POV PAPA
Tit ... tit... tit ...! Bunyi monitor ICU bersahut-sahutan terus mendengung memecah kesunyian malam. Beberapa deret ranjang terbaris dengan rapi hanya dipisahkan oleh gorden pembatas membentuk bilik-bilik kecil. Ruang Intensive Care Unit rumah sakit itu penuh dengan pasien yang sedang berjuang untuk bertahan hidup.
Di pojok, seorang ibu tak sadarkan diri ditemani putranya yang hanya bisa menatap hampa mencari-cari setitik harapan pada wajah ibu terkasih. Harapan bahwa wanita terkasihnya itu akan membuka mata dan menatapnya kembali.
Di sebelahnya, seorang kakek yang tubuhnya kurus, tinggal kulit membungkus tulang, masih terus berusaha bernafas dengan seluruh kemampuan yang ada dibantu dengan alat bantu pernafasan. Tampak cucu perempuannya tertidur kelelahan di samping ranjang sambil tangannya menggenggam tangan sang kakek seolah tidak pernah ingin melepaskannya.
Sesekali isak tangis terdengar dari balik tirai di bagian tengah. Seorang gadis muda sedang berdoa memohon kesembuhan untuk ayah tercintanya, ia terdengar begitu pasrah dan hanya bisa berdoa kepada Tuhan diiringi dengan tangis.
Keseluruhan ranjang di ruangan ICU itu terisi penuh oleh pasien. Sementara di sebelah ruangan, terdapat juga beberapa bilik yang berisi pasien-pasien lain yang dalam keadaan kritis.
Setiap pasien di dalam ruangan itu memiliki pendamping masing-masing hanya satu orang. Para pendamping pasien-pasien itu tampak kelelahan, sedih dan seakan hampir kehilangan harapan, terlihat dari raut wajah-wajah mereka yang menatap orang-orang terkasihnya dengan tatapan yang pilu.
Suasana ruangan itu mencekam, bunyi monitor seolah-olah menghitung detik-detik kematian menjemput. Udara dingin menusuk hingga ke tulang seolah membekukan harapan keluarga yang menjaga.
Para dokter beserta perawat yang bertugas di ruangan itu telah dibekali dengan kesiapan penuh untuk menangani kondisi kritis yang memerlukan pertolongan dengan segera. Mereka bekerja secara profesional dan penuh pengabdian. Senyum dan sapa keramahan dari mereka, seolah memberi kehangatan bagi keluarga pasien di tengah bekunya suasana.
Nama lengkap Ima terpampang jelas pada papan di salah satu tempat tidur di ruangan itu. Gadis muda yang adalah putriku tercinta itu terbaring di antara pasien yang rata-rata sudah berumur di atas 50 tahun. Usianya saat itu 22 tahun, beberapa bulan lagi genap 23 tahun. Suatu masa dalam hidup dengan gejolak dan semangat yang membara untuk mengejar cita-cita. Namun kini, pelitanya seolah meredup dan nyaris padam.
Di tubuhnya terpasang berbagai alat penopang hidup, yang tetap menjaganya untuk bertahan. Kadar gulanya yang tinggi diturunkan secara perlahan-lahan melalui insulin yang dimasukkan melalui infus ke tubuhnya. Saat itu kadar gula darahnya masih menunjukkan angka di atas 600 mg/dL.
Satu malam terlewati. Aku masih setia duduk di samping putriku yang terbaring tak sadarkan diri. Sesungguhnya aku merasa sangat letih, telah beberapa hari tidurku tidak lelap. Banyak hal yang terus berputar dalam pikiranku, terutama tentang putriku. Tak sedikit pun aku ingin mengalihkan pandanganku dari putriku. Berharap mata sayu itu akan membuka dan menatapku lagi. Namun, putriku belum merespon apapun. Ia hanya berbaring dalam diam.
“Pa, Papa pulang saja dulu. Kami ada di sini, siap bergantian menjaga Ima,” bujuk Ge, putri sulungku yang baru saja datang ke rumah sakit dan membawa makanan untuk kami.
“Di luar ada keluarga yang siap bergantian menjaga. Tolong, Pa! Papa juga harus jaga kesehatan,” ujarnya lagi.
Mataku memandang putriku yang terbaring. Rasanya tidak ingin beranjak dari sisinya. Aku menghela nafas lalu berkata kepada Ge, “Sayang, Papa tidak bisa meninggalkan adikmu. Papa akan istirahat di depan,” jawabku.
“Baiklah, Pa. Papa harus janji kalau Papa akan tidur. Kami tidak mau Papa sakit,” tegas Ge.
“Iya, Nak.” Kuelus wajah putriku itu. Tampak kekhawatiran di matanya.
“Kalau Ima sudah sadar, segera bangunkan Papa,” pesanku.
“Tentu, Papa,” Ge menggenggam tanganku.
Hari itu, kami menetapkan jadwal untuk bergantian menemani Ima di ruangan ICU. Beberapa orang keponakan yang tinggal di rumah kami juga membantu menjaga Ima. Jarak dari rumah sakit ke rumah kami yang dekat, memungkinkan kami untuk bolak balik jika ada keperluan, ataupun sekedar pulang untuk beristirahat. Namun, saat itu aku bertekad untuk tetap berada di rumah sakit menemani putriku.
Pengunjung tak berhenti berdatangan untuk menjenguk dan mendoakan Ima, baik itu rekan-rekan dosen dari tempatku mengajar, rekan-rekan sepelayanan, anggota gereja, teman-teman Ima, maupun sanak keluarga. Pihak rumah sakit memberikan kebijakan, namun tetap dalam prosedur dan batasan-batasan tertentu. Beberapa keluarga dekat kami ikut berjaga dan tidur di ruangan depan ICU yang disiapkan untuk keluarga pasien. Kami saling menghibur dan menguatkan.
Dua malam kembali berlalu. Kondisi Ima masih belum ada peningkatan, bahkan kini suhu tubuhnya meningkat tajam, sehingga seluruh kulitnya memerah dan bahkan mengeluarkan bintik-bintik kehitaman.
Dokter telah berupaya dengan keras untuk memberikan pengobatan yang terbaik, sambil terus berharap pasien akan segera sadar dari koma diabetik yang menyerangnya.
Memasuki hari ketiga, tiba-tiba Ima mulai merespon. Kaki dan tangannya perlahan bergerak-gerak. Kala itu malam hari, di saat keheningan melanda dan hanya suara monitor yang berdenyit.