Aku tetap menjalankan aktivitasku sehari-hari meskipun dalam keadaan lemah dan terbatas. Semangatku untuk pulih kembali, memberiku kekuatan untuk terus menjalani hidup, walau tak dapat dipungkiri kini terasa berat dan melelahkan.
Hari itu, aku kembali merasa tidak sehat dan minta izin untuk pulang lebih awal. Sehari-hari aku biasanya pulang menggunakan angkutan umum, di kota kami disebut pete-pete. Dalam mobil angkutan itu, aku mulai merasakan kelapaku pusing. Semakin lama semakin menjadi, dan kini jantungku kembali berdebar. Aku melihat sekeliling dan berseru,
“Pak Sopir, tolong antarkan ke rumah sakit di sana!” tunjukku.
Aku saat itu duduk persis di belakang pengemudi. Tubuhku kini gemetaran, dan peluh mulai membasahi.
“Maaf, apakah Ibu sakit?” tanya salah seorang wanita penumpang mobil angkutan itu dengan wajah cemas.
Aku mengangguk. “Iya, Bu.”
“Pak, tolong antarkan Ibu ini masuk ke IGD!” teriak wanita itu.
Sopir mobil angkutan itu kemudian menuju ke arah rumah sakit dan masuk menuju ke IGD.
Para petugas IGD dengan sigap menyambut sambil membawa kursi roda segera membawaku masuk ke dalam ruangan untuk mendapatkan penanganan secepatnya.
“Saya menganjurkan agar Ibu dirawat kembali di rumah sakit untuk mendapatkan penanganan dan pengobatan yang lebih baik,” usul dokter.
“Ya, Dokter. Bagaimana baiknya saja,” kata suamiku yang segera datang setelah mendengar kabar itu.
Akhirnya, aku kembali berbaring di rumah sakit selama seminggu lebih. Kejadian ini terus menerus terjadi. Aku berulang-ulang kali menjalani perawatan di rumah sakit.
Tiga kali ...
Empat kali ...
Lima kali ...
Angka-angka itu kian bertambah. Dalam sebulan, aku berulang kali masuk rumah sakit. Tubuhku semakin lemah. Kini, setiap hari aku merasa pusing, kehilangan keseimbangan tubuh. Bukan hanya fisik, namun batinku ikut menderita. Aku mulai merasa tidak ada yang bisa memahamiku. Aku berada dalam keterpurukan.
Suatu saat, dalam kepedihanku, aku menangis di hadapan Tuhan,