"S-saya tidak mengendap-endap dan saya sama sekali tidak mengawasi anda, Pak!" Ucapnya membela diri. Soraya tak ingin dipandang buruk, apalagi jika dosennya ini sampai menuduhnya sebagai stalker.
"Benarkah?" Mata birunya yang bersinar terlihat berkilau. Ia yang tak sengaja melihatnya langsung kembali menundukkan wajahnya dengan malu.
Ia kembali mendengar cetakan jantungnya yang cukup keras. Ia merasakan suasana yang tak biasa. Semilir angin yang berhembus dan daun-daun yang berterbangan di sekelilingnya, suasana yang ia rasakan membuatnya berpikir bahwa ia sedang bermimpi.
Robert melihat rona merah di pipi Soraya dan bagaimana gadis muda itu terlihat begitu gugup hingga terus menunduk seperti itu membuatnya memahami bahwa wanita muda sangat mudah merasa canggung dan takut akan banyak hal.
"Kemarilah!" Ujarnya. Ia mengalihkan pandangannya ke canvas dan juga danau di depannya. Soraya yang mendengar perintah Robert seketika mengangkat kepalanya dan memandang punggung pria aneh misterius yang sulit dimengerti ini.
"B-baik, Pak!" Merasa tak mungkin menolak panggilannya, Soraya bergegas melangkah menghampiri Robert yang tak bergeming di tempatnya dengan luas yang masih tergenggam di tangannya.
Menyadari bagaimana tinggi badannya hanya mencapai pundak Robert membuat Soraya merasa minder. Ia tak tahu berapa tinggi badan pria ini, yang jelas ia terlihat sangat mencolok dengan rambut hitam dan mata birunya yang bersinar.
"Ternyata dia tinggi sekali. Berapa ya kira-kira? Sepertinya 190 meter." Batinnya. Bahkan disaat-saat canggung seperti ini pun Soraya masih sempat memikirkan hal lain.
"Berdiri di situ!" Ucap Robert. Ia menunjuk depan danau dengan kuasnya.
"B-berdiri di situ? Apa yang harus saya lakukan?"
"Kau tidak perlu melakukan apa-apa. Cukup berdiri saja!"
"Ok, Pak!" Soraya yang bingung hanya bisa mengikuti perintah Robert sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Ia berdiri dua meter di depan Robert, tepat di depan danau yang nyaris dipenuhi daun-daun berwarna oranye. Meski tak mengerti apa yang dosennya ini inginkan darinya, ia yang sangat sulit mengatakan 'tidak' hanya bisa pasrah dan mengikuti semua yang diperintahkan.
Robert menatapnya dingin dan jujur saja, tatapan matanya selalu membuat Soraya merasa takut sekaligus terpana. Pipinya yang merah, semakin bertambah merah. Ia menjadi salah tingkah.
"Kenapa dia melihatku terus? Bagaimana ini?" Batinnya. Ia sendiri tak tahu, apakah ia harus merasa takut atau merasa senang karena diperhatikan oleh dosen tampan yang paling populer di kampusnya.
Robert yang semula hanya diam dan mengamatinya selama tiga menit, kini mulai menggerakkan kuasnya seolah melukis sesuatu pada kertas canvas di hadapannya.
"A-apa jangan-jangan dia melukisku? Masa sih aku jadi model lukisan pelukis hebat sepertinya? Mimpi apa aku semalam?" Batinnya. Dadanya bergejolak, ia tak bisa menahan senyuman di wajahnya yang merekah.
"Berhentilah tersenyum aneh seperti itu! Kau membuatku jijik, penguntit!" Ucap Robert dingin.
Seperti yang Robert inginkan, Soraya langsung berhenti tersenyum. Ia sempat berpikir bahwa ia hanya salah dengar saja, apa yang Robert ucapkan barusan membuatnya sedikit syok.
"M-maafkan saya- " Soraya terdiam kaku, mematung di tempatnya. Dari yang semula merasa senang karena berpikir bahwa ia akan dijadikan model lukisan, dalam sekejap ia langsung merasa jatuh hanya dengan satu kalimat.