“Akhir bulan Desember ini, orang tuaku akan datang melamarmu,” kata kekasihku sambil menatapku dengan erat. Selama ini, dia selalu berada di sisiku, menghiburku dan melalui duka ini bersama-sama.
Sudah dua bulan kini sejak kepergian Papa. Aku mulai mengikhlaskannya, dan saat ini aku siap membuka hati dan hidupku untuk hadirnya seorang pendamping yang akan menjadi suamiku, bersama untuk seumur hidup. Sebelum meninggal, Papa telah memberikan restunya untuk kami berdua. Hal itu juga memperkuat keyakinanku, bahwa memang dialah yang Tuhan tetapkan untukku.
Kubalas menatap kekasihku dengan pandangan haru seraya menggenggam tangannya, “Terima kasih karena mau hidup bersamaku. Terima kasih sudah mau menerima diriku dengan segala kelemahanku,” ucapku tulus.
Kutatap dalam kedua matanya, hatiku dilingkupi ucapan syukur. Aku mencintainya, dan ingin menghabiskan hidupku bersamanya, hingga menutup mata untuk yang terakhir kali dalam pelukannya. Betapa Tuhan memberi segala yang terbaik dan terindah untukku.
Suasana gereja tempat kami berjemaat kini telah ramai dipenuhi oleh keluarga dan segenap jemaat yang hadir untuk menyaksikan penyatuan kedua mempelai dalam pernikahan kudus.
“Di dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus, kalian telah dipersatukan sebagai suami isteri.” Pendeta menumpangkan tangan di atas kami berbahagia pada hari itu, disaksikan oleh keluarga dan seluruh jemaat.
Satu lagi lembaran baru dalam kehidupanku kini terbuka siap untuk dilukiskan dengan kebahagiaan dan sukacita, sesuatu yang dulunya sempat kupertanyakan kepada Tuhan, dan kini Tuhan menggenapinya.
Aku tersenyum bahagia, menatap masa depan yang menanti. Sepasti mentari yang selalu terbit di ufuk Timur, demikian kehidupanku masih terus berjalan. Tanganku kini telah digenggam oleh suami tercinta, untuk menjalani kehidupan bersama dalam suka dan duka hingga akhir hayat.
Keluarga baruku kini terbentuk bersama suamiku, namun kami masih tinggal bersama-sama dengan Mama serta kakak dan adikku. Kami bersama hidup sebagai suatu kesatuan yang memberi dukungan penuh dalam menjalani kehidupanku sebagai seorang diabetesi.
Bulan demi bulan terus bergulir. Aku memperhatikan kalender yang terpampang di hadapanku.
“Pa, ini sudah delapan bulan sejak kita menikah, mengapa masih belum ada tanda-tandanya?” tanyaku kepada suamiku.
“Sayang, kita harus bersabar. Tuhan punya waktu yang indah dan tepat,” jawabnya yakin.
“Apa sebaiknya saya pergi ke dokter periksa? Mungkin saja penyakit ini berpengaruh kepada kesuburan, dan kita mesti mencari jalan keluarnya,” saranku.
“Lebih baik kita menunggu dulu sampai satu tahun, baru kita pergi periksa ke dokter,” saran suamiku.
Aku mengangguk menurut. Namun, tetap ada kecemasan di dalam diriku. Akankah aku bisa memiliki seorang anak? Di tengah-tengah kondisi kesehatanku yang seperti ini? Bagaimana aku akan menjalaninya? Sedangkan untuk mengurus diriku sendiri, aku butuh pertolongan keluargaku.
Aku terus membawa kerinduan itu terus di dalam doa. Harapanku, Tuhan berkenan memberikan tanggung jawab itu kepadaku.
Dua bulan berselang, aku mulai merasakan ada sesuatu yang lain pada tubuhku.
“Mama, saya mau pulang saja. Badanku rasanya tidak enak,” kataku di suatu ketika saat berada di sekolah tempat aku dan Mama bekerja.
“Kamu sakit? Kamu menggigil,” kata Mama sambil menyentuh dahi dan lenganku.
“Kamu demam. Ayo, Mama temani pulang!” ajak Mama.
Mama melihat jam di dinding. “Tapi, tinggal sejam lagi waktunya pulang. Apa kamu bisa bertahan sebentar? Tidak ada juga yang bisa menjemput kamu. Suamimu kan kerja,” usul Mama.
Aku diam sejenak dan berpikir. “Ya, Ma. Boleh temani ke ruang UKS? Saya mau berbaring di sana sambil menunggu jam pulang,” jawabku.
Kejadian itu berlangsung berulang-ulang kali. Hampir setiap hari, aku selalu merasa tidak sehat, namun aku masih tetap bekerja. Tubuhku masih bisa mengatasinya.
Hingga suatu hari,
“Pa, saya sudah telat seminggu,” kataku kepada suamiku.
“Saya perhatikan memang kamu kurang sehat. Kamu bahkan tidak mau makan roti yang sering saya belikan dari kantor, kamu bilang mual,” sahut suamiku.
“Apa kita coba periksa ke dokter kandungan, ya?” tanyaku ragu. “Memang baru seminggu telatnya. Tapi, tidak apa kan pergi ke dokter untuk periksa.”
“Iya sayang, lebih baik kamu pergi periksa. Apakah bisa Mama temani? Di kantor lagi banyak pekerjaan, saya tidak bisa izin pulang,” jawab suamiku.
Aku mengangguk. “Ya, tidak masalah. Besok saya pergi sama Mama.”
“Malam ini kita berdoa, supaya hasilnya seperti yang kita harapkan. Kerinduan kita terjawab,” kata suamiku menggenggam tanganku.
Keesokan harinya, aku ditemani Mama pergi ke dokter spesialis kandungan. Dokter itu adalah dokter kenalan Papa juga. Suasana tempat praktek dokter itu cukup ramai. Setelah lama menunggu, akhirnya giliran namaku dipanggil.
Dokter melakukan pemeriksaan USG kepadaku.
“Selamat, Bu. Ibu hamil. Coba lihat! Ini janinnya. Usianya sekitar tiga minggu. Coba dengar detak jantungnya!” kata dokter dengan semangat seraya memperbesar suara detak jantung yang terdengar.
Aku tersenyum memandang ke arah layar monitor. Suatu sosok kecil tergambar di sana. Sebuah kehidupan baru yang Tuhan anugerahkan untuk kami.
“Jangan lupa, kontrol juga ke dokter penyakit dalam. Masa-masa kehamilan untuk penderita diabetes harus dikontrol dengan baik, karena memiliki resiko komplikasi.”
“Baik, Dokter,” jawabku.
“Datang kontrol setiap bulan ya, jangan sampai terlewat! Kita akan terus pantau perkembangannya,” lanjut dokter itu. “Saya akan berikan vitamin, juga penguat kandungan.”
“Kalau minum susu apakah boleh, Dok?” tanyaku.
“Boleh-boleh saja. Susu yang biasa kamu minum untuk diabetes saja,” jawab dokter.
“Baik. Terima kasih, Dokter,” balasku.
Aku pulang dengan kebahagiaan tak terkira. Tuhan telah menjawab kerinduan kami. Aku dinyatakan hamil setelah sepuluh bulan menikah. Aku mengelus perutku yang masih tampak rata.
“Selamat datang, Sayang. Mama akan menjagamu. Tumbuhlah dengan sehat dan kuat bersama Mama, hingga waktunya kamu akan lahir dan menatap dunia,” ucapku dengan haru.