BAB TUJUH
APABILA DIPANDANG, ia terus saja bersikap santai, dan bersahaja. Pantas saja ibunya terus melayaninya, mendengarkan celotehannya, dan bahkan kadang saling membagi cerita. Berperawakan orang kaukasia, hidungnya tegas lancip, dengan mimik wajah yang membuat siapa saja sejuk bila memandangnya.
Memakai mantel tebal, berwarna biru agak pekat, terlihat sepertinya orang-orang menuruti apa saja yang ia minta. Louis menegaskan kembali pada apa yang tertampak pada yang ia kenakan itu. Sebagian besar polos, tak ada ornamen-ornamen berlebihan, sebuah simpul pita dengan triwarna yang menempel di tutup kepalanya, melingkar, yang kini ia taruh di samping tangannya yang putih dan halus. Biru, putih, dan merah. Terlihat sangat sederhana.
"Apa kau menyukainya?". Ia menyeka pandangan Louis dengan keagungan bangsawannya. Sekali lagi ia bergidik, seperti seorang bocah yang baru pertama kali berinteraksi dengan orang baru. "Maaf, Tuan."
Orang itu terlonjak dari pandangannya, lalu bunyi kayu setengah rapuh itu bergeser beberapa centimeter ke belakang. Bunyi sepatu kakinya yang berat, memukul alas kayu dapur itu. Setiap bunyinya adalah hitungan seberapa dekat jaraknya kini.
"Boleh aku tahu, siapa namamu, Nak?". "Namaku Louisé, Tuan.". Dijawab seperlunya saja. Ia berdiri di ujung sana, sedikit jauh dari keberadaan pria-pria yang masih saja terbaring dalam kegaduhan yang dibuat mereka sendiri.
Lalu, orang itu sedikit mengecap bibirnya sambil seraya berjalan mengarah jendela. Suara-suara kegaduhan masih tetap terdengar. Pria-pria tertawa-tawa, teriakan orang gila yang kadang memekakan telinga sayup-sayup. Orang-orang di meja makan kini sibuk dengan sajian di hadapan mereka, dengan bunyi-bunyi berat sebagai latar belakangnya.
"Aku terkesan dengan rumah ini. Juga orang yang dulu pernah tinggal disini,". Pria itu menuding Louis untuk membuka mulut. Namun, bocah itu masih enggan. Pikirannya berkecamuk menghalangkan apa saja. "Ayahmu adalah orang yang hebat. Bukan. Dia adalah seorang prajurit yang hebat,". Lalu ia melanjutkan. "Apa kau tahu arti dari Triwarna ini?". Tanpa membuat sedikitnya celah untuk Louis, ia memotong dan terus-terus begitu saja. "Kebebasan, keadilan, dan persaudaraan,"
Kebebasan, keadilan, dan persaudaraan? Pikiran yang liar sedari tadi kini menyerang kesadaran Louis yang telah lama tertidur. Kebebasan menindas orang-orang seperti Louis, kah? Petani yang diberi pajak, mendanai mereka orang-orang tinggi. Rakyat kecil semakin kecil. Orang-orang besar terus menindas rakyat kecil, tak peduli siapa orangnya, Bangsawan ataupun sesama rakyat pun tetap menindas.