Kehidupan di Ujung Jarum

risma silalahi
Chapter #19

Badai yang Besar Kembali Menerpa

Tahun-tahun berlalu dengan cepat. Bumi terus berputar tanpa henti, baik itu berputar pada porosnya maupun mengelilingi matahari sebagai pusat tata surga, dengan irama yang selaras, tanda kehidupan masih terus berjalan.

Demikian juga dengan kehidupanku yang masih terus berjalan. Hujan badai yang kulalui setiap hari dalam kehidupan dapat kulalui, bukan dengan kekuatanku, namun aku sadar bahwa ada tangan Tuhan yang menopang erat.

Setiap pagi saat bangun tidur, yang ada hanyalah ucapan syukur karena Sang Pencipta yang tidak pernah terlelap dan tertidur, terus menemani dan menjagaku, dengan penyertaan yang sempurna.

Aku terus menjalani rutinitas setiap hari. Namun, seiring berjalannya waktu, aku seakan terlena dan sejenak mulai mengacuhkan disiplin dalam manajemen diabetes yang kujalani, terutama dalam hal pola makan. Jadwal injeksi masih tetap kulakukan dengan tertib karena amat sangat berpengaruh terhadap kestabilan gula darahku. Beberapa kali aku pernah lupa menyuntikkan insulin, baik itu malam hari saat akan tidur, maupun saat akan makan, dan hal itu cukup membuatku tersiksa saat gula darahku naik secara drastis, sehingga menjadi pelajaran berharga untuk benar-benar ketat untuk mematuhinya tanpa kesalahan.

Aku perlahan meninggalkan menu yang sehat dan mengarah kepada makanan yang kurang sehat. Waktu itu, aku benar-benar merasa kuat, dan hal itu membuatku mengabaikan pola hidup sehat yang harus kujalani demi kelangsungan hidup. Perlahan aku tidak lagi memperhatikan porsi dan jenis makanan yang sehat. Aku mulai menyukai junk food ataupun makanan yang tidak dalam proporsi gizi yang seimbang. Aku bahkan hampir tidak pernah berolahraga, oleh karena aktivitas yang padat sehingga tidak sempat melakukannya, walau sebenarnya hal itu bukanlah alasan jika memang aku sungguh-sungguh mau melakukannya, pasti aku bisa menyempatkan waktu.

Aku segera menyadarinya saat segalanya hampir terlambat, saat komplikasi dari diabetes mulai mengintai, bahkan perlahan menggerogoti tubuhku, yang akhirnya membuat aku mengalami keterpurukan.

Suasana kantor pagi itu berjalan seperti biasanya. Para warga yang ingin mendapatkan pelayanan dari kantor mulai berdatangan. Aku sebagai petugas penginput di loket pun bersiap untuk melayani warga yang membutuhkan pelayanan.

Aku berangkat ke kantor tanpa merasakan ada yang salah pada tubuhku. Aku masih merasa kuat untuk bekerja seperti biasanya. Namun, tiba-tiba aku merasa pusing dan mual, jantungku juga berdebar-debar.

“Ima, kamu pucat sekali, kamu sakit?” tanya seorang teman kantor yang duduk di sebelahku.

“Tidak apa-apa. Cuma rasa tidak enak di perut saja,” jawabku dengan wajah senyum yang dipaksakan.

Entah mengapa, aku merasa dadaku berdebar-debar, dan rasa mual yang tidak tertahankan.

“Saya ke belakang dulu, kalau ada warga yang datang, bisa tolong layani sementara?” pintaku kepada teman yang duduk di sebelahku.

“Baiklah, tidak masalah. Kamu istirahat saja dulu di belakang,” jawabnya.

Berulang-ulang kali aku bolak-balik ke toilet sekedar mencoba menenangkan diri di dalam sana. Kini, aku sadar ada yang salah pada tubuhku. Aku tidak kuat lagi melanjutkan pekerjaan hari itu.

“Bu, boleh saya izin pulang?Perasaanku tidak enak,” pintaku kepada pimpinanku.

“Kamu kenapa? Lebih baik kamu pulang saja. Mau dipanggilkan taksi?” tanyanya.

“Nanti saya panggil sendiri saja, Bu,” jawabku seraya berlalu.

Aku kembali ke toilet karena perasaan akan mual yang sangat. Namun, yang ada hanyalah perasaan mual tanpa muntah. Saat keluar dari toilet dan menyusuri ruangan kantor di bagian belakang, aku merasa tidak sanggup lagi. Langkahku terhenti dan seketika rasa panik menguasai. Tangisku pecah.

Seketika teman-teman yang duduk di ruangan itu segera mendekati, “Ada apa Ima? Kamu kenapa? Tenangkan dirimu!” kata salah seorang rekan kerja.

“Mana air minum? Tolong ambilkan air minum!” teriak wanita itu.

“Ini minum dulu,” suguhnya.

Lihat selengkapnya