Kehidupan di Ujung Jarum

risma silalahi
Chapter #9

Pilar-Pilar Penopang

Papa baru saja sampai di rumah sakit seusai mengajar, hendak merebahkan diri di karpet yang digelar di lantai, ketika seorang perawat tiba-tiba mengetuk dan masuk ke dalam kamar.

“Pak, ada seorang dokter yang juga bekerja di rumah sakit ini ingin menjenguk anak Bapak,” kata perawat itu kepada Papa.

“Dokter siapa ya?” Papa bertanya.

“Dokter dari Poli Paru. Sebentar lagi dokternya ke sini, Pak. Sedang berbicara dengan dokter Steve di depan,” jawab perawat itu.

“Baiklah, Suster,” jawab Papa.

Tidak lama berselang, kembali terdengar ketukan pintu. Papa membuka pintu dan seketika senyumnya mengembang.

“Selamat siang!” sapa dokter itu.

“Selamat siang, Pak Welly! Mari masuk, Pak!” kata Papa mempersilahkan dokter itu masuk. “Silahkan duduk!”

“Maaf, saya baru mendengar kabar tentang putri Bapak. Jadi, saya menyempatkan diri untuk langsung kemari,” kata dokter Welly.

“Terima kasih mau datang mengunjungi anak kami, saya tahu pasti Bapak sibuk,” kata Papa.

“Bagaimana keadaannya sekarang?” tanya dokter Welly.

“Masih agak lemah, Pak. Tapi, Puji Tuhan masa-masa kritisnya boleh terlewati,” jawab Papa.

Dokter Welly mengangguk-angguk, lalu berkata, “Saya kemari bukan sebagai dokter, tapi sebagai teman. Saya ingin datang untuk melihat mendoakan anak Bapak.”

“Iya, Pak. Terima kasih,” kata Papa.

Mereka masih berbincang-bincang sejenak.

“Apakah memang tidak ada cara lain untuk mengobati anak saya Pak, selain suntikan insulin?” tanya Papa mencoba mencari opini lain.

“Maaf, Pak. Tapi memang hanya itu satu-satunya cara,” jawab dokter Welly.

“Seandainya gula darahnya sudah stabil, apakah suntikan insulinnya bisa dilepas?” tanya Papa lagi penuh harap.

“Penyakit ini sifatnya permanen, Pak. Kerusakan organ ini tidak dapat disembuhkan. Jadi memang dibutuhkan injeksi insulin untuk seumur hidup. Hanya mukjizat Tuhan yang dapat menyembuhkan, dan kita percaya tidak ada yang mustahil bagi-Nya,” terang dokter Welly.

Aku hanya berbaring dan mendengarkan seluruh percakapan Papa dan dokter Welly. Tidak lama berselang, dokter Welly berdiri dan mendekat kepadaku.

“Kita berdoa sama-sama ya, Nak,” ajaknya.

Kami bertiga menaikkan doa kepada Tuhan. Aku merasa tenang dan damai. Aku tahu betapa banyak orang yang peduli kepadaku. Bukan hanya kedua orang tua dan keluargaku, namun aku dikelilingi oleh orang-orang yang mengasihi dan menopang di dalam doa, dan setiap doa yang dipanjatkan ke hadirat Tuhan, tidak akan pernah sia-sia. Tuhan mendengar, dan akan menjawab tepat pada waktu-Nya menurut kehendak-Nya.

***

Beberapa malam kembali terlewati. Matahari dan bulan masih terus berganti, tanda kehidupan masih terus berjalan. Aktivitas di rumah sakit masih berlangsung seperti biasanya, bahkan menunjukkan sedikit peningkatan. Pasien-pasien terus berdatangan, baik untuk berobat jalan maupun mendapatkan mendapatkan perawatan secara penuh di rumah sakit.

Ruangan-ruangan di rumah sakit tetap padat seperti biasanya khususnya pada jam buka Poliklinik. Para petugas administrasi maupun paramedis sigap tetap memberikan pelayanan yang terbaik dalam menangani pasien-pasiennya.

Lihat selengkapnya