Waktu berlalu cepat saat bahagia. Senja datang perlahan.
Langit berubah jadi jingga—seolah ikut merestui kebersamaan yang jarang seperti ini.
Ibu bangkit lebih dulu, membawa pulang rantang kosong dan senyum yang masih menggantung.
Ia melambai, sebelum berjalan kembali ke rumah, menyusuri jalan setapak yang semakin redup.
Tinggal aku dan bapak. Ia tahu aku sudah lelah.
Maka tanpa berkata, ia mengangkatku, menggendongku seperti waktu aku masih bayi.
Bahunya jadi tempat pulang yang paling nyaman.
Bahu itu—yang menopang keluarga, menampung beban, dan tak pernah mengeluh meski dunia tak pernah adil.
Di pelukannya, aku hanya bisa berdoa dalam diam.
“Tuhan ... semoga keluarga kami bisa selalu bersama.”