BAB LIMA
PENGUMUMAM BEREDAR, orang-orang menyebarkan kertas-kertas di setiap rumah. Kabar yang mengatakan, sekelompok petani, serta para pekerja, menyerbu istana, membebaskan tahanan-tahanan penjara, mereka telah menguasai jalan-jalan besar! Lalu, dilanjutkan dengan seruan, berhenti bekerja! berhenti melayani kaum borjuis! Mati Istana! Hidup Rakyat!
Surat-surat kabar yang disebarkan secara acak oleh pemuda-pemuda di sekitar desanya, berita besar berasal dari Paris yang jauh disana. Pagi tadi, juga diikuti kabar, beberapa kapal perang dengan bermuatan besar, telah berlabuh di kota Marseilles, keberadaan kota itu hanya beberapa kilometer dari desa, bersama dengan para tentara, serta beberapa perwira.
Rumor lain juga menyatakan, bahwa orang-orang kerajaan mulai berurusan dengan menyisir para pemberontak di jalan-jalan besar, dari pesisir pantai selatan, hingga Paris. Kini mereka hendak menginjak jalan setapak desanya. Sebuah petaka! Pertempuran akan terjadi sebentar lagi di negeri tercintanya ini. Rakyat melawan kepala negara sendiri. Darah satu bangsa sendiri. Saudara mereka sendiri.
Sudah seminggu lebih, ia tak dipekerjakan di lahan Tuan Rudolph. Ibunya sudah berhenti memarahinya jika tidak bekerja. Hewan-hewan ternaknya melayang entah kemana. Kini, hanya ada perasaan terpendam, siksaan alam, serta perut yang mengerang. Semenjak warga desa memberikan seluruh hasil panen mereka pada penarik pajak, mereka tak punya persediaan hingga musim dingin.
Tak ada yang mengira bahwa mereka datang lebih awal daripada sebelumnya, dan warga belum sempat menyimpan hasil panen mereka di gudang penyimpanan tersembunyi, kiranya berjaga-jaga suatu petaka akan terjadi, dan benar saja.
Bulan November sebentar lagi tiba, dan Louis masih terpaku di dalam lingkaran kepalanya. Pergi dari sini, atau tetap hidup nyaman disuapi ibunya. Namun, sekali lagi ia mengurung niatnya, seketika hatinya menjadi ciut, nyalinya sebiji kacangan, merendahkan dirinya, lalu beranggapan hal itu berada di luar batas kemampuannya untuk hidup sendiri di alam liar. Tanpa Ibu, tanpa para tetangga, tanpa pekerjaan. Ia akan mati.
Pikiran-pikiran hal semacam itu, yang sebenarnya mengganggu Louis untuk memutuskan sesuatu. Sekali lagi datang, dan datang terus-menerus. Hidup di dalam desa saja rasanya seperti ingin mati, kelaparan akan makanan, kehausan akan kenikmatan.
Ia iri dengan orang-orang yang kini tengah bersantap bersuka cita di meja makan bersama satu keluarga di dalam rumah, sambil tertawa terbahak-bahak, mendengar lelucon, menjatuhkan piring, mengurangi porsi lauk karena dirasa kebanyakkan untuknya seorang, memprotes bahwa makanannya hambar.
Orang-orang mulai saling menendang satu sama lain. Warga-warga desa kini sudah berhenti mengirimkan hasil panen, atau tangkapan laut kepada ibunya. Pria-pria tua itu, yang mengincar ibunya menjadi jarang kelihatan di sekitaran desanya, mereka mendadak menjadi pemalas. Menunggu ajal di rumah masing-masing, dengan sukarela, dan berdoa agar datang kepada mereka secepatnya.