Kehidupan seumpama bentangan kisah, yang terulur dalam rajutan indah karya Sang Pencipta. Berhias kilauan mutiara bahagia, serta bening tetes air mata duka, terangkai membentuk sebuah perjalanan penuh makna, yang menjadi misteri bagi setiap pribadi yang menjalani. Mula dan usainya, mutlak rahasia Sang Pencipta, yang telah ditetapkan-Nya sejak semula menjadi bagian untuk sebuah tujuan yang mulia.
Dari tak terhitungnya bentangan kisah kehidupan insan, yang pernah, sedang, dan akan hadir di muka bumi, salah satunya terangkat lewat sebuah kisah yang ingin diceritakan oleh seorang insan tak sempurna. Kisah yang nyaris tenggelam oleh masa, namun tetap hangat dalam memori, dikenang sebagai sebuah perjalanan hidup yang penuh liku, yang sekiranya tak ingin dibiarkan berlalu begitu saja terhapus oleh berputarnya waktu, namun dirasakan layak untuk diceritakan lewat sebuah kisah berjudul Kehidupan di Ujung Jarum.
Kisah ini adalah kisah kehidupanku. Kehidupan di Ujung Jarum. Sebaris kalimat sederhana yang mampu kupikirkan sebagai judul dari catatan perjalanan kehidupanku. Meninjau arti dari tiap katanya, seolah memiliki makna yang ringkas, namun ketika menggalinya lebih dalam, akan terungkap sebuah makna yang berisikan kompleksitas, berisikan rentetan peristiwa suka dan duka dalam kehidupan. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang memiliki jawaban yang seolah bias, yang terus didengungkan dari nurani penulisnya.
Menelusuri kalimat Kehidupan di Ujung Jarum, akan sampai kepada pemahaman tentang sebuah perjalanan kehidupan yang tidak lepas dari sebuah benda kecil yang disebut jarum. Meskipun hanyalah benda kecil, jarum tetap memiliki manfaat yang besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Ujungnya tajam dan sifatnya menyakitkan ketika menyentuh kulit atau tubuh manusia. Namun, proses menyakitkan itu harus dilalui guna mendapatkan manfaat yang diharapkan.
Mengapa kisah kehidupanku kuberikan judul seperti ini? Aku hanya ingin menyederhanakan dan merangkumkan kisahku yang kompleks lewat sederet kalimat itu. Namun, akan kuurai perlahan dan terinci, bab demi bab dalam tulisan ini, agar pembaca dapat mengikuti perjalanan kehidupanku waktu demi waktu.
Kelahiranku ke dunia merupakan sebuah anugerah, dalam rancangan Yang Maha Kuasa. Aku dilahirkan dengan fisik dan mental yang baik, dari sebuah keluarga sederhana yang mengasihi Tuhan. Masa kecilku indah, penuh kebahagiaan dan dilimpahi kasih sayang dari kedua orang tua serta keluarga besarku. Aku bersyukur dan selalu bersyukur karena Tuhan tidak pernah salah menghembuskan nafasku di rahim ibuku.
Aku menjalani masa kanak-kanak, remaja, menjelang dewasa, hingga sampai pada sebuah masa yang ditetapkan oleh-Nya dalam rancangan-Nya, menjadi titik balik yang membelokkan rancangan kehidupan telah kususun dan akan kujalani sesuai harapan dan impianku.
Aku didiagnosa terkena penyakit Diabetes Melitus Tipe 1 (DM T1), pada usia ke – 22 tahun. Masa muda yang penuh impian, harapan dan cita-cita yang digantungkan setinggi angkasa. Masa penuh dengan gairah dan semangat yang berapi-api, saat-saat mulai meletakkan pondasi untuk menyusun dan merencanakan masa depan menuju cita-cita yang kuimpikan.
Diabetes Melitus Tipe 1, istilah penyakit yang bahkan pada awalnya tak kumengerti. Sejauh yang kupahami, ini disebut penyakit kencing manis yang telah banyak diderita oleh orang-orang khususnya pada usia lanjut. Harapanku saat itu, aku bisa segera sembuh setelah mendapatkan pengobatan. Namun, di luar pemikiran dan kuasaku, sebuah vonis yang meluluhlantakkan pertahananku saat itu, membuyarkan impianku, adalah bahwa hidupku kini berada di ujung jarum untuk seumur hidupku. Penyakit diabetes jenis ini, membuat penderitanya bergantung sepenuhnya kepada insulin dari luar untuk tetap mempertahankan kehidupan, yang berlangsung seumur hidup pasiennya. Pemberian insulin diikuti dengan penatalaksanaan diabetes serta manajemen diabetes yang ketat, yang harus dipatuhi oleh pasien, yang mencakup dan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan diabetesi. Saat itu, aku seolah merasa terpenjara, semua kebebasanku telah direnggut.
Apakah ini sebuah karma? Ataukah kutuk atas dosaku? Apakah aku telah sangat menyakiti hati Tuhan-ku, hingga Ia melepaskan tangan-Nya atas hidupku dan membiarkan cobaan menghampiri dan si jahat menggerogotiku? Tidak.. Mengapa pertanyaan-pertanyaaan negatif yang tak layak kupikirkan itu bermain di benakku? Di manakah imanku?
Apakah ada sisi positif dari peristiwa yang kualami ini? Apakah semua ini adalah bagian dari rencana-Nya? Mengapa Tuhan memilih cara ini untuk membentukku? Apakah ini adalah proses yang harus kulalui untuk mewujudkan rencana-Nya yang besar?
Dalam benakku, terus berputar-putar berbagai pertanyaan untuk menemukan alasan yang tepat mengapa aku harus mengalaminya. Seakan-akan ingin bernegosiasi dengan Yang Maha Kuasa, untuk merevisi rencana-Nya. Tidak seharusnya aku ditimpahkan penyakit ini. Tuhan bisa menggantinya dengan cobaan lain yang lebih ringan dan mampu kujalani. Atau, mengapa Tuhan tidak membawaku bersama-Nya saja? Lebih baik jika sampai di sini saja kisahku di dunia. Dalam pikiranku saat itu, aku tidak akan kuat bertahan.
Tanpa dapat memilih dan menentang, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, menerima ataupun menolak, lembaran baru ini telah terbuka tepat di hadapanku. Aku harus segera melangkah dalam satu langkah awal yang baru, kehidupan yang baru, hidup sebagai seorang diabetesi.