Kehidupan di Ujung Jarum

risma silalahi
Chapter #8

Dalam Pelukan Bapa Sejati

Tahun 2004

Aku bersyukur masih diberikan kesempatan kedua. Kesempatan untuk kembali menjalani hidup, karena aku yakin masih ada tugas yang belum tuntas dari Sang Pencipta yang harus kuselesaikan.

Aku menatap lekat sebuah benda berbentuk pen di tanganku. Alat itu jelas berbeda dengan alat suntik seperti pada awal pertama kali menerima insulin, setahun yang lalu. Pada waktu itu, jarumnya benar-benar berbentuk jarum suntik pada umumnya, berupa spoit, dengan cara kerja menyedot cairan insulin dari botol, lalu diinjeksi pada tubuhku, sedangkan alat injeksi yang ada di tanganku saat ini sudah berbentuk pen, dimana jarumnya melekat pada botol insulin. Jarumnya pun sangat tipis hingga hampir tidak terasa sakit, kecuali saat mengenai pembuluh darah, tetap bisa menimbulkan bengkak dan berdarah.

Benda itu telah menjadi hal yang teramat penting bagi kelangsungan hidupku. Hidupku kini seakan berada di ujung jarum, bergantung kepada benda itu, jika dipandang dari sisi medis. Tentu saja, aku tetap yakin bahwa Sang Pencipta adalah Pemilik hidupku, Penguasa tunggal, berdaulat sepenuhnya atas kehidupanku. Pengobatan tetaplah hanya sebuah sarana yang dipakai oleh-Nya.

“Kenapa dipandang saja, Sayang? Ayo, cepat suntik! Mi nya sudah hampir dingin,” seru Mama membuyarkan lamunanku.

“Eh ... iya, Ma. Ini baru mau suntik,” jawabku.

Malam itu, kami sekeluarga berkumpul di ruang tengah untuk makan bersama. Di hadapan kami telah tersedia mie ayam kampung buatan Mama. Sungguh lezat dan gurih. Hangat kuahnya meresap masuk ke dalam tubuh.

“Besok jam berapa bus nya berangkat, Pa?” tanyaku.

“Jam delapan pagi. Kita bangun subuh-subuh besok. Perjalanan ke perwakilan bus bisa memakan waktu satu jam, karena harus berjalan kaki dulu ke jalan raya. Lalu menunggu angkutan untuk ke kota. Malam ini kita semua tidur cepat,” perintah Papa.

Malam harinya, ingatanku kembali mengembara. Jam dinding menunjukkan pukul 10 malam, waktunya kembali menginjeksi dengan insulin long action. Dengan berat, aku duduk dan menyuntik lenganku.

Sejenak aku menatap kembali pen insulin itu. Benda ini ... apa yang terjadi jika benda ini hilang? Atau tertinggal? Atau tiba-tiba ada bencana alam dan terpisah dariku? Sungguh, aku tak mampu membayangkannya.

*** 

Tahun 2003

Aku masih terus bangun menikmati hangatnya mentari pagi. Hidup, bernafas, dengan darah yang masih mengalir di tubuh yang fana ini. Aku merenung dan berusaha mencerna apa yang sedang terjadi pada diriku. Perubahan yang drastis dalam hidup ini cukup memutarbalikkan duniaku. Air mataku kini menetes membasahi bantal yang sedang kupeluk erat.

Pandanganku tertuju kepada Papa yang tertidur pulas di lantai beralaskan karpet yang dilapisi dengan selimut. Hatiku haru melihat kesetiaan Papa menemaniku. Papa masih tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang dosen untuk mengajar di pagi hari, setelah itu ia selalu langsung ke rumah sakit untuk mendampingiku tanpa pulang ke rumah.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Pintu terbuka.

“Selamat Siang,” dokter Steve masuk bersama asistennya, dokter Yadi, serta seorang perawat.

“Bagaimana kabarnya, Nak? Sudah lebih baik?” tanya dokter Steve. Menyadari kedatangan dokter, Papa seketika terbangun lalu berdiri.

Aku menyeka air mataku dan mengangguk kepada dokter. “Sudah lebih baik, Dok.”

“Ima sudah tidak pernah kejang lagi, Dokter, tapi hasil cek kadar gulanya selalu tinggi. Setiap pagi di atas 500,” terang Papa. “Bagaimana solusinya, Dok? Kasihan kan tiap pagi dia bangun dalam keadaan sesak nafas,” imbuh Papa.

Dokter Steve hanya mengangguk. Kemudian mendekat kepadaku untuk memeriksa. “Saya periksa dulu, ya?”

Dokter Steve memeriksaku dengan stetoskop, lalu mengetuk-ngetuk beberapa bagian perutku. 

“Bagian perut atas membesar. Kita akan lakukan pemeriksaan lebih lanjut pada bagian abdomen, dicurigai ada penimbunan lemak di lever. Tapi tidak perlu khawatir, dengan diet yang ketat, lemak ini bisa hilang,” jelas dokter Steve.

“Saat ini, kita akan lakukan injeksi insulin tiga kali sehari sebelum makan. Insulinnya menggunakan insulin kerja cepat, dengan dosis 12 – 12 – 10. Untuk sementara kita menggunakan dosis ini, sambil dipantau perkembangannya. Selama di rumah sakit, nanti perawat yang membantu menginjeksi insulinnya. Tetapi setelah di rumah, mungkin Bapak dan Ibu bisa membantu. Nanti perawat akan ajarkan caranya,” terang dokter Steve.

“Bisa dilakukan di lengan atas, perut dan paha. Namun, selama di rumah sakit, perawat akan menyuntikkan di area lengan atas saja, bergantian kiri dan kanan. Jangan terus-menerus dilakukan di tempat yang sama karena bisa mengurangi penyerapannya,” lanjut dokter Steve.

Aku mengangguk dan mencoba mengerti penjelasan dokter. Walaupun masih terasa menakutkan bagiku.

Lihat selengkapnya