BAB TIGA BELAS
"AKU TIDAK merasakan adanya hal yang istimewa dari roti itu," Menunjuk roti yang terlihat lebih kecil dan memiliki warna agak pucat dan tak menarik. "Jauh dari ukuran roti pada umumnya." Tatapannya kini penuh awas. "Lalu, bisa kau memakan yang satu ini dengan perlahan? Baru kau bisa menilainya." Titah wanita itu tak bisa terbantahkan. Louis mencoba melirik roti pucat itu sekali lagi, dan tanpa pikir panjang ia perlahan mencengkeram tubuh roti tersebut mendekat pada mulutnya.
"Apa kau yakin? Ini enak?" Tuntut Louis, pada perempuan itu. "Belum juga sepatutnya kau buang sifat pengekang itu?" Louis masih tak mengiyakan, lantas apa yang sepatutnya yang menjadi kehendaknya. Kini ia terlihat malah tertunduk tertegun menaruh iba pada dirinya sendiri.
Ia mendapatkan gigitan pertamanya terhadap roti pucat pada genggaman tangannya. Lelehan coklat manis perlahan melumuri lidah dengan hangat. Louis tak bisa berkata apa-apa selama dia mengunyah roti manis dan lembut itu di mulutnya. Ia hanya menunjukkan rasa sukanya dengan menggunakan bahasa tubuhnya. Louis, lebih suka roti memiliki rasa manis ini, ketimbang roti tak berisi. Ia tak pernah merasakan roti ini sebelumnya.
Perempuan muda itu lalu tersenyum, menyindir Louis dengan tingkahnya, tak ada yang dapat mengindahkan roti yang lebih mirip dengan tutup kepala milik orang-orang turki itu, "Aku sengaja membuatnya tanpa menggunakan margarin terlebih dahulu, dan biar terlihat agak pucat," Ia kini tertawa tipis manis. "Kau harus merasakan roti itu dengan resep yang sebenarnya. Dengan margarin tentunya." Seorang Perempuan berkulit hitam itu entah mengapa seperti seolah mendapati kehadiran anaknya.
Duduk tinggal sementara di rumah suaminya. Sebuah rumah sederhana, yang terlihat agung bagi Louis. Ia mengira, bahwa pria berkulit putih itu, dan memiliki rambut merah gelap yang ia lihat pada sebuah lukisan berbingkai di sudut ruangan kamar adalah sang mendiang suami dari wanita yang kini merawatnya. Seperti Tuan tanah di Perancis. Dengan memperistri perempuan manis dan dermawan ini. Dari jauh memang tampak perempuan pada biasanya, namun bila dari dekat kecantikan nan agungnya terpancar begitu saja, bak ratu yang memiliki kulit erotis.
Ia kini berdiri bersebelahan dengannya, tak mengetahui bahwa ia tengah di puja-puja oleh anak bocah seusia sebelas tahun. Apabila dipandang dalam-dalam, sungguh memang luar biasa elok. Burung merak kalah eloknya dengan keanggunan yang dimilikinya. Pandangannya berlanjut pada lukisan perempuan yang tengah menggendong seorang bayi kecil di pelukannya erat disebelah pria itu. Perempuan itukah? Mereka telah dikaruniai seorang anak rupanya.
Namun, mengapa sepintas dari balik helaian kain yang menutupi sebagian wajahnya tertampak luka seperti habis terbakar? Dan, itu yang membuat Louis bergidik. Ia merubah haluan arah pembicaraan, "Boleh aku tahu, Madam. Luka itu berasal dari mana?" Perempuan itu seperti kehilangan citranya, sebagai perempuan yang lembut dan tenang. Ia mendadak menegas. Perempuan itu tak menjawab. Mengingatkannya kepada ibunya. Ia sangat memperhatikan setiap sikapnya, tiap kali dirundung pertanyaan yang sederhana untuk dijawab bagi Louis. Sayangnya, Ibunya telah pergi meninggalkannya.