Kehormatan

Donny Setiawan
Chapter #8

Bab 8

BAB DELAPAN

SINAR MENTARI pun enggan menyinarinya lagi. Desiran aliran sungai, itupun perlahan menghilang. Sunyi. Seakan semua gelap. Sungai membeku, aliran air menjadi padat. Pijakan kaki dipunggungnya pun bisa menghantarkan sampai pada sebrang. Hijau digantikan putih. Bahkan, rumput selamanya mendadak hilang dari permukaan bumi.

Musim dingin dan penderitaan yang hanya membuatnya semakin panjang saja. Ia tak bisa melihat derasnya aliran sungai lagi, untuk itu. Musim dingin juga membekukkan pikiran, hatinya untuk pergi. Oh, Ibu yang malang. Selepas kepergian pria yang kau cintai, lantas apakah anak bayi yang kau besarkan ini juga akan mengikutinya?

Melihat para petani meraung, berimbas memaksa mereka mencari jalan keluar untuk berusaha tetap hidup, mengharap mendapat ganti yang setimpal dengan didengungkan oleh bangsawan yang kini berlaga seorang pahlawan.

Di tengah jalan setapak, sepintas sosok hitam yang bergerak-gerak di balik kehijauan rumput yang berdayun-dayun, sosok pria yang umurnya lebih tua. Dengan janggut berwarna merah tua, serta kumis tebalnya. Ia disapa dengan sebutan anak muda olehnya. Seolah tengah mengumpul seluruh tenaga, mengarah pada seorang bocah, tumpukkan rumput-rumput hijau yang panjang dipanggul di pundaknya.

"Sudahkah kau mendengar pria dengan keluarga Bounaparte di desa?" tanyanya. Louis mengangguk. "Kenapa kau pergi ketika mereka mengadakan acara itu? Bukankah kau ingin ke Paris?". Louis masih terbenam, membuat jeda sebelum mengeluarkannya dari mulut. "Kupikir, lebih baik hidup tenang di sini, ketimbang harus pergi ke tempat asing." Sekali lagi, ia berdebat dengan dirinya sendiri.

"Bukankah kau sendiri yang bilang, ingin mengetahui kebenaran Ayahmu?". Potong Louis, "Ia pergi bersama mereka, lalu setelah itu ia tidak pernah kembali lagi. Maafkan aku. Aku tarik kembali perkataanku waktu itu."

Rasa yang sudah tak terbendung lagi, akhirnya ia keluarkan. Si pria ikut terdiam, terpaku tindakan anak yang selalu bergelut dengan pikirannya di depan. "Baiklah, jika itu pilihanmu,". Ia langsung melanjuti. "Kau tahu, sebaik-baiknya pria, ialah yang selalu mempertanggungjawabkan tindakannya.". Tak ada timbal balik sekarang. Hanya angin dan aliran air yang seakan berseteru.

Lihat selengkapnya