Soraya merasa gugup, entah mengapa perasaannya gelisah. Ia tahu ini adalah salah satu sikap buruknya, yaitu terlalu berpikir berlebihan. Itu merupakan alasan mengapa orangtuanya selalu mencemaskannya.
Ponselnya berdering, ia menerima pesan masuk dari Diana dan Sherly. Tampaknya obrolan mereka masih terus berlanjut. Melihat bagaimana ia dan teman-teman, barunya bisa akrab dengan cepat membuat senang.
'Ay, bagaimana teman sekamarmu? Apa dia masih belum mau bicara padamu?' Tanya Diana. Soraya benar-benar tidak menduga bahwa Diana akan sangat perhatian seperti ini.
"Dia benar-benar mirip mama." Batinnya. Senyumannya merekah di bibirnya.
'Ya, kami sudah saling bicara. Aku sedang ke minimarket untuk membeli makan malam dan camilan. Mona bahkan memintaku untuk membelikan beberapa barang untuknya.' Ketiknya di ponsel.
'Benarkah? Syukurlah kalau begitu. Aku harap kalian bisa lebih akrab.' Ujar Diana. Ia bahkan menambahkan emoticon tersenyum bahagia pada pesan yang ia kirimkan.
'Tidak tidak, itu tidak bagus. Apa-apaan itu? Kenapa seenaknya saja dia menyuruhmu seperti itu?' Berbeda dengan Diana yang super positif, Sherly justru sebaliknya. Ia suka berprasangka buruk dan cenderung waspada sebelum memutuskan bahwa sesuatu atau seseorang itu layak untuk dipercaya.
Membaca pesan yang Sherly kirimkan membuat Soraya mengernyitkan dahinya. Ia tidak tahu bahwa bagi seorang Sherly, meminta bantuan pada seseorang yang baru saja dikenal adalah perbuatan terlarang.
'Apa kau keberatan? Bukankah itu hal yang biasa?' Tanya Diana, tepat sebelum Soraya menanyakan hal yang sama.
'Bukankah awalnya dia sangat pendiam dan tidak membiarkan kau mendekatinya? Jadi, kenapa mendadak dia jadi sok akrab begitu padamu? Ini aneh, kau harus waspada padanya.'
Soraya membenarkan apa yang Sherly katakan, saat tiba-tiba Mona berbicara padanya dan memintanya untuk membelikan sesuatu di mini market. Ia merasa sedikit terkejut, apalagi beberapa menit sebelumnya terlihat sangat jelas bagaimana rautnya itu saat Soraya tak sengaja melihat benda pribadi miliknya.
"Biar aku bantu!"
"Tidak usah, biar aku saja- "
"Tidak apa-apa, kau bisa menyusun pakaianmu di lemari. Biar aku yang membereskan bagian ini!"
"Jangan! Biar aku saja- "
"Tapi- "
Pikirannya langsung tertuju pada saat di mana ia melakukan hal yang bodoh dan bertingkah sok akrab. Ia merasa sangat malu dan sedikit menyesal karena sudah membuat kesan pertama yang buruk pada teman sekamarnya itu.
"Dasar bodoh! Aku benar-benar bodoh sekali. Lagi pula untuk apa aku memaksakan diri membantunya jika dia tidak mau? Ck, menyedihkan sekali aku ini." Gumamnya sembari masuk ke sebuah toserba di seberang asrama kampus.
"Selamat datang? Selamat berbelanja?" Seorang cowok cakep, bertubuh tinggi dan cukup atletis yang berdiri di depan meja kasir menyapanya sambil tersenyum.
Melihat wajah cowok itu, Soraya melongo bingung. Ia mengenal pemuda tampan dengan senyuman lebar yang sangat ramah itu. Sejujurnya ia merasa sedikit terkesan, namun melihat seragam yang kenakannya Soraya tak bisa menahan tawanya.
"David? Apa yang kau lakukan di sini? Hahaha...seragammu? Jangan-jangan kau bekerja di toko ini ya?" Tanpa pikir panjang, ia langsung menghampiri David yang masih belum melepaskan senyuman manisnya.
"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" Tanya David. Matanya menatap Soraya dengan intens. Melihat tingkah aneh David membuat Soraya tersenyum geli.