Kehidupan di Ujung Jarum

risma silalahi
Chapter #4

Ketika Badai Melanda

Agustus 2003

“ Joyful, joyful we adore Thee, God of Glory, Lord of love

Hearts unfold like flow’rs before Thee, hail Thee as the sun above

Melt the clouds of sin and sadness, drive the dark of doubt away

Giver of immortal gladness, fill us with the light of day!”

...

(Song by Henry van Dyke (Syair) & Ludwig van Beethoven (Melody)           

Kidung yang mengalun merdu itu berasal dari sebuah gereja yang terletak di pojok jalan kecil. Sore itu kami sedang mengadakan latihan paduan suara pemuda-pemudi gereja untuk acara yang akan dilangsungkan beberapa waktu ke depan.

Aku berdiri di barisan paling belakang sambil menahan perasaan letih. Setelah hampir satu jam dalam posisi berdiri tegap, kakiku mulai gemetar, sementara mulut terus bernyanyi tanpa suara. Hanya embusan nafas beraroma buah yang berhembus dari mulut. Tak sanggup menahannya lagi, aku duduk terjongkok. Keseimbanganku goyah, sementara kidung itu terus mengalun dengan merdunya.

Chaca, sahabatku yang berdiri tepat di sampingku, memperhatikanku sejak tadi. “Ima, kamu sakit?” tanyanya cemas sambil ikut berjongkok di sebelahku.

“Ayo, saya temani pulang!” ajaknya sambil memegang lenganku.

Aku pasrah ketika Chaca menarikku keluar dari barisan. Lagu itu terhenti sejenak.

“Teruskan saja!” teriak Chaca. “Saya akan antar Ima pulang.”

Letak gereja itu tidak jauh dari rumahku, hanya berjarak sekitar dua ratus meter. Sesampai di rumah, Mama segera menyambut dengan wajah cemas.

“Ima, ada apa, Sayang?” Mama menghampiri.

“Ima sakit, Tante. Wajahnya pucat,” jawab Chaca.

“Terima kasih, Nak Chaca sudah antar Ima pulang,” kata Mama.

“Ya, sama-sama, Tante. Kalau begitu, saya permisi kembali ke gereja,” pamit Chaca.

“Terima kasih ya, Cha,” kataku lirih.

“Cepat sembuh! Kabari ya,” ujar Chaca seraya berlalu.

Hari terus berganti. Kondisiku semakin memburuk. Aku yakin ada sesuatu yang salah pada diriku. Entah ..., aku bahkan tidak ingin membayangkannya.

Di suatu sore, saat kami duduk bersantai di teras rumah, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada Mama. “Ma, akhir-akhir ini aku merasa ada yang tidak beres dengan tubuhku,” keluhku.

“Apa yang kamu rasakan, Ima?” tanya Mama dengan wajah gusar.

“Kelelahan, capek, nafas pendek, selalu rasa haus dan lapar. Walau sudah minum, tetap rasa dahaga, seperti tak terpuaskan,” jelasku.

“Mungkin karena kamu lagi banyak aktivitas, atau stress dengan skripsimu yang belum kelar. Belum lagi aktivitasmu di gereja. Banyak-banyak istirahat saja,” jawab Mama.

Aku memandang Mama dengan wajah kurang puas. Namun, apa lagi yang bisa aku katakan?

“Oh ya, Ma. Saya juga selalu buang air kecil. Semalaman bisa beberapa kali buang air kecil,” tambahku.

“Minum secukupnya saja kalau malam, Nak. Bisa jadi ada infeksi di saluran kemih. Mama kurang ngerti juga sebenarnya. Lebih baik diperiksakan ke dokter,” saran Mama.

Aku berusaha menepis semua kegundahanku. Mungkin benar yang Mama katakan, aku hanya terlalu khawatir. Aktivitasku cukup padat saat ini. Istirahat menjadi sesuatu yang sangat kubutuhkan. Namun, seiring berjalannya waktu, aku tidak kuasa mengurangi aktivitasku. Aku tetap melaksanakannya di tengah-tengah kondisi yang semakin menurun. Gejala-gejala itu menyerang kian intens. Hingga suatu saat, aku berdiri di depan cermin dan menatap pantulan diriku, yang tampak adalah sosok gadis lusuh dengan wajah pucat dan tirus. Tubuhku jauh dari ideal, karena sangat kurus.

Jelas, ada yang salah pada diriku.

***

Petang itu, langit kota Makassar nampak cerah. Saat yang tepat untuk berjalan-jalan berpayungkan langit senja. Aku dan Ge tengah berada di kerumunan lalu lalang pengunjung sebuah pusat perbelanjaan yang cukup diminati di kota kami. Kami berjalan mengelilingi gedung itu sekedar melihat-lihat barang-barang yang tampaknya menarik. Kami akhirnya berhenti di sebuah lapak pakaian dan berniat untuk membeli beberapa potong baju.

“Kak, baju ini bagus. Apa kira-kira cocok ya?” ucapku sambil membolak-balik sebuah dress putih berlengan tanggung berwarna putih tulang di tanganku.

“Sepertinya kebesaran untuk kamu. Tuh, badan kamu kurus begitu. Kelonggaran, Dek,” balas Ge.

“Yah... padahal modelnya bagus. Panjang lengannya kusuka, biar menutupi lenganku yang kecil,” jawabku dengan mimik kecewa.

“Coba tanya Mbaknya, apakah ada yang ukuran lebih kecil?” saran Ge.

Aku memanggil seorang gadis muda yang adalah SPG di toko itu, yang dengan senyum ramah menggelengkan kepalanya, “Maaf, Kak. Itu stok terakhir.”

Kami berlalu dari toko itu dan kembali menjelajah. Lalu lalang para pengunjung mulai membuat pandanganku berbayang. Rasa pusing mendera. Aku segera memegang lengan Ge agar tidak kehilangan keseimbangan.

“Hei, kamu kenapa?” tanya Ge terkejut.

“Cari tempat duduk dulu, Kak. Kepalaku pusing,” sahutku.

“Ya sudah, ayo, ada bangku di sana!” tunjuk Ge seraya menggandengku menuju ke arah sebuah bangku di sudut ruangan.

“Bagaimana perasaan kamu?” tanya Ge gusar.

“Pusing dan mual, rasanya mau muntah,” jawabku.

“Tunggu di sini! Saya beli minuman dulu. Mungkin kamu butuh yang manis supaya tenagamu pulih,” serunya.

Aku hanya mengangguk. Ge segera berlalu. Aku duduk menunggu dan tak berani mengangkat wajahku memandang pengunjung yang lalu lalang.

Tak lama berselang, Ge datang membawakan sebuah teh dalam kemasan kotak.

“Nih, minum dulu!” perintahnya.

Dengan segera aku meminum teh itu, dengan harapan perasaanku bisa lebih baik. Namun, berselang beberapa menit kemudian, perutku rasanya semakin bengah.

“Kamu makin pucat. Ayo, kita pulang saja!” ajak Ge.

Aku hanya menurut saat Ge menggandeng lenganku keluar dari pusat perbelanjaan itu. Saat itu aku masih cukup kuat berjalan, meskipun ditopang oleh kakakku.

Aku menyadari bahwa hanya dengan kekuatan dari Tuhan aku dapat melalui perjalanan pulang ke rumah dengan selamat. Kami pulang menggunakan angkutan umum, dengan waktu tempuh kurang lebih dua puluh menit. Selama berada di perjalanan, rasanya sungguh menyiksa, namun bisa kulalui. Saat kakiku menapak lantai rumah, aku segera berlari menuju kamar mandi, lalu menumpahkan semua isi perut yang sejak tadi meronta ingin keluar. Lega rasanya. Namun, hanya selang beberapa waktu, aku terus melakukan rutinitas yang sama, yaitu muntah.

Sekitar pukul 7 malam, Papa membawaku ke dokter praktek yang lokasinya tidak jauh dari rumah kami. Dokter segera melakukan pemeriksaan kepadaku.

“Anak Bapak mengalami gangguan lambung,” kata dokter.

“Maag ya, Dok?” Papa bertanya memastikan.

Dokter itu mengangguk ragu. “Untuk saat ini itulah diagnosanya. Namun, sebenarnya perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.”

“Apa bisa diberi obat saja dulu, Dokter?” usul Papa.

Dokter itu mengangguk. “Ya, saya akan resepkan obatnya.”

Setelah menebus obat, kami pun pulang kembali ke rumah. Mama menyuapkan beberapa sendok bubur polos sebagai alas sebelum aku minum obat yang diberikan dokter. Setelahnya, aku beristirahat sejenak berusaha untuk tidur.

Akhirnya, aku kembali muntah dan terus muntah hingga tengah malam. Tubuhku semakin lemah, seakan seluruh tenaga berangsur habis.

“Papa ... saya tidak kuat lagi, Pa,” ucapku lirih. Aku menyandarkan tubuhku yang lemah di atas bantal-bantal yang ditumpuk. Sementara di hadapanku diletakkan sebuah ember berwarna biru yang sejak tadi bolak balik ke kamar mandi untuk menampung dan membuang muntahan hebat dariku. Muntahan itu bahkan sudah berwarna kekuningan bercampur cairan lambung.

“Sayang, bertahan ya. Kita ke rumah sakit sekarang,” ujar Papa sambil menopang tubuh lunglaiku.

Lihat selengkapnya