Aku menatap puas lingkaran merah yang kugoreskan pada sebuah angka pada kalender. Hari bahagia yang dinanti-nantikan akhirnya tiba. Aku dan suamiku telah mempersiapkan semuanya. Sebentar malam kami akan berangkat menuju rumah sakit bersalin Anggrek Kasih. Rasanya tak sabar bertemu buah cintaku yang meringkuk sesak di dalam perut besarku ini. Ia mungkin sedang mencari jalan keluar untuk segera menjumpai ayah dan ibunya, dan memperoleh kebebasan di dunia yang baru.
Aku bersama suami dan ibu mertuaku berangkat bersama-sama menuju ke rumah sakit. Sesampai di sana, kami segera disambut oleh bidan, kemudian aku menjalani pemeriksaan awal. Saat hendak memasuki sebuah ruangan untuk menimbang berat badan, tiba-tiba dokter Leon datang menghampiri.
“Bu, seharusnya Ibu datang kemarin malam. Maaf, mungkin saya juga kurang memberikan informasi yang jelas. Pagi tadi rencananya sudah tindakan operasi,” jelas dokter Leon.
“Oh, begitu ya, Dokter? Maaf saya tidak tahu kalau harus seperti itu. Saya pikir hari Sabtu baru ke rumah sakit,” jawabku bimbang.
“Ya, ini hanya miss komunikasi saja. Sebaiknya, malam ini Ibu kembali saja ke rumah. Besok malam datang lagi, karena jadwal operasi hari Minggu tidak ada, jadi hari Senin baru akan dilakukan,” jelas dokter Leon.
Aku memandang ke arah suamiku.
“Ya, Dokter. Baiklah. Besok kami kembali lagi kemari,” jawab suamiku.
Keesokan harinya, kami masih disempatkan untuk pergi beribadah di gereja. Aku mulai berpikir, bahwa waktu Tuhan pastilah yang terbaik. Tuhan yang telah menentukan waktu yang tepat untuknya menjalani operasi caesar, tepatnya di tanggal 17 November. Hari itu adalah hari pilihan Tuhan, akan menjadi sebuah hari yang besar bagi keluarga kami. Karya Tuhan akan dinyatakan, lewat hadirnya seorang putra di tengah keluarga kami.
Sore harinya, kami kembali bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit. Aku, suamiku, serta ibu mertuaku. Saat kami hendak berangkat, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Sahabatku, Chaca mengejutkanku dengan kedatangannya lengkap dengan tas ransel di punggungnya.
“Saya ikut, Ima. Saya akan menemani kamu di rumah sakit,” tegasnya.
“Chaca?” seruku. “Terima kasih,” ucapku bahagia menyambutnya.
“Ayo, kita berangkat! Taksinya sudah datang!” seru suamiku.
“Tunggu!!” terdengar teriakan, kami seketika menoleh.
“Riska? Kamu datang?” seruku terkejut menatap saudara sepupuku itu. Ia datang mengendarai sepeda motor, lalu turun menghampiri kami.
“Tentu, Sayang. Saya tidak mau melewatkan momen ini,” jawabnya sambil tersenyum. “Saya sudah tidak sabar mau menggendongnya,” ucapnya sambil mengelus perutku.