Kehidupan di Ujung Jarum

risma silalahi
Chapter #15

Rajutan Karya yang Maha Kuasa

“Ima, segera buat surat lamaran ke sekolah! Yayasan lagi membutuhkan staf administrasi keuangan, sesuai dengan jurusan kamu,” seru Mama di suatu pagi.

“Sekolah tempat Mama bekerja? Benar, Ma?” Aku segera berdiri dan mendekati Mama.

“Benar. Sepertinya inilah jalan yang Tuhan buka untukmu. Dia menyiapkan yang terbaik. Di sekolah ada Mama yang bisa memantau kondisi kamu,” tegas Mama.

“Ya, saya akan segera buat, Ma!” jawabku dengan penuh semangat. Saat itu juga, segera kubuat surat lamaranku.

Setelah kurang lebih seminggu menunggu balasan, Mama pulang dengan membawa berita gembira.

“Kamu diterima. Hari Senin kamu sudah bisa bekerja,” kata Mama dengan wajah puas.

Aku mengangguk dan tersenyum penuh syukur.

Semalaman aku berdoa mengucap syukur kepada Tuhan. Satu demi satu pertanyaan yang pernah kuajukan kepada Tuhan dengan berderai air mata dalam kegundahan hati, kini terjawab. Selain dapat menyelesaikan pendidikan, kini aku diberikan kesempatan untuk bekerja. Walaupun aku menjalani hidup yang berbeda dari kebanyakan orang, namun aku memiliki kesempatan seperti yang lainnya untuk melakukan sesuatu yang berguna dalam hidup. Kini, aku tidak harus terus menggantungkan hidupku kepada kedua orang tuaku. Aku punya kesempatan untuk bertanggung jawab atas kehidupanku, mengambil alih secara penuh biaya hidup khususnya pengobatanku.

Masa-masa bekerja di sekolah itu adalah hari-hari yang indah untukku. Aku menikmatinya dan menganggap pekerjaan itu sebagai bagian pelayanan yang kulakukannya untuk Tuhan.

Waktu terus bergulir. Hari demi hari berganti. Aku masih berpijak di bumi ini, dengan penyertaan Tuhan yang ajaib. Berbagai gejolak pada tubuh sebagai bagian dari kehidupan seorang diabetesi masih saja terus kualami, namun aku dapat mengatasinya lebih baik dari sebelumnya. Penerimaan dengan ikhlas akan keadaanku merupakan hal yang penting untuk menemukan kebahagiaan menjalani hidup. Perlahan kembali kuraih kebebasanku, ditengah aturan-aturan yang mengikat, menjadi sebuah rutinitas yang kunikmati sebagai bagian dari hidup. 

***

Aku menyeruput segelas air putih hangat sambil pandanganku memandang ke arah kejauhan. Hamparan pepohonan hijau menyejukkan mata dan jiwa. Kala itu, aku dan rekan-rekan kerja sedang mengikuti acara retreat guru dan karyawan yayasan tempatku bekerja. Lokasi retreat itu berada di daerah pegunungan yang berjarak kurang lebih tiga jam perjalanan dari kota tempat kami tinggal. Sebuah kota kecil yang terletak di pegunungan dengan udara yang sejuk, yang dijuluki sebagai Kota Bunga.

Kegiatan pada sore hari ditutup dengan doa oleh seorang evangelist yang menutup rangkaian acara yang dilaksanakan pada hari itu. Ketika tiba saatnya makan malam, aku membuka tas dan mencari-cari sesuatu, sebuah dompet yang berisi perlengkapan insulin.

“Aduh! sepertinya tertinggal di kamar,” keluhku.

“Sekalian suntik di kamar saja, lalu kembali ke sini untuk makan,” saran Mama.

“Ya,” jawabku singkat.

Aku keluar dari ruangan pertemuan itu, lalu berbelok menuju ke kamar yang letaknya lumayan jauh. Saat melangkah, aku merasakan sesuatu yang aneh, seolah ada yang mengikuti. Aku berbalik, namun tak tampak seorang pun.

Lihat selengkapnya