“Akhirnya, sampai juga di rumah,” ujarku dengan perasaan lega.
Cuaca di luar rumah sangat panas, kulitku rasanya terbakar oleh teriknya matahari hingga berbelang kecoklatan kini. Aku baru saja kembali ke rumah setelah berbelanja di toko buku untuk membeli sebuah buku yang kuperlukan untuk penyusunan skripsi. Kuhempaskan begitu saja tas selempang yang kubawa ke atas sofa dan hendak masuk ke kamar.
Tiba-tiba langkahku terhenti. Kudengar suara Mama dan Papa sedang berbincang dari arah kamar Papa. Pintu kamar itu terbuka dan aku langsung menuju ke sana.
“Papa mau dibawa ke rumah sakit,” ucap Mama saat melihatku berdiri di depan pintu kamar. Mama sibuk mengambil beberapa pakaian dari dalam lemari lalu memasukkannya ke sebuah tas ransel.
“Papa kenapa, Ma?” Aku melangkah masuk ke dalam kamar. Papa yang sedang berbaring, berusaha duduk saat melihatku.
“Sepertinya Papa baik-baik saja,” lanjutku ragu.
Mama menggeleng. “Papa sakit, Nak. Tadi sewaktu di kampus, tekanan darahnya dicek oleh dokter. 220 ya Pa? Atau 240?” Mama bertanya kepada Papa.
“Ya, kira-kira begitu,” jawab Papa.
“Bukankah itu tinggi sekali? Per di bawahnya berapa, Pa?” tanyaku lagi.
“160,” jawab Papa. “Dokter tadi anjurkan langsung ke rumah sakit.”
“Papa rasa bagaimana sekarang?” tanyaku cemas. “Mengapa tidak langsung ke rumah sakit saja?”
“Papamu mau pulang ke rumah dulu. Untung saja Papa tidak jatuh di jalan, dengan tekanan darah setinggi itu,” Mama menjawab.
Aku mendekat kepada Papa. “Papa kenapa pulang ke rumah lagi? Harusnya ikut saran dokter langsung ke rumah sakit,” protesku. “Nanti kami akan langsung ke rumah sakit juga.”
“Insulinmu tinggal sedikit, Nak. Papa mau singgah beli di apotek dulu. Nanti tidak cukup, Sayang. Kan, harus nyambung,” jawab Papa dengan suara melemah.
“Saya kan bisa pergi beli sendiri, Pa,” balasku.
“Itu tanggung jawab Papa, Nak. Papa yang akan belikan insulin kamu,” tegas Papa.
Mama memberi kode kepadaku untuk tidak berdebat dengan Papa. Dalam hati, aku merasa begitu haru dengan perhatian Papa. Bahkan dalam keadaan sakit, Papa masih mendahulukan kebutuhanku dibanding dengan dirinya sendiri.
“Ya sudah. Ayo kita ke rumah sakit sekarang, Pa!” ajakku hendak ke kamar untuk bersiap-siap.
“Kamu di rumah saja. Istirahat dulu, nanti Mama yang temani Papa,” saran Mama.
“Baiklah.” Aku mengangguk dan melepas mereka pergi dengan perasaan bercampur aduk.