Desember, 2022
Jejak-jejak tapak kaki itu tercetak jelas di atas pasir mengiringi langkahku yang berjalan menyusuri pantai sambil bersenandung kecil. Semakin jauh kakiku melangkah, jejak-jejak itu semakin mengurai panjang, demikian halnya dengan kehidupan.
Menjalani hidup, berarti meninggalkan jejak-jejak di setiap waktu yang dilalui. Sejauh mana jejak itu dapat bertahan dan memberi warna bagi sekeliling, ataukah hanya akan terhapus oleh air laut yang menghempas tanpa menyisahkan apapun?
Birunya laut yang terbentang luas di hadapanku, berpadu dengan langit cerah bertaburkan gumpalan-gumpalan awan seputih salju, lukisan agung Sang Pencipta yang tiada tandingannya, memberi kedamaian dan kesejukan hingga ke ruang kalbu yang terdalam. Aku menghentikan langkah dan meresapi kenikmatan alam yang menyelubungi. Aku duduk di atas pasir menghadap lautan biru yang terbentang di ujung Utara pulau Sulawesi.
Aku kembali merenungi panjangnya jalan hidup yang telah kulalui. Telah dua dekade kini, sejak peristiwa itu, yang nyaris merenggut kehidupanku dari tengah-tengah keluarga terkasih. Sampai detik ini, masih sering melintas pertanyaan di benak, yang masih terus berusaha untuk kupahami.
Apakah hidupku saat ini telah memenuhi tugas yang harus kuemban, ataukah masih terus dalam proses pembentukan? Apakah proses yang kulalui masih berada di awal, pertengahan atau telah mendekati garis akhir? Rasanya telah begitu lama ... Apakah pembentukan yang menyakitkan telah terlewati, atau masih ada hal yang lebih besar lagi yang harus kuhadapi di depan? Berapa lama lagi waktu Tuhan akan menggenapkan umurku? Jejak-jejak apa yang kini sudah kutinggalkan untuk dunia? Apakah hidupku sudah cukup memberi terang bagi sekeliling?
Aku menyadari bahwa segala sesuatu yang kualami baik itu suka dan duka akan bermuara kepada suatu hasil rancangan yang ajaib yang dikerjakan Tuhan lewat diriku, dan sebagai seorang ciptaan yang mencoba memahami jalan pikiran Pencipta-nya, aku tak kunjung dapat menembus batasan itu. Satu hal yang kuyakini, bahwa aku hanya dapat percaya dan menggantungkan harapan sepenuhnya kepada Tuhan, menyerahkan kehidupanku dalam pimpinan-Nya. Sebab walaupun aku tidak memahami cara Tuhan bekerja dalam hidupku, sebagaimana janji Tuhan, bahwa rancangan Tuhan dalam kehidupanku bukanlah rancangan kecelakaan, namun rancangan yang mendatangkan damai sejahtera.
Saat itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama terkungkung di sekeliling tempat tinggalku oleh karena keadaan, kini dengan mantap aku dapat melangkah jauh terbang dari Selatan ke arah Utara pulau untuk menikmati suasana berbeda bersama keluarga tercinta, menikmati suasana pantai itu yang hening dan teduh. Hanya suara deburan ombak yang terdengar menyisir pantai.
Pandanganku terus bergerak memperhatikan sekeliling. Di sebelah sana, terdapat bukit-bukit hijau yang indah, berpadu dengan warna lautan yang biru, seolah menggodanya untuk segera mengabadikan lewat sebuah potret.
Aku merogoh ponsel dari saku dan mulai bersiap untuk memotret. Aku lalu mengambil beberapa potret dan video pemandangan sekeliling.
“Jangan hanya pemandangannya yang difoto, kamu juga harusnya masuk di situ,” teriak Ge, yang tiba-tiba sudah berada di dekatku.
“Ayo! Sini saya potret!”
Aku berjalan tanpa alas kaki menuju ke air. Kedua tapak kakiku kubiarkan menyentuh pasir untuk merasakan kelembutannya.
Aku berbalik, dengan latar lautan yang biru, siap berpose.
“Saya sudah siap,” teriakku melambai.
Klik! Klik! Klik!
“Jangan terlalu dekat ke laut! Airnya dalam!” Aku meneriaki putraku yang sedang berkejar-kejaran dengan Juju, saudara sepupunya.
Kedua anak remaja itu mendengar, lalu mereka duduk bermain pasir.
“Kin! Ayo turun, Nak!” bujuk seorang ibu muda yang adalah adik iparku. Ia berusaha menurunkan bayinya yang ada di gendongannya. Sementara bayi berusia setahun itu melipat kedua kakinya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Dia takut mungkin,” tebakku memandangnya.
“Sama pasir kok takut? Tapi, memang tadi saya coba turunkan dan dia langsung melompat, sepertinya telapak kakinya terasa geli dengan struktur pasir,” jawab adik iparku.
“Coba dudukkan saja!” saranku.
Bayi itu akhirnya berhasil turun dari gendongan ibunya, lalu duduk dan mulai bermain pasir.
Setelah puas menikmati suasana pantai, kami sekeluarga bersiap untuk pulang.
Selain menikmati suasana pantai, kami juga mengunjungi sebuah dataran tinggi yang indah di daerah pegunungan yang dingin. Sejauh mata memandang dari gunung itu, di bawah tampak kota yang terhampar dengan luas, bangunan-bangunannya terlihat indah dari atas gunung itu.
Aku sejenak merenungi. Apa lagi yang kucari dalam hidup? Kasih Tuhan-ku luar biasa besar untukku, karya-Nya luar biasa dahsyat dalamku, masih pantaskah bibirku mengeluarkan keluh kesah? Tidak ada yang dapat membuatku untuk tidak bersyukur di dalam segala keadaan.
Ciptaan Tuhan yang begitu indah sangat memanjakan pandanganku saat ini. Aku bersyukur masih diberikan nafas kehidupan untuk dapat menikmati semua karya indah yang terbentang di hadapanku.
Akhirnya, liburan di penghujung tahun yang dirangkaikan dengan menghadiri pernikahan salah satu keluarga kami itu usai. Aku dan keluargaku harus kembali ke kota asal kami. Aktivitas kembali berjalan seperti biasanya.
Hanya selang beberapa bulan setelah liburan itu, kami sekeluarga kembali diberikan kesempatan untuk mengunjungi kampung halaman.
“Kin ... ! Nah, hayo, mau ke mana? Sini!” teriak ibunya seraya mengejar-ngejar balita yang tampak sudah lincah berjalan kesana kemari. Bocah laki-laki itu bahkan bersiap-siap untuk menuruni anak tangga yang menghubungkan teras ke halaman.
“Heiits ... ! No!” teriak ibunya.
“Kin! Ayo kemari kita putar lagu!” seru Ge.
Anak kecil itu berhenti lalu berbalik. Seketika matanya berbinar dan berjalan tertatih-tatih hendak meraih sebuah benda berbentuk tabung berwarna biru. Kini benda itu diletakkan dalam genggaman tangan mungilnya. Ia bersorak gembira. Ia telah familiar dengan benda itu, benda yang bisa mengeluarkan bunyi.
“Na, na, na!” Anak kecil itu tampak gembira sambil menggoyang-goyangkan badannya. Namun beberapa saat kemudian, seketika terdengar suara tangisnya menggelegar karena tersandung. Tubuh mungilnya jatuh, disertai gelindingan benda biru berbentuk tabung itu. “Brukk!!”
“Ayo, sini anak-anak! Bantu Oma pungut sampah!” teriak Mama yang dipanggil kini dipanggil Oma oleh anak dan cucunya, segera membuyarkan keasyikan tiga orang anak yang sedang sibuk di ponselnya masing-masing.
“Tunggu, Oma!” teriak Juju, keponakanku dengan buru-buru menyimpan ponselnya ke dalam kamar. Irama langkah kaki ketiga anak itu terdengar lantang saat menyentuh lantai papan rumah.
Seorang laki-laki berusia setengah baya, kakak iparku, sedang menaruh sampah pada kobaran api yang mengepul, sambil sesekali terbatuk dan menjauh dari asap yang menyengat hidung.
“Ayo, kumpulkan di sini sampahnya!” serunya, yang segera direspon oleh anak-anak yang datang membawa sampah-sampah bekas botol dan gelas plastik.
Kesibukan membersihkan halaman hari itu diiringi oleh lantunan merdu lagu-lagu daerah, yang seakan menyatu dengan kerinduan akan kampung halaman yang kini terobati.