Kehormatan

Donny Setiawan
Chapter #6

Bab 6

BAB ENAM

DERAP KAKI mengguncang tanah kering di sekitaran rumah-rumah yang mengunci pada bumi, suara lirih kuda silih berganti dengan keheningan desa yang seakan mati. Jalan-jalan kosong. Tak ada lahan-lahan yang bekerja.

Tercium aroma pengecut di balik setiap pintu rumah yang tengah bersembunyi, mereka mengunci diri dari tembok rumah, menganggap kejadian kemarin hanyalah angin lalu, yang harus puas hari ini akan dibayar. Para tentara tengah mengepung rumah-rumah mereka, kerap bunyi dentingan besi-besi rapat, kilatan bayonet yang bisa kapan saja menceburkan diri di tubuh-tubuh kurus dan kotor mereka.

Bibir terkatup, pria kurus berambut putih itu dipaksa membukakan mulut, terhirup aroma lambung yang seakan menciut di balik gigi-giginya yang kuning. Salah seorang menghadap kepada sosok pria yang tengah menunggangi kuda di barisan belakang menyusulnya, ia pun harus mengangkat dagu, memberi hormat, lalu menjelaskan.

"Kami membutuhkan air," Balasnya. Kepekatan guncangan kematian kini larut, pria tegap dengan pembawaan santai itu seakan menyiraminya dengan kesejukan sesaat. Dengan ringan, pria kurus itu menjadi lembut, selembut sutra yang baru ditenun. Suaranya enteng menerjang angin-angin yang kini menghantam sisa-sisa musim panas.

Musim gugur sebentar lagi tiba, dan orang-orang kerajaan ini menginginkan persediaan air untuk dua hari kedepan. Dia tak berani menolak, karena sudah berikrar untuk tidak melayani siapapun. Namun, dengan bayangan todongan besi yang diasah tajam itu, ia melunak.

Biru-biru mendominasi jalan-jalan desa yang kumuh dan lusuh. Pria-pria sibuk dengan peralatan berat mereka yang serba terbuat dari besi, punggung memanggul beban yang terus menopang selama perjalanan, derap-derap kaki bersusah payah, kepala tegak, serta tangan yang tak pernah lepas dari punggung benda bau besi terbakar yang kerap menebar setiap pintu-pintu tertutup.

Saat ini, desa tunduk dengan keberadaan mereka, wanita-wanita di desa hendak melayani pria-pria tegap, anak-anak berlarian mendekati barisan-barisan orang yang menjulang padat dengan wajah terheran-heran. Seluruh warga desa mengira akan terjadi sesuatu, suatu hal yang diluar pengetahuan mereka.

Ketika tersirat kabar kekacauan di Paris, gejolakan perlawanan melayani orang-orang dari kerajaan, kalangan bangsawan, kubu rakyat jelata sendiri, lalu mengumumkan akan bermalam untuk sementara waktu.

Lihat selengkapnya