Hari masih pagi-pagi benar, takkala beberapa perawat pria datang memasuki kamar perawatanku. Mereka membawa sebuah brankar yang ukurannya lebih kecil.
“Kamarnya sudah siap, Pak. Kami akan segera memindahkan pasien,” kata seorang perawat.
“Ima, kita akan pindah kamar, Sayang.” kata Papa.
“Pindah lagi?” tanyaku dengan mimik heran.
Tubuhku diangkat secara hati-hati, lalu dipindahkan ke brankar.
"Tolong, hati-hati! Jangan sampai tubuhnya terguncang lagi, kalau bisa diangkat saja,” seru Papa cemas.
“Iya, Pak. Kami akan membawanya dengan hati-hati,” jawab perawat itu.
“Dorong pelan-pelan saja!” titahnya kepada rekan-rekannya.
Para perawat itu mendorong tempat tidur yang membawaku secara perlahan. Namun, aku masih tetap merasakan guncangan walaupun tidak seperti sebelumnya. Aku membuka mata untuk sekedar memperhatikan sekeliling.
Kami melewati koridor yang panjang dan berkelok-kelok. Kamar yang baru itu letaknya cukup jauh dari kamar sebelumnya. Papa mengikuti dan memantau dari belakang. Matanya tidak beranjak dariku.
“Kita sampai,” kata perawat itu. Ia lalu menyingkap kedua sisi pintu kamar.
Aku didorong masuk ke dalam kamar. Aku membuka mata lebar-lebar dan memperhatikan sekeliling. Mataku menjumpai hanya satu tempat tidur di kamar itu. Ini kamar VIP, pikirku. Sejenak dalam hati aku merasa lega. Setidaknya ruangan ini nyaman dan tenang, bisa mendapatkan privasi.
Matahari mulai meninggi, sinarnya masuk melalui jendela yang setengah terbuka, segera menyilaukan pandangan. Aku spontan mengangkat tangan menghalangi cahaya menyilaukan itu.
“Wah! Ruangannya enak. Sinar matahari masuk,” kata Ge seraya membuka lebar-lebar pintu serta jendela yang menghadap ke arah teras.
Kamar itu sebenarnya tidak begitu besar, namun terasa tenang dan nyaman, karena posisi gedungnya yang jauh dari keramaian hiruk pikuk rumah sakit. Kamar itu memiliki dua pintu berseberangan. Salah satunya adalah pintu menuju ke teras dengan sebuah taman kecil, yang menghadap ke arah luar. Sementara pintu yang satunya lagi menghadap ke arah dalam bangunan. Kamar mandi terletak di dalam kamar, berdampingan dengan teras. Papa segera duduk di kursi teras menikmati berita koran terbitan pagi itu.
Ge mulai membongkar barang-barang dan sibuk meletakkannya pada lemari kecil yang tersedia di samping tempat tidur. Ia bahkan membawa cermin bulat dari rumah, lalu menggantungnya pada sebuah paku yang tertancap untuk menggantung kalender.
“Nah, sekarang kamu bisa bercermin. Sudah berapa lama kamu tidak bercermin?” tanyanya menggodaku.
Mataku terus mengitari sekeliling ruangan. Kuperhatikan kesibukan Ge yang sejak tadi belum selesai mengatur barang-barang. Sepertinya begitu banyak barang yang ia bawa dari rumah. Seolah-olah kami sedang berlibur.
“Bagaimana kamarnya, enak kan?” kata Ge dengan wajah menunjukkan kepuasan.
Aku mengangguk. Hari ini aku merasa lebih baik. Apalagi, kini di dalam kamar hanya aku pasiennya. Rasanya lebih leluasa untuk melakukan apapun.
“Nah, ini saya bawa radio tape. Mau putar lagu?” seru Ge.
Aku hanya menatap kakakku dengan perasaan heran. “Kakak bawa tape?”