Penghujung September telah tiba. Selembar lagi almanak telah disobek, lembaran baru kembali dibuka. Bulan Oktober segera datang, hari-hari penuh misteri kini membentang. Kaki kembali melangkah melanjutkan perjalanan. Lembar catatan kehidupan siap untuk dituliskan.
Telah genap sebulan lamanya aku terbaring dalam perawatan di rumah sakit. Pemulihan berlangsung dengan baik, meskipun aku masih berjuang untuk kestabilan gula darahku. Perlahan kekuatanku mulai pulih kembali. Keluhan-keluhan masih sering kurasakan menghinggapi tubuh yang sedang berproses memperbaiki diri, dan aku belajar untuk beradaptasi dengan gejolak-gejolak itu.
Rumahku, kamarku, ranjangku, kini aku teramat merindukannya. Rasanya sudah sangat jenuh berada di rumah sakit, dengan aroma disinfektan yang mendominasi.
“Papa, kapan kita pulang ke rumah?” rengekku.
“Kamu sudah rindu pulang, Nak? Nanti kita tanyakan ke dokter ya,” jawab Papa.
Kami menunggu kedatangan dokter dengan tak sabar. Saat dokter melangkah masuk ke kamar, Papa langsung bertanya, “Dokter, bolehkah anak saya dirawat di rumah saja? Sudah lama dia di rumah sakit, sudah rindu pulang ke rumah,” tanya Papa kepada dokter Alfrits.
“Sudah mau pulang ya? Boleh saja, Pak,” jawab dokter.
Aku dan Papa berpandangan, lalu tersenyum. “Ya, dokter. Sudah bisa pulang kan?” tanyaku lagi.
“Ya, Boleh. Tapi, tolong diperhatikan dengan baik semua aturan-aturan dosis beserta jadwal injeksi insulinnya. Pengaturan diet makanannya juga agar dipatuhi dengan baik,” pesan dokter Alfrits.
“Tentu, Dokter. Kami akan patuhi,” jawab Papa.
“Kamu dengar, Sayang? Kita sudah bisa kembali ke rumah,” seru Papa kepadaku.
“Harus biasakan diri disiplin, ya,” lanjut dokter Alfrits. “Nanti di rumah, Ima belajar suntik insulin sendiri, harus bisa,” pesannya.
“Ya, dokter. Kami akan merawatnya dengan baik. Kami juga sudah membeli alat cek gula darah sendiri,” jawab Papa.
“Baiklah. Jangan lupa untuk datang kontrol minggu depan!” Pesan dokter Alfrits.
Sore harinya kami bersiap untuk pulang ke rumah. Barang-barang telah di-packing dan siap diangkut. Ternyata, jumlahnya sangat banyak karena sudah sebulan kami berada di rumah sakit.
“Papa, saya rasa lemas lagi,” kataku saat akan pulang. Tiba-tiba rasa lemas menjalar di tubuhku.
“Apa yang kamu rasakan? Apa kita batal pulang saja?” tanya Papa gusar.
“Jangan, Pa!” bantahku. “Kita harus pulang sekarang! Saya tidak sanggup lagi berada di sini,” tegasku lagi.
“Ya, Sudah. Baiklah, Nak. Kalau begitu ayo bersiap. Papa cari taksi di luar, ya,” ujar Papa.
Setiba di rumah, kupandangi sekeliling kamar. Akhirnya, aku bisa kembali lagi ke rumah. Walaupun hanya sebulan meninggalkan rumah, rasanya seperti bertahun-tahun. Namun, terasa ada yang berbeda. Tidak, rumah ini tampak sama dan memang tidak ada yang berubah, hanya beberapa perabot yang bergeser posisi, mungkin saat kamar dibersihkan. Hal yang kini berbeda adalah kehidupanku, dari kebebasan menuju keterikatan.
Aku bersyukur dapat kembali ke rumah. Saat mengenang apa yang telah kulalui, aku menduga nyaris tidak pernah kembali lagi. Hidupku pernah berada di ujung kematian, namun Tuhan berkehendak lain. Aku masih diberikan kesempatan untuk hidup, dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak bersyukur, meskipun hidupku kini berubah.
Setelah keluar dari rumah sakit, aku hanya berbaring di tempat tidur karena tubuhku sangat lemah. Saat itu, Papa dan Ge yang menginjeksi insulin ke lenganku. Aku belum berani melakukannya sendiri. Aku juga rutin untuk mengecek gula darahku setiap hari saat akan makan. Namun, gula darahku tetap tidak stabil, naik dan turun dalam range waktu singkat, dengan fluktuasi yang tajam.
Setelah seminggu berlalu, kini saatnya untuk kembali kontrol ke rumah sakit. Pagi itu, aku sudah bersiap-siap, namun aku heran melihat Papa masih mengenakan kaos oblong dan celana pendek.
"Pa? Papa lupa ya hari ini kita mau kontrol ke rumah sakit,” tanyaku.