Kehidupan di Ujung Jarum

risma silalahi
Chapter #18

Hidup Masih Terus Berjalan

“Ima, sudah lihat belum lowongan pekerjaan untuk penempatan kota Makassar? Mau daftar tidak?” tanya Riska yang datang berkunjung ke rumah. Ia datang membawa bingkisan untuk bayiku.

“Saya pikir-pikir dulu ya. Ini baru saja melahirkan,” jawabku.

Telah seminggu aku keluar dari rumah sakit dan masih akan menjalani cuti selama sebulan ke depan.

“Ayolah! Tidak ada salahnya dicoba. Besok hari terakhir pendaftaran,” bujuknya lagi.

Aku membaca detail lowongan pekerjaan yang cukup menarik perhatian di koran. “Lumayan banyak jurusanku yang dibutuhkan. Oke, tidak ada salahnya dicoba,” jawabku mencoba meyakinkan diri.

Setelah berdiskusi dengan suamiku, aku meyakinkan diri untuk mendaftar. Malam harinya, aku meminta berdoa memohon petunjuk dari Tuhan.

Keesokan harinya, aku telah bersiap untuk berangkat.

“Bisa antar saya, Pa? Mau masukkan berkas lamaran,” tanyaku pada suamiku.

“Kamu jadi melamar pekerjaan itu?” Ia kembali bertanya.

“Akan saya coba. Mumpung umur masih bisa,” jawabku meyakinkan.

“Bisa sebentar siang saja? Tunggu si kecil tidur dulu, nanti rewel lagi,” jawab suamiku.

Aku melirik jam di dinding. Pendaftarannya akan tutup pukul tiga sore. Sekarang sudah pukul 11 siang. Masih ada waktu. Masih sempat makan siang juga.

Perjalanan dengan motor cukup terasa mengiris-ngiris bekas luka operasiku. Jalanan yang kami lalui bergelombang. Namun, semangat dan tekad untuk meraih masa depan yang lebih baik membuatku mengindahkan segala rasa nyeri itu. Saat ini, yang ada di benakku, bahwa kami harus segera sampai di sana. Aku bahkan belum menulis surat lamaran pekerjaan itu, masih harus mencari informasi lebih lanjut saat sesampainya di sana. Namun, aku telah membawa semua berkas-berkas sesuai dengan yang dicantumkan di pengumuman lowongan pekerjaan itu.

Jam telah menunjukkan pukul 13.00 saat kami tiba di sana. Suasana cukup lengang, mungkin karena pendaftarannya telah beberapa hari terbuka. Kami datang pada hari yang terakhir.

“Silahkan ke koperasi Bu, di sana ada contoh format surat lamarannya,” kata wanita yang bertugas di bagian penerimaan berkas.

Segera setelah menyelesaikan semuanya, aku menyerahkan berkas lamaranku ke bagian pendaftaran. Loket itu khusus untuk jurusanku saja. Nomor urutku sudah di atas 800-an. Semangatku seolah memudar. Pendaftarnya sudah banyak, pikirku. Ya, tidak apa dicoba saja. Aku berusaha menyemangati diri.

Beberapa hari kemudian, aku bersiap untuk mengikuti test. Aku kembali dibonceng dengan motor oleh suamiku menuju tempat test. Aku mengencangkan korset yang kupakai agar bekas operasi itu tidak bergeser, juga untuk mengurangi nyerinya.

Seminggu kemudian, tiba saatnya hasil pengumuman test diumumkan di koran. Hari itu adalah hari minggu. Aku tidak pergi beribadah di gereja karena mengalami sakit sarampa. Beberapa hari aku demam dan bercak-bercak merah mulai memenuhi sekujur tubuhku. Beberapa teman dari gereja datang menjenguk dan memberiku ucapan selamat.

"Selamat ya, kamu lulus!" ujarnya.

Aku terkejut. Suamiku sedang pergi membeli koran seusai pulang dari gereja dan belum kembali. Dengan tidak sabar aku menunggunya. Setelah datang, aku langsung mencari namaku. Ternyata benar, namaku terpampang di sana. Aku lulus.

Sesuatu yang tidak terpikirkan olehku, dilakukan oleh-Nya. Tuhan melakukan apa yang dikehendaki-Nya.

“Pa ..., saya lulus,” seruku kepada suamiku menahan isak bahagia.

“Puji Tuhan, Sayang,” suamiku memelukku erat. Kami lalu berdoa mengucap syukur atas semua yang telah Tuhan buat dan rancangkan dalam kehidupan kami.

Antara percaya tidak percaya, namun itulah yang terjadi. Saat itu, tubuhku masih dipenuhi bercak merah oleh karena penyakit sarampa yang kualami, yang terpaksa memisahkanku dengan bayi kecilku untuk sementara.

Lihat selengkapnya