Tetes-tetes peluh berjatuhan di rerumputan, kala sang surya mulai memijarkan kehangatan, menyentuh bumi tercinta. Kabut tak nampak kini, menguap oleh hunjam bias mentari.
Genap sejam tanganku menggenggam sebuah sapu lidi, yang kini mencetak bercak merah pada kedua telapak tangan, sebagai proses menggapai hasil yang diharapkan, halaman rumah yang bersih dan sedap dalam pandangan mata.
Perlahan kuseka tetesan peluh yang mulai berjatuhan dari kening, dengan sehelai sapu tangan handuk berwarna magenta yang tampak mencolok bertengger di bahu. Satu helaan nafas panjang, menandakan kepuasan tak terkira kala sepasang netra menelusuri tiap sudut halaman. Apik, asri, indah.
Nafas itu segera berubah menjadi sengal, kala kaki ini menyeret tubuh ke arah penyimpanan alat-alat kebersihan di kolong rumah. Rasa gerah mendera, spontan jemariku menyubit piyama yang kukenakan lalu mengibas-ngibaskannya, untuk menghasilkan aliran udara yang memberi efek dingin serta menguapkan peluh di dada.
“Ima, kamu di mana? Sudah cukup bersih-bersihnya. Istirahat dulu!” lantang suara Papa menggema dari arah teras rumah.
“Ya, Papa. Sudah selesai.” Segera kubalas sapaan itu.
Kurapikan helai demi helai batang lidi yang kini berantakan karena keluar dari ikatannya. Lalu kurekatkan kembali pada pengikatnya, dan meletakkannya kembali pada tempat asalnya.
Kepalaku menunduk saat berjalan keluar dari kolong rumah, agar tidak terantuk. Tinggi badanku sedikit lebih tinggi dari tinggi kolong rumah ini. Entah atas dasar pertimbangan apa, rumah ini memang dirancang demikian.
Nafasku menjadi semakin memburu. Aku berusaha mengaturnya seefisien mungkin. Sejenak aku mencoba mengartikan debaran di dada ini. Apakah hanya pengaruh lelah? Ataukah hipoglikemia (kadar gula darah rendah) kembali melanda? Perlahan aku menyadari bahwa beberapa menit telah terlewati dari batasan maksimal waktu cemilanku, karena sibuknya beraktivitas membuatku melalaikannya. Bukan salah lagi, gejala itu kembali muncul.
Langkah kakiku lunglai dan bergetar saat menaiki satu per satu anak tangga menuju ke teras rumah. Papa segera menyambut lalu menggandeng tanganku membantu berjalan. Tatapan cemasnya menghujaniku.
“Sudah lewat waktu snack-mu, Sayang. Nanti gulamu drop!” serunya mengingatkan.
Papa menuntunku duduk di sebuah kursi rotan yang panjang. Kuhempaskan tubuhku lalu menghela nafas panjang. Pandanganku kini bagaikan melihat di dalam air, berkunang-kunang. Kupejamkan kedua mataku.
“Tuh, kan? Ma! Cepat, Ma! Buatkan teh manis!” pekik Papa. Ia sudah sangat paham terhadap segala gejala yang terjadi padaku.
“Ya, Pa. Segera!” Mama menyahut.
Mama datang selekas mungkin sambil membawa secangkir teh manis hangat yang siap untuk diminum.
“Ini tehnya. Cepat diminum!” titahnya.
Dengan bibir yang bergetar, aku menyeruput dan menghabiskan teh itu dengan segera. Tubuhku yang masih lemas, kini bersandar pada tubuh Papa.
“Sabar, Sayang. Nanti juga gulanya bekerja,” hibur Papa sambil merangkul tubuhku yang kini sedingin es.
Sekitar dua puluh menit berlalu, tenagaku berangsur pulih. Aku mencoba berdiri. Saat kakiku kurasakan tidak goyah lagi, aku langsung melangkah menuju ke arah pintu masuk rumah.
“Papa, saya masuk ke kamar ya, mau ganti baju. Bajuku basah semua,” ujarku menunduk menatap pakaian yang kukenakan.
“Sudah rasa baikan, Nak?” tanya Papa cemas.
Aku mengangguk. “Iya, Pa.”
“Seharusnya tadi kamu minum susu jam 9, tapi karena tadi sudah minum teh nanti malam saja minum susunya. Perhatikan benar-benar jadwal snack-mu, ya? Jangan sampai telat!” Papa kembali mengingatkan.
“Ya, Pa,” jawabku singkat.
Aku melangkah menuju ke kamar untuk berganti pakaian dan beristirahat sejenak. Papa dan Mama masih berbincang-bincang di teras rumah. Mataku memandang dari jendela kamar yang terbuka lebar ke arah halaman depan yang sudah tampak bersih dan luas. Jejeran pinus di seberang jalan kini tampak jelas tidak terhalang lagi, setelah tanaman rimbun yang menghalangi dipangkas oleh Papa tadi. Semuanya sudah lebih tertata, pandangan mata dapat memandang jauh lebih luas. Aku tersenyum puas.
Kamarku terletak di depan persis di sisi kiri teras, sehingga dapat mendengar dengan jelas perbincangan Mama dan Papa. Tak sengaja aku merekatkan telinga untuk menyimak pembicaraan mereka.
“Sudah hampir setahun berlalu, Pak. Masih terasa berat untuk kita,” Mama memulai pembicaraan.
“Kita bersyukur, Ma. Anak kita sudah mulai bisa menerima keadaannya. Dia lebih kuat dari yang kita duga. Walau terkadang ada kondisi dimana dia merasa down lagi, baik secara fisik maupun psikis, namun kita sebagai orangtuanya harus selalu bisa membuatnya bangkit kembali. Dia membutuhkan kita untuk berjuang bersamanya. Sabarlah Ma, menghadapinya. Menghadapi segala emosinya yang mungkin berubah-ubah. Dia sedang berusaha keras untuk beradaptasi dengan pola hidup barunya, dan itu tidak mudah,” jelas Papa.
“Iya, Pak. Mama sangat bersyukur atas pemulihannya. Kita sudah melalui masa-masa sulit bersama. Kita hampir kehilangan dia, Pak ...“ Mama tidak meneruskan kalimatnya, hanya terdengar isakan tangisnya.
“Sudah, Ma. Kita jangan terlihat lemah di hadapannya. Bagaimana kita bisa menguatkan dia kalau kita tidak terlihat lemah?” Papa berusaha menghibur.
“Mama! Bisa temani ke sumur? Mau mandi!” sontak teriakan Rey memecah pembicaraan kedua orang tuaku. Adikku itu tiba-tiba muncul dari balik pintu lengkap dengan ember berisi perlengkapan mandi.
“Sebentar, Sayang! Mama bersiap dulu. Sekalian mau bawa cucian. Atau, kamu duluan saja ke sumur. Nanti Mama menyusul,” sahut Mama.
“Okay,” jawab Rey singkat.
“Tidak mandi di kamar mandi saja, Ma?” tanya Papa.
“Ah, lebih enak mandi di sumur. Tuh, anak-anak juga suka. Sejak kecil kalau datang ke sini mereka selalu mandi di sumur, Pak. Beda suasananya,” jawab Mama.
“Ya, terserah. Papa mandi di sini saja,” kata Papa menyerah.
“Ima! Ge! Nanti nyusul ke sumur ya. Mama sama adik duluan,” seru Mama.
“Ya, Ma!” sahutku dari dalam kamar.
“Ya!” Ge menyahut dari ruang makan.
Sumur yang dimaksud adalah mata air yang tidak pernah kering meskipun kemarau melanda. Beberapa keluarga di sekitar rumah kami juga menggunakan sumur tersebut untuk mandi dan mencuci pakaian. Letaknya di lembah, tidak jauh dari rumah. Airnya sangat segar.
Tak terasa hari itu terlewati dengan sukacita. Satu hari di antara rangkaian liburan rutin keluarga kami di kampung halaman, yang berlangsung sejak keluarga kami terbentuk.
Tahun yang lalu adalah tahun yang berat untuk kami sekeluarga. Cobaan mendera salah satu anggota keluarga, yaitu diriku, lewat penyakit. Pergumulan ini menjadi pergumulan seluruh keluarga kami sebagai satu kesatuan. Tuhan memberikan ujian bagi keluarga kami, khususnya bagiku dan orang tuaku yang mengabdi sebagai pelayan Tuhan. Kesetiaan dan iman dari kedua orang tuaku diuji. Papa adalah seorang hamba Tuhan yang sedang berada di puncak pelayanan yang dipakai oleh Tuhan secara penuh, ketika badai itu menghantam hendak meluluhlantakkan pertahanan yang telah terbangun kokoh.
Namun Batu Karang itu, Tempat Perlindungan yang kokoh, ke sanalah keluarga kami bernaung. Kami bersatu hati menempatkan diri sepenuhnya di dalam perlindungan-Nya.
***
Suara jangkring terdengar nyaring dari balik dinding papan memecah kesunyian malam. Aku bolak balik gelisah dalam pembaringan. Kupandangi kakak perempuanku yang tertidur lelap berbungkus selimut bulu disisiku. Nafasnya yang teratur menandakan ia telah sampai ke alam mimpi.
Perlahan kusingkap kelambu putih yang menyelimuti ranjang, lalu duduk di lantai papan tepat di bawah ranjang. Udara malam yang dingin berhembus melalui cela-cela jendela kamar membuat tubuhku menggigil. Badanku gemetar sesaat, hingga aku tidak kuat bertahan lalu kembali masuk ke dalam kelambu untuk menemukan kehangatan. Entah apa yang membuatku gelisah malam itu. Berbagai peristiwa membayang di dalam benakku.
Beberapa saat berlalu, akhirnya aku memutuskan untuk bangun dan keluar dari kamar. Aku berjalan pelan menuju ruang makan untuk mengambil segelas air hangat.
Saat akan kembali ke kamar, tiba-tiba terdengar bunyi pintu kamar Mama terbuka. “Ima, kamu baik-baik saja?” Mama kini berdiri tepat di depan pintu kamar.
Aku menoleh. Mama memandangku yang sedang memegang segelas air.
“Iya, Ma. Tidak apa-apa, hanya ingin minum air hangat saja. Tidak bisa tidur,” jelasku.
“Kamu kedinginan, Sayang?” Mama bertanya dengan cemas.
“Ya, sedikit. Tapi bukan karena gula darahku drop,” lanjutku segera.