Tana Toraja, 2004
Dusun kecil di pegunungan
Tiupan angin kencang menghempas helai demi helai rambut hitam lurus yang kubiarkan tergerai kini bertebaran tak tentu arah, menghalangi arah pandanganku yang suram. Tubuhku tengah berdiri seolah menantang alam, melawan terpaan dingin udara yang merasuk tubuh hingga ke tulang. Pikiranku hanyut seolah jiwa ini berada dalam dimensi lain, sementara alam terus menyerang tubuhku lewat hantaman tiupan serta deru suara angin dingin yang membekukan tubuh hingga menembus ke relung hati. Seketika jiwa ragaku merasa kosong dan hampa, seakan ingin menghilang terbawa bersama angin malam jauh ke tempat yang tak tergapai.
Hingga akhirnya aku tersentak, seolah jiwaku kembali ke raga ini. Mulai kurasakan tubuhku kini bergetar, makin lama makin kuat. Ternyata tubuh ini tak lagi kuasa menahan serangan alam yang dengan bertubi-tubi menghantam dan menghanyutkan tubuh rapuhku dalam pusaran alam. Aku masih mencoba untuk tetap berdiri kokoh dan terus bertahan di tengah terjangan alam, walaupun riuh suara di sekelilingku terus menyuarakan peringatan untuk segera berlalu dari tempat itu mencari kehangatan dan perlindungan.
Aku kuat. Aku mampu bertahan. Terus menerus kuyakinkan diriku. Badai ini, tak sebanding dengan badai kehidupan yang kualami. Air mataku perlahan tumpah hingga menjadi deras tak terbendung. Ternyata, tubuh ini tak sekuat dugaanku. Perlahan, pertahananku runtuh. Aku membiarkan tubuhku terkulai diterjang oleh pusaran angin yang menghempas, membuatnya goyah dan tidak mampu lagi untuk terus berpijak, bahkan deretan cemara yang berdiri kokoh mengelilingi hanyalah sebagai penonton akan kerapuhan jiwa dan raga sosok yang memasrahkan diri pada nasib. Akhirnya, tubuhku terjatuh terhempas di rerumputan yang basah, yang dengan segera menangkup tubuhku dengan pelukan dingin yang semakin menusuk jiwa raga.
Meringkuk dalam tangis, di tengah hantaman badai yang nyata, sungguh nyata. Inikah akhirnya? Hanya gelap yang dingin yang menusuk kurasakan mengelilingi.
Sekilas, setitik cahaya nampak dari kejauhan, diiringi panggilan cemas dari wanita yang teramat kucintai, Mama.
“Ima! Ima! Kamu di mana, Sayang?” Panggilan itu seketika mengalirkan kehangatan, membentuk harapan.
Perlahan aku bangkit seraya menyambut panggilan itu. “Ma! Mama!” jawabku lirih. “Di sini, Ma!” Kuangkat perlahan lenganku yang terasa kaku, lalu melambai.
Seret langkah berat itu mendekat. Sosok wajahnya menunjukkan lega sekaligus cemas..
“Kemari, Nak!” lirihnya disertai isakan kecil. “Ayo, kita pulang!”
Tubuh kurus itu seketika penuh dengan tenaga untuk mengangkat dan membopongku melalui jalan setapak sejauh beberapa ratus meter hingga sampai ke gubuk kami.
Pelukannya menyelimuti tubuhku yang membeku sedingin es, terus mengalirkan kehangatan hingga meresap ke relung jiwaku, memberiku ketenangan. Kedua pasang kaki kini menyeret menyusuri setapak basah dan licin.
Berdua kami menikmati kehangatan sambil duduk beralaskan tikar dalam sebuah ruangan kecil, bersama lampu pijar remang-remang menemani. Kedua telapak tanganku menggenggam secangkir air jahe hangat yang menyusup menghangatkan jari jemariku, yang bermain-main dengan cangkir keramik itu.
“Diminum air jahenya, Sayang! Jangan dipandangi saja!” seru Mama memandangku dengan mimik wajah iba.
“Eh... iya, Ma,” jawabku terhadap lalu seraya menyeruput minuman itu. Hangatnya meresap ke dalam tubuh.
Lama kami saling menatap dalam hening, hanya pikiran yang bermain dalam gelisah. Pintu alam nyata telah membawaku kembali sepenuhnya, setelah jiwaku berkelana menyusuri tempat-tempat kenangan untuk mencoba merekonstruksi kejadian-kejadian di masa lampau dan menyusun kepingan yang baru kembali agar aku tidak sampai pada titik ini. Namun, sejauh apapun aku berlari dan berbelok arah, akan selalu kembali kepada dunia nyata yang pahit ini. Inilah takdirku, jalan hidup yang telah digariskan oleh Sang Pencipta. Walaupun hati masih ingin terus menolak, setahun kini dapat kulalui.
Mama mendekat dan duduk merapat pada tubuhku, hingga desah nafas beratnya terdengar jelas. Wajahnya mengukir senyum, “Sayang, bagaimana perasaan kamu, sudah lebih baik?” tanyanya.
“Maaf, Mama!” Hanya kata-kata itu yang terucap dari bibirku. Tak terasa isakku kembali meriuh.
Dekap hangat Mama semakin erat menyelubungi tubuhku. Isakku teratur melambat, hingga akhirnya mereda. Seketika hening kembali melanda, tanda ketenangan hati tiba. Mama lalu menatapku erat. Sorot matanya begitu teduh menghampiri, dengan belaian penuh cinta ia berucap, “Sabar, Anakku. Mama ingin kamu tahu, bahwa kamu tidak sendirian menghadapi hidupmu. Kami akan selalu bersamamu. Ada Mama, Papa, Kakak dan Adik. Kami di sini untukmu, Nak. Kami akan berjuang bersamamu, dan yang terpenting, kita memiliki Tuhan yang lebih besar dari segalanya. Yakinlah, semuanya akan baik-baik saja,” ucapnya sambil membelai wajahku dengan tangkupan tangan hangatnya.
“Selamanya kamu adalah putri kami, anugrah Tuhan yang terindah untuk kami. Betapa kami bersyukur memilikimu. Jalanmu masih panjang, Nak. Tabahlah dan tegarlah. Hidup adalah anugerah. Ada janji Tuhan yang selalu kita pegang, bahwa Dia akan selalu menyertai. Selama masih hidup di dunia, badai akan selalu ada, tapi janji penyertaan Tuhan itu akan selalu ditepati. Tuhan masih memberikan kesempatan untuk hidup, ada maksud dan rencana Tuhan. Jalanilah dengan tabah, dengan sukacita, kamu pasti bisa melaluinya,” kata-kata kembali mengalir untuk menguatkanku.
Kupandangi wajah itu, yang penuh kesungguhan berupaya menghiburku serta menguatkan. Sorot mata yang penuh cinta, membangkitkan harapanku. Dengan sekali anggukan, wajah itu seketika mengulas senyum haru. Kami berdua, dalam pertalian darah ibu dan anak, menyatu dalam hati dan jiwa, siap menghadapi apapun yang terbentang di hadapan kami bersama-sama, melahirkan kekuatan yang bahkan tidak mampu terlukiskan saat itu.
Kembali tangisku tak mampu terbendung, mengalir dalam kehangatan sosoknya, tempat ternyaman di dunia, sejak dari dalam kandungan hingga dewasa. Sungguh beruntungnya diriku, masih memiliki sosok Mama, yang setia berada di sampingku, menyediakan pelukan terhangat untukku.
Dalam pembaringanku melewati malam yang panjang, walaupun mata tertutup, namun pikiranku terus mengembara. Sambil membungkus tubuh dengan selimut, kutelusuri setiap momen indah yang mampu kutemukan. Angin riuh telah berhenti, berganti dengan suara jangkrik yang memecah keheningan malam, terdengar jelas dari balik dinding papan.
Pikiranku masih terus mengembara ke masa silam. Kukenang kembali perjalanan kehidupanku hingga sampai ke batas di mana kakiku berpijak kini. Dua puluh tiga tahun kini usiaku, telah memasuki usia dewasa. Masa kanak-kanak dan remaja yang penuh kemanjaan dan kebergantungan telah berlalu. Kemandirian dan tanggung jawab menanti untuk kujemput.
Tarikan nafas pertamaku di dunia, terjadi di sebuah rumah sakit bersalin di kota besar yang bernama Ujung Pandang. Aku bersyukur dilahirkan sebagai anak kedua dari kedua orang tuaku, Bapak Maurits Silalahi dan Ibu Ludia Batan. Mereka berasal dari dua pulau yang berbeda, Sumatera dan Sulawesi. Keduanya dipersatukan dalam perbedaan menjadi satu untuk membentuk keluarga yang direstui dan dikehendaki oleh Tuhan. Kedua orang tuaku mengabdi dalam dunia pendidikan dan kerohanian.