Kehormatan

Donny Setiawan
Chapter #11

Bab 11

BAB SEBELAS

TAK ADA yang lebih istimewa selain sosok ibunya, yang penyabar, penyayang sekaligus sosok wanita satu-satunya yang ia cintai. Louis tumbuh di lingkungan desanya, dan juga pemikiran-pemikiran yang ikut serta akan kebimbangan terlintas di sekitar lahan-lahan tetangganya.

Tanah-tanah kini benar-benar tentram. Tak ada sedari pagi ia mendengar ataupun melihat kehidupan di luar rumahnya. Mereka semua pergi, bersama kemelut masalah-masalah mereka yang belum terselesaikan disini. Begitu mudahnya orang-orang melarikan diri dari masalah ke masalah lain. Louis tak berkehendak mengikuti mereka, walau rasanya di dalam lubuk hatinya yang paling kecil, ingin sekali melangkahkan kakinya menerjang batas pedesaan ini.

Ibu sering batuk-batuk. Ia lebih sering berada di dalam rumah dari kemarin. Tak mau hendak meninggalkan barang satu menit, Louis bagai tengah menjaga seorang anak kecil, adiknya barangkali ia menganggapnya. Louis punya adik. Adik yang masih satu raga dengan Ibunya, dengan dirinya.

Seolah masalah kemarin-kemarin telah ia tumpahkan begitu saja dalam tong kosong yang kasat mata. Tak ada pelarian, yang ada hanya waktu yang membuat ia luput akan hal itu: Pria gemuk, Tuan Rudolph, kaum Borjuis, Bangsawan, Revolusi, perang, kemiskinan. Sekali lagi ia mengingat Tuan Rudolph. Tetangganya yang belakang ini sudah tak pernah menampakan diri. Tenggelam dalam rumahnya. Terakhir bertemu, ia memberi pernyataan berhenti menjadi petani, mungkin ia ikut bersama rombongan. Kalau urusan perut siapa yang tidak bisa menolak?

Setiap pria mempertanggungjawabkan perkataannya. Ia menengadah, menengok pada langit-langit loteng rumahnya. Apa benar selama ini ia tak bertanggung jawab atas dirinya sendiri? Kemana lagi ia bisa bernaung selain atap rumah yang diisi oleh kasih sayang ibunya ini. Tak ada tempat lain selain rumah ini. Pikiran tentang Paris, lain kali saja lah ia pikirkan, terlebih sudah dua hari mereka pergi. Tidak mungkin ia bisa menyusul mereka, batin Louis.

Seketika ia merasa seperti ada kesunyian yang tak pernah ia rasakan selama tinggal disini. Rasa-rasanya bulu pada kulit di tubuhnya mencekam, dingin menyelimuti setiap sela-sela rumahnya. Semenjak kepergian tetangga-tetangga apa mungkin membuat suhu di desa ini menjadi dingin? Ia periksa lagi ibunya di ranjang. Kehangatan yang disebabkan selimut berkehendak membuatnya enggan berpindah, masih terlelap dalam kerentanan tubuhnya.

Mula-mula ia dekap kain selimut pada tubuh yang sudah renta itu. Tak terasa katanya, waktu telah merenggut tubuh muda ibunya. Ia pegangi jari-jari pada ibunya berwarna putih pucat. Beku kedinginan. Ia eratkan lagi ke hampir seluruh tubuhnya. Wanita itu meringkuk seperti hewan yang sekarat. Matanya memandang lurus tanpa benar-benar melihatnya.

Lihat selengkapnya