“Ima, sudah baca lowongan kerja ini? Mau daftar tidak?” tanya Riska menunjukkan sebuah iklan lowongan kerja di koran terbitan beberapa hari yang lalu.
"Saya pikir-pikir dulu. Baru juga seminggu melahirkan,” jawabku.
“Ayolah! Tidak ada salahnya dicoba. Besok hari terakhir pendaftaran,” bujuknya lagi.
Aku membaca detail lowongan pekerjaan yang cukup menarik perhatian di koran. “Lumayan banyak jurusanku yang dibutuhkan. Oke, tidak ada salahnya dicoba,” jawabku mencoba meyakinkan diri.
Setelah berdiskusi dengan suamiku, aku meyakinkan diri untuk mendaftar. Malam harinya, aku meminta berdoa memohon petunjuk dari Tuhan.
Keesokan harinya, aku telah bersiap untuk berangkat.
“Bisa antar saya, Pa? Mau masukkan berkas lamaran,” tanyaku pada suamiku.
“Kamu jadi melamar pekerjaan itu?” Ia kembali bertanya.
“Akan saya coba. Mumpung umur masih bisa,” jawabku meyakinkan.
“Bisa sebentar siang saja? Tunggu si kecil tidur dulu, nanti rewel lagi,” jawab suamiku.
Aku melirik jam di dinding. Loket pendaftaran akan tutup pukul tiga sore. Sekarang sudah pukul sebelas pagi. Masih ada waktu.
Perjalanan dengan motor cukup terasa mengiris-ngiris bekas luka operasi caesar. Jalanan yang kami lalui bergelombang. Namun, semangat dan tekad untuk meraih masa depan yang lebih baik membuatku mengindahkan segala rasa nyeri itu. Saat ini yang ada di benakku, bahwa kami harus segera sampai di sana. Aku bahkan belum menulis surat lamaran pekerjaan itu, masih harus mencari informasi lebih lanjut saat sesampainya di sana. Namun, aku telah membawa semua berkas-berkas sesuai dengan yang dicantumkan di pengumuman lowongan pekerjaan itu.
Jam telah menunjukkan pukul 13.00 saat kami tiba di sana. Suasana cukup lengang, mungkin karena pendaftarannya telah beberapa hari terbuka. Kami datang pada hari yang terakhir.
“Silahkan ke koperasi Bu, di sana ada contoh format surat lamarannya,” kata wanita yang bertugas di bagian penerimaan berkas.
Segera setelah menulis surat lamaran, aku menyerahkan kelengkapan berkas lamaranku ke bagian pendaftaran.
Beberapa hari kemudian, aku bersiap untuk mengikuti test. Aku kembali dibonceng dengan motor oleh suamiku menuju tempat test. Aku mengencangkan korset yang kupakai agar bekas operasi itu tidak bergeser, juga untuk mengurangi nyerinya.
Seminggu kemudian, tiba saatnya hasil pengumuman test diumumkan di koran. Hari itu adalah hari minggu. Aku tidak pergi beribadah di gereja karena mengalami gejala sarampa. Beberapa hari tubuhku demam dan bercak-bercak merah mulai memenuhi sekujur tubuh. Beberapa teman dari gereja datang menjenguk dan memberiku ucapan selamat.
"Selamat Ima, kamu lulus!" ujar salah seorang teman yang datang menjenguk.
Aku terperanjat. Antara percaya dan tidak, aku seakan ragu jika belum melihatnya sendiri. Suamiku segera pergi membeli koran terbitan pagi itu. Aku menunggu dengan tidak sabar. Setelah ia datang, aku langsung mencari namaku. Ternyata benar, namaku terpampang di sana. Aku lulus.
Sesuatu yang tidak terpikirkan olehku, dilakukan oleh-Nya. Tuhan telah membuka jalan bagiku untuk melalui suatu perjalanan hidup yang baru.
“Pa ..., saya lulus,” seruku kepada suamiku menahan isak bahagia.
“Puji Tuhan, Sayang,” suamiku memelukku erat. Kami lalu berdoa mengucap syukur atas semua yang telah Tuhan buat dan rancangkan dalam kehidupan kami.
Antara percaya dan tidak percaya, namun itulah yang terjadi. Saat itu, tubuhku bahkan masih dipenuhi bercak merah oleh karena penyakit sarampa yang kualami, yang terpaksa memisahkanku dengan bayi kecilku untuk sementara.
“Besok kita pergi mendaftar ulang! Batas waktu pendaftaran ulang hanya beberapa hari. Pakai jaket tebal dan masker,” saran suamiku.