Kehidupan di Ujung Jarum

risma silalahi
Chapter #6

Mukjizat Masih Ada

Pagi itu mentari menyapa dengan hangat. Langit biru cerah, gumpalan awan seputih kapas nampak jelas, bak potret angkasa yang menakjubkan. Tepat di bawahnya, aku sedang berjalan-jalan mengitari halaman rumah sambil berolahraga kecil seusai sarapan. Papa, Mama, dan Nenek berada di kebun tepat di sisi kanan rumah. Tampak jelas Nenek yang menjadi mandor yang mengarahkan proses cabut singkong yang dilakukan oleh Papa dan Mama. Di sisi kiri, Ge sedang menghitung bunga-bunga indah berwarna putih dan kuning berbentuk terompet. Rey berada di teras, bermain-main dengan balok-balok kayu kecil yang dicat warna warni.

“Wah, cukup banyak singkong yang digali hari ini,” ucap Mama puas. “Besar-besar lagi,” lanjutnya mengangkat satu per satu singkong itu.

“Disimpan dulu, Ma. Katanya hari ini mau ke sungai,” kata Papa.

“Oh, iya benar. Hampir lupa,” sahut Mama.

“Sungai yang jauh turun ke lembah itu, Ma?” tanyaku. Seingatku hanya satu sungai di sekitar desa ini, dan perjalanan ke sana cukup menyulitkan.

“Tentu, kan hanya itu sungai terdekat dari sini. Kalian sudah lama kan tidak ke sana? Dulu terakhir kita ke sana kalian masih kecil-kecil,” jawab Mama.

“Asyik!!” seru Rey.

“Jangan asal gembira saja, Dek. Perjalanan ke sana, ampuunnn!” keluh Ge menyeletuk. “Saya masih ingat betul.”

Rey segera menoleh kepada Mama dengan kening yang mengerut, seolah mengharapkan penjelasan.

“Memang jauh, Sayang. Tapi kan di sana asyik bisa mandi-mandi di sungai. Semua rasa lelah akan terbayar.” Mama masih mencoba membujuk kami.

Aku menggeleng. “Sepertinya saya tidak pergi, Ma. Rasanya tidak kuat berjalan ke sana. Kemarin saja hampir ambruk.”

“Yah, terserah kamu, Nak. Jangan dipaksakan kalau memang tidak kuat. Ge? Mau ikut, Sayang? Rey?”

Semuanya hanya diam.

“Kalau begitu Mama sama Nenek saja yang pergi. Papamu juga rencana buat persiapan khotbah besok pagi di gereja. Mama sekalian mau lihat kebun coklat Nenek di dekat sungai, sudah lama tidak ditengok,” kata Mama.

“Tunggu, saya ikut, Ma. Mungkin saja jalanan ke sana sudah bagus tidak selicin dulu,” potong Ge. “Lagipula, saya tidak punya kegiatan lain. Kita singgah lihat pohon durian ya, Ma. Kali saja ada durian runtuh. Masih ada kan pohonnya di dekat sungai?”

“Mudah-mudahan ada buahnya, tapi sepertinya kalau bulan begini baru mulai berbunga,” jawab Mama ragu.

Mama lalu memandangku seolah mengharapkan jawaban.

“Ya, saya ikut juga, Ma. Sepertinya asyik!” seruku tersenyum lebar.

“Hei!! Ada apa ini?” Papa menyela. “Ima, sebaiknya istirahat, Nak. Jangan capek!” tegas Papa.

Aku seketika cemberut dan dengan kecewa masuk ke dalam kamar.

Aku hanya bisa memandangi punggung Mama, Nenek, Ge dan Rey saat mereka berjalan menjauh dari rumah. Perlahan air mataku menetes. Saat itu aku merasa kesal kepada Papa, namun aku berusaha untuk memahami maksud Papa. Papa hanya mengkhawatirkan kesehatanku. Tak selamanya kita mendapatkan semua keinginan kita. Memaksakan sesuatu kadang membawa akhir yang buruk.

Aku masuk ke dalam kamar, duduk di lantai papan beralaskan tikar anyaman, sementara pandanganku terarah ke luar jendela kamar, menatap tiga gunung yang berjejer jauh di seberang pandangan mata. Terlihat awan putih tepat di tengah gunung menutupi. Dalam hati aku bertanya, apakah bagian yang tertutup awan itu pernah mendapatkan sinar matahari? Sementara awan hampir tidak pernah beranjak dari situ, meskipun di siang hari. Seperti apa kehidupan di sana?

Khayalanku kembali menuju masa itu, dan mempertanyakan hal yang sama setiap hari. Masih adakah kehidupan yang akan kujalani? Sementara hidupku saat itu seolah berada di ambang kehancuran. Awan gelap menghadang, hingga aku tidak mampu lagi melihat walau hanya setitik cahaya yang memandu di depan langkah.

Kenangan itu kembali membayang.

***

Tahun 2003

Detak-detak bunyi monitor terdengar pelan, semakin lama semakin jelas. Suara orang bercakap-cakap mulai terdengar jelas di telinga. Kesadaranku yang sudah beberapa hari hilang oleh karena koma, kini mulai muncul. Kedua kelopak mataku masih menutup, sepertinya otak belum siap mengirimkan sinyal untuk bangun hingga tubuhku belum dapat digerakkan.

Aku pasrah dengan keadaan itu. Sementara di dalam benakku terus melintas pertanyaan demi pertanyaan. Mengapa aku berbaring di sini? Apa yang terjadi? Mengapa tubuhku terasa begitu lemah? Aku mencoba keras untuk berpikir, namun semuanya masih samar. Perlahan-lahan aku mulai memahami situasi yang terjadi.

Apakah aku pingsan? Sudah berapa lama? Aku kembali mencoba membuka mataku perlahan. Akhirnya, aku dapat melihat cahaya. Mataku menangkap langit-langit ruangan itu. Namun, seketika aku menutupnya kembali, karena cahaya itu terasa menyilaukan mata.

Setelah beberapa waktu, aku merasakan bahwa kesadaranku benar-benar pulih. Kucoba kembali membuka mata. Walaupun tubuhku masih terlalu lemah untuk digerakkan, namun aku berusaha keras menggerakkan kepala untuk memperhatikan sekeliling.

“Papa! Papa!” Aku berusaha memanggil Papa yang berada di sampingku. Papa sedang membaca sebuah buku, dan tampaknya tidak mendengarkan panggilanku.

“Papa! Pa!” Aku mencoba memanggil sekali lagi, namun kali ini aku merasa tenggorokanku tercekik. Aku baru sadar bahwa suaraku sejak tadi tidak keluar. Hanya bibir yang bergerak-gerak. Aku terus berusaha memanggil Papa lebih kuat lagi.

Seolah mendengar sesuatu, Papa berbalik dan tampak kaget melihatku. “Ima? Kamu sudah sadar, Nak?”

Papa seakan bimbang menatapku. Mungkin saja ia masih ragu apakah aku telah benar-benar sadar.

Perawat segera mendekat, diikuti oleh seorang dokter yang segera memeriksa kondisiku.

“Dia sudah sadar, Pak,” kata dokter. “Namun kondisinya masih lemah. Biarkan dia beristirahat dahulu. Jangan terlalu dipaksa untuk diajak bicara.”

Beberapa waktu kemudian, seorang perawat kembali datang mendekat. Ia memperhatikanku dengan saksama.

“Mungkin bisa diberi minum sedikit-sedikit, Pak,” usul perawat itu.

“Ima, mau minum, Sayang?” tanya Papa.

Aku mengangguk. Papa mendekatkan segelas air hangat dengan sedotan yang sudah ia siapkan.

Lihat selengkapnya