Kehidupan di Ujung Jarum

risma silalahi
Chapter #21

Penyertaan Tuhan yang Sempurna

Waktu terus bergulir, melewati masa demi masa, tawa dan tangis masih mewarnai kehidupanku. Aku berpijak pada titik jenuh.

Saat kegelisahan kembali melanda, sebuah kisah yang dituturkan oleh seorang hamba Tuhan, kembali membangkitkan harapan yang nyaris meredup.

Kala itu aku dan suami sedang bercengkrama bersama putra kecil kami. Tawa dan manjanya sungguh membawa kebahagiaan bagi kami berdua. Anak kecil itu adalah penyemangat hidupku, senyumnya memaniskan duniaku yang pahit.

Sebuah ketukan di pintu segera membuyarkan aktivitas kami,

"Ada yang ketuk pintu, coba lihat!" perintah suamiku.

"Pak Pendeta, mari masuk!" seruku mempersilahkan Pendeta dan istrinya masuk ke dalam rumah. Segera suamiku bergabung.

Pendeta yang berkunjung itu adalah Pendeta yang membimbing dan memberkati pernikahan kami. Kami telah menganggap beliau sebagai orang tua kami sendiri.

“Kami datang kemari ingin berdoa,” sahut Pendeta itu. “Apakah ada hal yang ingin didoakan secara khusus?” tanyanya.

“Seperti biasa, Pak. Tolong doakan kesehatan saya, agar saya bisa pulih dan kuat kembali. Akhir-akhir ini keadaan saya kurang begitu baik,” jawabku lalu menoleh ke arah suami.

“Doakan saya juga dalam pekerjaan, juga untuk anak kami, Mama dan semua keluarga yang tinggal di sini,” jawab suamiku.

"Baik. Sebelum kita berdoa, saya akan bacakan beberapa ayat Firman Tuhan," sahut Pendeta itu.

Beliau membuka Alkitab dann membaca beberapa ayat Firman Tuhan, lalu memimpin doa. Tangannya terangkat ke atas kepalaku sambil berdoa. Aku merasakan kuasa jamahan Tuhan mengalir ke dalam diriku. Seketika, aku mendapatkan kekuatan yang baru.

Seusai berdoa, kami masih duduk berbincang-bincang.

“Ada suatu kejadian yang ingin saya ceritakan kepada kalian,” kata Pendeta itu.

“Kejadian apa, Pak?” tanyaku penasaran.

“Sebenarnya kejadian ini sudah lama, sudah bertahun-tahun yang lalu saya mengalaminya. Namun, saya belum menceritakan kepada kalian, saya masih berpikir dan merenungkannya. Tapi saat ini, saya merasa perlu untuk menceritakannya," jawabnya.

"Kejadian itu adalah sebuah mimpi yang saya alami sebelum kamu melahirkan. Mimpi itu terasa begitu nyata. Saya mengalami suatu kejadian dahsyat yang tidak pernah saya lupakan,” Pendeta itu berhenti sejenak berpikir.

Aku dan suamiku mendengarkan dengan saksama.

“Malam itu, di dalam mimpi, saya bergumul dengan malaikat maut yang hendak mengambil rohmu dan roh anakmu yang ada di dalam kandungan. Saya berteriak menolak dan mencoba menghalanginya semampu saya. Tidak! Jangan dulu! Belum saatnya! Saya bergumul dengan malaikat itu selama beberapa saat, hingga akhirnya saya menang. Malaikat maut itu menyerah lalu pergi menjauh dari kalian,” Pendeta itu berkisah.

Kemudian ia melanjutkan lagi,

“Saya terus mengawasi malaikat maut itu. Ternyata, ia berbelok arah, lalu mendekat kepada keluarga dekatmu, yaitu Nenek, lalu membawa roh Nenek pergi. Setelah itu saya terbangun. Saya merenungkan kejadian itu dan berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan. Saya tahu, bahwa akan ada sesuatu yang terjadi. Ternyata benar, beberapa hari kemudian, nenek kalian pergi menghadap Tuhan. Saya yakin, bahwa Tuhan akan menolong kamu menjalani persalinan. Kamu dan bayimu pasti akan selamat.”

Aku dan suamiku berpandangan. Kami cukup terkejut akan kesaksian dari Pendeta itu.

“Maaf jika saya baru menceritakan hal ini sekarang, setelah beberapa tahun berlalu. Saya ingin menegaskan kepada kamu, bahwa walaupun kamu lemah secara fisik, mengalami penyakit selama bertahun-tahun, Tuhan selalu menyertai kamu. Tuhan punya rencana untukmu dan anakmu. Imani itu! Jangan takut dan jangan kuatir! Tuhan selalu bersamamu,” tegas Pendeta itu. 

Secerca harapan kembali datang, seiring bersinarnya mentari yang menghangatkan bumi. Aku kembali mendapat kekuatan baru. Kejenuhan dan keletihan, segera terhempas ketika harapan itu kembali membentuk.

***

Sebuah rencana yang telah terpikirkan dengan matang, akan segera kurealisasikan, yaitu pengajuan pindah kerja ke kantor yang lokasinya berada di dekat rumahku, di mana kantor tersebut masih berada satu naungan dengan tempat kerja sebelumnya. Jaraknya hanya ditempuh berjalan kaki dari rumahku.

Aku memberanikan diri dengan tekad kuat untuk menghadap Kepala Tata Usaha yang mengurus urusan kepegawaian di kantorku. Niatku itu disambut dengan baik oleh beliau.

“Seharusnya, sejak dahulu kamu mengajukan untuk pindah,” kata pria itu. “Saya akan membantu semaksimal mungkin. Semoga di tempat yang baru, kesehatanmu bisa lebih baik. Tidak perlu melewati jalanan yang jauh dan macet setiap hari,” ujarnya sambil tersenyum.

“Terima kasih banyak, Pak,” jawabku riang. “Kalau begitu, saya akan membuat surat pengajuan pindahnya sekarang.”

Aku menanti dan terus berdoa semoga pengajuan pindah ini dapaat segera dikabulkan.

Setelah enam bulan berlalu, akhirnya surat keputusan pindah telah kugenggam di tanganku. Aku telah resmi pindah dari kantor lama dan ke kantor baru yang berlokasi di dekat rumahku. Aku sangat bersyukur, Tuhan membuka jalan bagiku, untuk bisa tetap bekerja dan menjalankan aktivitas sehari-hari.

Saat itu, aku kembali menggunakan insulin kerja cepat dan insulin kerja panjang sesuai anjuran dokter, di mana injeksi insulin dilakukan empat kali dalam sehari. Saat ke kantor, aku membawa seluruh perlengkapan insulinku, juga snack atau makanan kecil, serta persediaan teh manis kemasan.

Lihat selengkapnya