku terjebak di jasadku setelah Tuhan melahapku ke dalam semesta, menunjukkan semua dosa para manusia sejak Adam melakukan kesalahan pertamanya. Tetapi, aku tak bisa menggerakkan tubuhku! Tidak… aku belum mati… tak mungkin! Tak mungkin! Aku masih di sini! KEVIN! TOLONG AKU!
Di punggung Kevin, wajahku hanya bisa menempel ke sisi lehernya, merasakan denyut nadinya saat berlari menuju Blacknum. Tanganku bisa merasakan embusan napas Kevin, menggebu-gebu seperti gelembung air yang direbus tanpa henti.
“Ayo Pumpkin!” Kevin terus mendaki tangga-demi-tangga, berusaha menggapai cahaya dari langit mendung Darvaz. Kevin berlari menuju Blacknum, berusaha menghalau deraman hujan yang antusias menjilati tubuhku. “Buddy… tetap bernapas. Aku akan mencari pertolongan. Oh Tuhan…” Aku bisa mendengar sumpah serapah Kevin atas keadaanku, menyesali perbuatannya yang mematuhi misi penyempurnaanku.
Kevin tak menghiraukan serangan Ekstrimis atau Paramiliter yang berusaha menyerang Blacknum. Kevin terus melaju kencang hingga mencapai gerbang Basis Militer Turki. Di dalam camp, Kevin ketakutan setengah mati saat menggendong tubuhku yang tak berdetak sedikit pun. Dia terus berlari menuju ruangan Jend. Syarif —Pemimpin Basis Militer— berada.
“Sambungkan aku dengan Mr. Joseph di Tokyo.” Kevin membaringkan tubuhku di atas matras, terus menggenggam tanganku, mengusap keningku, dan sesekali menempelkan telingannya di dadaku. “Kumohon, B-16… bertahanlah…”
“Mr. Joseph, Sir.”
Kevin menatap hologram Mr. Joseph dengan wajah paniknya. “Aku tak tahu apa yang telah kulakukan pada B-16! Simbol-simbol aneh bewarna hitam menyelubungi sisi kiri tubuhnya! Apa yang sudah kulakukan, Joseph!”
“Apa ada semacam pesan tersembunyi dari Profesor?”
“Tak ada! Yang ada hanya ruang putih bersih, dengan mesin-mesin terkomputerisasi… instruksi… a-a-a-a… sebuah model yang harus kuinstal ke tubuh B-16!” Tak pernah kulihat Kevin sepanik ini. “Aku melihat nama Profesor pada model matematis itu. Kupikir, itu hal yang benar. Kuikuti instruksinya. Kemudian… sial… jutaan volt menyerang tubuh B-16, membuatnya tak sadarkan diri sampai sekarang.”
“Dia… mati?”
“DIA TIDAK MATI!” Kevin begitu murka mendengar pertanyaan Mr. Joseph. Dia membanting apapun yang dilihatnya, meninju dinding untuk melampiaskan kesalahan fatal yang dilakukannya padaku. Seketika, Kevin yang terengah-engah seperti mengingat sesuatu, berjalan mendekati hologram, dan menatap Mr. Joseph tanpa ekspresi. “Biarkan aku bicara pada Raja Mahmood.”
Mr. Joseph berlari cepat entah ke mana, membiarkan Kevin menunggu dengan tubuhnya yang menggigil. Kevin tampak rapuh, sama seperti ketika dirinya mendengar kematian Jen dan April.
“Vice-Admiral.”
“Raja Mahmood,” wajah Kevin begitu berharap menatap Pemimpin baik hati itu. “Aku teringat tentang pertama kali anda bertemu Prof. Hopkins.”
“Ya…”
“Anda bilang jika Profesor membawa rekannya,” wajah Kevin benar-benar berharap. “Katakan namannya, Yang Mulia”
“Beliau adalah Dr. Philip Schneider.”
“Schneider? Dimana dia sekarang?”
“Maaf,” ucapan Raja Mahmood memaksa Kevin meneteskan air mata. “Aku tak pernah lagi melihatnya,” Raja Mahmood terkejut melihat Kevin yang menunduk, menggeram menahan kekecewaan pada harapan terakhirnya.
“Dia harapan terakhirku untuk menghidupkan B-16 kembali…”
“Maafkan aku.”
“Sial-Sial-Sial!” Kevin memaksa otaknya mencari solusi menghidupkanku kembali. Wajahnya tampak merah, menahan amarah dan kesedihan. Kevin terus menelusuri laptop Prof. Hopkins, menguras kecerdasannya hingga batas terakhir untuk meretas sistem keamanan partisi tentangku. Telingaku bisa mendengar degup jantung Kevin, seperti bom waktu yang siap-siap meledak, membunuhnya saat mencapai titik jenuh. “DAPAT!”
“Vice-Admiral…”
“Aku berhasil meretas sistem keamanan partisi B-16. Aku mendapatkan arsip perbincangan Prof. Hopkins bersama Dr. Schneider. Ya Tuhan…”
“Ada apa,” tanya Raja Mahmood.
“T-tak apa. Lokasi IP address Dr. Schneider berasal dari Hutan Woodhill, New Zealand. Mr.Joseph…” Kevin segera membereskan perbekalan dan mengangkat tubuhku ke punggungnya.
“Ya, Vice-Admiral?”
“Pinjamkan aku pesawat tempurmu sekarang.”
Kevin berlari menuju pesawat yang dipilihkan Jend. Syarif. Dia meletakkan tubuhku begitu hati-hati di kabin recovery, mengikatnya dengan sempurna agar dalam posisi stabil selama penerbangan. “Bertahanlah, Buddy. Pumpkin ada di sampingmu.”
Aku bisa merasakan sensasi anti-gravitasi saat pesawat tempur mencapai kecepatan 900 Km/Jam. Tangan Kevin begitu gemetar mencengkeram tuas kendali, membiarkanku merasakan kekalutan yang mengguncang jiwanya.
Aku tak menyangka Kevin menempatkanku sebagai prioritas utamanya. Entah sebagai mesin pembunuh yang bisa membalaskan dendamnya… atau sebagai harapan terakhirnya untuk memasuki Padang Rumput Hijau. Entahlah. Yang kutahu, manusia itu tak punya lagi akal sehat.
Lampu hijau monitor utama berbunyi, menggetarkan tubuh Kevin saat menerima panggilan masuk dari Pejabat terpenting Misionaris. Wajahnya begitu kaku, diam seribu bahasa, ketika harus meyakinkan seseorang yang akan membuatnya… mati.
“P-Perdana Menteri… Kazuhito.”
“Vice-Admiral Kevin Humphrey.” Ya. Suara Pemimpin bermata sipit itu benar-benar meremukkan jantung Kevin. “Bawa ‘senjata utama’ ke Headquarter Misionaris di Tokyo sekarang. Ini adalah ultimatum yang wajib kau patuhi.”
“Perdana Menteri… maafkan aku… aku tak bisa.” Keringat mengucur deras dari kening Kevin. “B-16 butuh pertolonganku saat ini. Aku akan membawanya ke New Zealand, menemui Dr. Schneider yang bisa…”
“Tak ada alasan untuk menolak ultimatumku, Vice-Admiral.”
“BERI AKU WAKTU!” Wajah Kevin menunduk, menjual harga dirinya pada siratan Perdana Menteri. “Kumohon,” Kevin menangis, mengemis kemurahan hati Pemimpin Batalion Misionaris yang diharapkannya bisa meruntuhkan sang Ratu. “Kumohon… berikan aku kesempatan.”
“Kau punya 48 jam untuk membawa ‘senjata utama’ ke Tokyo. Jika kau gagal, aku akan membatalkan konferensi yang kau minta… termasuk perjanjian perserikatan Misionaris.”
Monitor utama padam, menyisakan Kevin pada kebingungan atas ultimatum yang tak manusiawi. Kevin membanting keningnya berulang kali ke panel kendali, memaksa otaknya mencari jalan keluar dari harapan terakhirnya yang hampir sirna.
Tuhan… apakah manusia memiliki harapan untuk diampuni? Apakah mereka benar-benar pantas menjadi Pemimpin di muka bumi? Kau menciptakan segala sesuatunya dengan adil… membubuhi hikmah di balik setiap kejadian… membuat makhlukMu belajar dari… kebiadaban.
Wajah Kevin begitu hampa sepertiku. Jiwanya melayang entah ke mana, berusaha mencari kedamaian di antara Surga dan Neraka. Napasnya begitu rapuh, seakan-akan memohon pada Malaikat Maut untuk menunda mencabut nyawanya. Tubuhnya tak lagi gemetar, hanya menyisakan harapan agar ku… hidup kembali.
“Ya Tuhan…” Kevin menyaksikan hasil kebengisan teknologi bernama HAARP. Di bawah kami, sebuah benua bernama Australia telah resmi terhapus dari muka bumi. Benua yang pernah ditinggali Profesor… kini… hanya tampak seperti puing-puing hasil pengeboman yang menunggu pasang laut melumatnya tanpa jejak. Perairan di sekitar Australia yang biasanya biru… kini… berubah menjadi merah pekat, disertai jasad-jasad makhluk tak bersalah yang memohon keadilan Tuhan di hari Penghakiman.
“Tidak… Paramiliter…”
Kevin menukikkan pesawat setajam mungkin, menghindari tembakan misil dari dua pesawat pipih yang mengintai kami. Kevin berusaha menyelubungi misil dengan selaput hidrogen untuk membungkus radiasi ledakan yang bisa membahayakan kami.
BRAK!!!
“Tuhanku…” Kevin berlari cepat ke arahku setelah misil menghantam sayap pesawat. Gerak rotasi menghempaskan Kevin ke dinding kabin berulang kali, melarang jarinya menggapai tanganku. Dengan cekatan, Pumpkin mengigit selimutku yang terikat, membiarkan tubuhnya terentang mengikuti arah rotasi, berusaha meminimasi jarak agar Kevin bisa menggenggam kakinya.
“DAPAT!” Kevin berusaha melawan arah tarikkan, terus memanjati tubuh Pumpkin, hingga akhirnya menggenggam sanding tempat tidurku. “Bantu aku, Pumpkin.” Api mulai melahap kabin pesawat, terus mengganas ketika pesawat semakin mendekati permukaan laut. Kevin mengikat tubuhku ke punggungnya, perbekalan ke dadanya, dan mendekap Pumpkin di sisi kanan tubuhnya.
Pintu darurat pesawat terbuka, mengizinkan terpaan angin begitu brutal menghantam tubuh kami. Kevin menunggu ketinggian yang tepat untuk melompat, memastikan tubuh kami tak remuk ketika menghantam permukaan laut. “Tahan napasmu, Buddy.” Ketika ledakan terakhir menghancurkan badan pesawat, Kevin melompat ke dasar palung tersunyi yang pernah ada.