Tahun 2004
Subuh kembali menjelang, takkala kokok ayam jantan sebagai alarm alam membangunkan seisi rumah. Udara dingin berhembus melalui cela-cela dinding menusuk hingga ke tulang. Bumi bermandikan tetes-tetes bening embun. Kegelapan masih enggan pergi, hingga cahaya lampu masih dibutuhkan untuk memulai aktivitas hari itu. Jam dinding menunjukkan pukul empat subuh.
Seluruh keluarga kini berkumpul di ruang tengah, masih membungkus diri di dalam sarungnya masing-masing.
“Ayo, semuanya duduk! Kita ibadah dulu, baru bersiap-siap,” seru Papa.
“Pa, ini baru jam empat, seharusnya masih bisa tidur sedikit lagi!” keluhku sambil kedua tangan tak berhenti menutup mulut yang terus menguap.
“Nanti kita terlambat. Lebih baik jika berangkat lebih cepat,” tegas Papa. Papaku, memiliki prinsip kuat tentang ketepatan waktu. Sebenarnya bukan tepat waktu, tetapi mendahului waktu.
Keluarga kami berkumpul untuk bernyanyi, membaca Alkitab, dan berdoa. Hari itu adalah hari terakhir kami menikmati liburan di kampung halaman. Tak terasa, suasana akrab penuh kekeluargaan di pondok kecil yang damai penuh kehangatan, akan segera berakhir. Tugas dan tanggung jawab menanti untuk kembali diemban. Kami akan segera kembali ke Makassar dan meninggalkan desa yang penuh kenangan, yang selalu dirindukan untuk kembali.
“Ayo sarapan yang banyak! Entah jam berapa bus singgah makan,” seru Mama.
“Ima, jangan lupa perlengkapanmu! Insulinmu tadi Mama lihat masih ada di kulkas." Mama mengingatkan.
“Sudah di ada tas, Ma. Baru saja saya ambil dari kulkas,” jawabku.
“Iya, Sayang. Perlu dicek kembali semua,” kata Mama lagi.
Teras rumah kini dipenuhi banyak barang yang akan dibawa, termasuk beberapa karung beras hasil sawah. Setiap kali datang dan pulang liburan, selalu begini keadaannya.
“Nenek! Sampai jumpa lagi!” teriakku seraya memeluk erat Nenek tersayang.
“Cucuku sayang! Nenek doakan supaya Ima sehat-sehat,” sahutnya membalas pelukanku.
“Iya, Nek. Nenek juga. Kalau diberi umur panjang dan ada kesempatan, kami pasti akan datang lagi, Nek,” ucapku.
Bus itu melaju meninggalkan kenangan manis di desa tercinta. Menyusuri jalan berkelok-kelok menuruni gunung, melalui panas, hujan, jalanan mulus serta berlubang, semua dilalui dengan keyakinan akan sampai ke tujuan dengan selamat. Lantunan lagu-lagu lawas mengiringi perjalanan kami, dengan kedua mata menikmati suguhan panorama alam yang indah. Jejeran gunung-gunung yang tampak berlapis-lapis, dengan awan putih bergelombang. Sungguh, lukisan tangan Tuhan tiada tandingannya.
Hatiku merasa sukacita, senyum terukir sambil mataku memandang alam yang cerah ceria. Aku sungguh bersyukur masih dapat menikmati hidup, dikelilingi keluarga terhebat, anugerah dari Tuhan yang luar biasa.
Pulang ke kehidupan yang sesungguhnya, aku tahu badai akan selalu menghadang. Awan gelap masih menanti di perjalanan. Namun, pengharapanku tidak akan pernah hilang. Cahaya itu masih ada di sana, siap menerangi langkahku. Masa depan siap menyambutku, dengan sorak kemenangan.
***
Tahun 2003
“Pa ...! Papa!” Seruku memanggil Papa yang masih tertidur pulas di lantai beralaskan karpet. Mendengar suaraku memanggil, Papa segera bangun.
“Ya? Ada apa, Sayang?” tanya Papa sambil mengucek kedua matanya.
“Saya lapar, Pa,” jawabku sambil memegang perut.
Papa memandangku sejenak terpaku, lalu tersenyum. Sepertinya pagi ini pertanda baik.
“Oh, iya makanannya sudah ada,” kata Papa saat melihat makanan terletak di atas meja.
“Papa panggil perawat dulu, ya,” kata Papa segera berlalu.
Aku makan dengan lahap pagi itu. Sehabis makan, wajahku mulai tampak berseri.
“Kak Ge belum datang? Saya mau mandi,” tanyaku kepada Papa.
“Sebentar lagi kakakmu datang,” jawab Papa sambil melirik jam tangannya. “Papa juga akan berangkat ke kampus untuk mengajar kalau kakakmu sudah datang.”
Tak lama kemudian, Ge muncul dari balik pintu yang menghadap ke teras. Seperti biasanya, bawaannya banyak berupa tas-tas berisikan pakaian serta makanan.
“Papa pergi dulu ya, Nak?” pamit Papa.
“Iya, Pa,” sahutku dan Ge bersamaan.
“Wah, kamu terlihat lebih segar,” kata Ge dengan ceria menghampiriku. Senyumnya mengembang sempurna melirik sisa makanan di atas meja.
“Begitu, dong. Makanan harus dihabiskan biar cepat sembuh,” celotehnya.
“Saya bawa sesuatu untuk kamu,” katanya lagi dengan senyum penuh arti. “Tunggu, saya ambilkan!”
Ge berjalan keluar lalu kembali dengan menenteng tas gitar berwarna hitam.
Seketika aku tersenyum. Hati senang berjumpa kembali dengan gitar kesayangan. Walaupun gitar itu tampak sudah usang, namun bunyinya masih bagus.
“Waw… Terima kasih!” sahutku dengan mata berbinar.
“Aduh! Slang infus ini menghalangi saja,” gerutuku.
“Kalau makanmu sudah baik, pasti sebentar infusnya dilepas,” hibur Ge.
Meskipun selang infus cukup menyulitkan, namun aku bisa memetik gitar itu dan mulai bersenandung. Suaraku masih belum pulih, namun karena terlalu bersemangat aku tetap bernyanyi. Ge mendekat lalu ikut bernyanyi, dan kami bernyanyi bersama-sama.
Seusai mandi, badanku rasanya sangat segar. Aku kembali duduk di tempat tidur. Perasaanku jauh lebih baik saat ini. Aku menikmati pagi bersama alat musik bersenar itu.
Siang harinya, Papa dan Mama telah kembali dari tempat kerja. Keduanya menemaniku di rumah sakit.
“Pa, Ma, Maafkan saya, sudah menyusahkan kalian, buat semuanya khawatir. Saya janji akan berusaha kuat,” kataku menunduk.
“Sayang, Mama dan Papa sangat mengerti yang kamu alami. Tidak mudah memang, tapi kamu jangan kehilangan pengharapan. Kita punya Allah yang besar. Jauh lebih besar dari segala masalah. Yakinlah, masa depanmu indah di tangan-Nya,” hibur Mama.
Mama mendekat lalu memeluk dan membelaiku, disusul oleh Papa, dan satu pelukan lagi menyelimuti kami bertiga, dengan pelukan terhangat mengalirkan cinta kasih tak terbatas.