“Stop ! Stop! Tolong berhenti!” Aku berteriak sambil menutup telinga dengan kedua tangan. Air mataku nyaris tumpah.
“Ima? Ada apa, Sayang?” tanya Papa berlari mendekat. Wajahnya keheranan melihatku gemetaran sambil menutup telinga.
Aku menggeleng, “Saya tidak tahan dengar suara itu, Pa.”
“Suara apa? Oh …” Papa berpikir sejenak. “Suara itu ...?” tebak Papa. Di teras, tukang sedang bekerja memperbaiki pagar dan mengetuk-ngetuk sesuatu dengan suara yang keras.
Aku mengangguk. “Rasanya menusuk-nusuk di kepalaku, Pa. Saya tidak kuat mendengarnya," kataku mulai menangis lalu berbaring dan menutup kepalaku dengan bantal.
“Iya, Sayang. Papa suruh berhenti sekarang,” jawab Papa seraya menuju ke teras rumah.
Apa yang terjadi padaku? Ada apa di kepalaku? Mengapa aku menjadi sepanik ini hanya karena suara itu? Tuhan, tolong! Aku berdoa dalam hati.
Akhirnya, kami kembali untuk berkonsultasi dengan dokter. Kali ini, dokter Jose tidak sedang berada di tempat, tapi digantikan sementara oleh asistennya.
“Ini masalah saraf, Pak,” jelas dokter itu kepada Papa. “Diabetes memang memiliki komplikasi kepada kerusakan saraf. Tapi untuk kondisi anak Bapak, masih bisa dicegah.”
“Anak saya juga sering mengeluhkan, kalau tubuhnya sering bergetar-getar sendiri seperti itu, Dokter,” lanjut Papa.
“Iya, Dok.” Aku menambahkan. “Awalnya sangat mengganggu, tapi karena sudah terbiasa saya acuhkan saja. Namun, tetap saja rasanya tidak nyaman.”
“Saya akan resepkan vitamin B dosis tinggi untuk sebulan. Bulan depan, bisa kembali kontrol,” jawab dokter.
“Ya, terima kasih, Dokter,” sahut Papa.”
Sore harinya, aku duduk di atas tempat tidurku dan pikiranku melayang. Papa dan Mama datang menemani untuk sekedar bercakap-cakap. Kedua orang tuaku banyak mencurahkan waktu mereka untukku, di tengah kesibukan pekerjaan dan pelayanan.
“Papa, suaraku masih rasa serak. Sakit kalau dipaksa berbicara, apa memang tidak bisa kembali seperti semua?” keluhku.
“Sebenarnya, Papa berpikir mungkin kita perlu juga coba obat-obatan herbal,” usul Papa.
“Daun jambu dan daun bila yang diminum seperti tidak ada pengaruhnya, Pak. Tetap saja gula darahnya hanya bisa diturunkan dengan insulin. Malahan, Ima mengeluh maagnya kumat,” Mama menambahkan.
“Mungkin kita coba berobat tradisional Chinese saja, Pak,” usul Mama. “Ke ahli pengobatan Cina.”
“Ya, bisa dicoba,” jawab Papa. “Setidaknya, kita akan terus berusaha.”
Rumah pengobatan tradisional Tiongkok itu berada di kawasan pecinan yang terletak di pusat kota, tidak jauh dari pantai. Seorang sinshe (pengobat tradisional cina) wanita yang sudah berusia senja, menyambut kedatangan kami dengan ramah.
“Apakah hasil pemeriksaannya dibawa?” tanya sinshe itu setelah kami menjelaskan apa yang aku alami.
Papa menyodorkan semua hasil pemeriksaan yang ada. Sinshe itu memperhatikan dengan saksama. Wajahnya nampak serius.
“Baik, saya periksa dulu ya,” ujarnya.
Aku berbaring di ruang periksa, layaknya kamar periksa dokter. Semua alat-alat yang digunakan juga tidak berbeda dengan peralatan medis di tempat praktek dokter. Setelah selesai memeriksa, kami kemudian duduk berhadapan.
“Maaf, Pak. Organ-organ tubuh putri Bapak tidak berfungsi dengan baik atau terganggu. Paru-paru, jantung, darah, ginjal, dan organ-organ vitalnya perlu dikuatkan,” jelas sinshe itu.
“Kita obati satu per satu. Saya akan berikan resepnya. Obat-obatan ini akan terpisah-pisah masing-masing untuk setiap organ tubuh.”