BAB DUA
Sebuah kejadian menjadi buta bila didasarkan penglihatan dari pandangan sendiri.
MENGARAH HAMPARAN langit yang maha besar, Louis menatap air yang mengaliri mata kakinya. Mengapa ia tak bisa meninggalkan desa ini, dan segera menghapus rasa sedih dari dalam lubuk hatinya yang tak berkesudahan, yang terkadang terhanyut dalam pikiran-pikirannya?
Louis pernah bertanya bagaimana ayahnya bisa menghilang, namun jawaban yang ia terima hanyalah senyuman, lalu menunjukkan ketegaran seorang wanita di hadapannya yang selama bertahun-tahun memendam kepedihan di hati kecilnya. Sebuah senyuman kecil yang berarti kepada Louis saat itu. Kini ia takkan pernah melupakan.
"Kau akan tahu, Ayahmu akan berjasa bagi kita semua,"
Suara lirihnya halus tanpa ada sedikitpun celah. Dihapus dengan perasaan sedih, Louis menyeka matanya, dan memantapkan segera memeluknya.
Louis tahu, setiap perkataan yang keluar dari mulutnya adalah hal-hal yang baik untuk dirinya. Seperti sebuah do'a untuk para dewa-dewa atau tuhan di atas sana.
Sesampainya Louis di depan rumah, ia dikejutkan. Ibunya tengah menanti kedatangannya di mulut pintu depan rumah tua itu. Dengan mata yang penuh perhatian, ia menghampiri Louis dengan mata awas.
"Kemana saja kau ini? Aku sudah lelah memanggil namamu,"
Seru ibunya sambil menyeka keringat di wajah Louis dengan kain di tangannya. Louis menyalahkan ibunya, sebab mengapa ia selalu memanggil dirinya setiap saat waktu makan siang.
Jawab Louis ketus.
"Sekarang, tinggalkan hewan ternak di kandang. Bergegaslah! Kita kedatangan tamu, sudah lama ia menunggu,"
Ia dikejutkan lagi. Sudah lama keluarganya tak pernah menerima tamu.
Ia menaruh topi wol-nya di punggu meja yang berada di sisi pintu masuk. Ia berjalan melalui ampitan dinding yang menghalanginya dengan dapur. Dikuasai oleh rasa penasaran, Louis membuat seisi rumah terkejut dengan suara hentakan kaki yang kuat dan cepat pada lantai yang beralaskan kayu yang longgar.
Orang yang menjadi tamu, yang sekarang tengah duduk bersebelahan dengan ibunya adalah pria gemuk. Kenapa dia lagi? Ia berusaha melangkahkan lagi pada wajah kursi yang masih kosong itu.
Meminta uang pinjaman lagi, mungkin, seperti hari-hari sebelumnya. Atau hanya untuk makan siang, barangkali. Bijaknya sekali lagi menelisik.
Hanya saja karena umurnya yang lebih tua dari Ibunya, tak bisa ia seenak-enaknya berbuat terhadap keluarga ini. Desisnya lagi dengan keji. Untungnya pria gemuk itu tak bisa mendengar karena kotoran di telinganya.
"Paman, bagaimana keadaan Paris?"
Ibunya memulai percakapan pada pria bebal sebelahnya.
"Maaf,"
Pria itu memulainya lagi.
Ia sibuk membetulkan posisi duduknya yang dirasa menyulitkannya untuk bergerak. Pakaiannya rapat. Jas kemeja dengan dilapisi rompi berwarna coklat, beserta tergambar lekukkan bordiran bermotif di bagian sisi pundaknya berwarna keemasan.