BAB ENAM BELAS
"MENGAPA kau diam saja?" Ia kembali menuduh, dengan, ah, wajahnya itu yang dipenuhi kobaran api. Louis merasa selalu bersemangat ketika di sebelahnya, bahkan bila berhadapan begini. Ia semakin gerah. "Apa ada yang salah dari perkataanku?" Gadis itu malah menimpali dirinya sendiri, merasa bersalah karena membuat Louis terdiam. Ah, dia penyayang sekali, sampai-sampai enggan menyakiti hati Louis.
"Aku memikirkanmu," Entah motif apa yang membuatnya berkata begitu. Namun, dari hatinya, hanya menginginkan mengatakan itu. Tak ada yang bisa menyangkalnya. Gadis itu menunduk, entah karena malu, tahu kalau sikap anak yang tak tahu diri ini mulai bertindak semaunya terhadapnya. Ia berusaha kembali menguasai dirinya, membelakangi Louis, lalu kembali dengan wajah yang lebih terkendali ketimbang tadi. Air mukanya yang tadinya merah padam, kini berubah menjadi lebih kalem, merah muda.
Ia menampakkan bahwa nafasnya kini menjadi berat, setelah itu suaranya sedikit diturunkan, "Pernah dengar, bahwa tindakan itu lebih menjelaskan sesuatu?" Ia melanjutkan, tanpa menghiraukan patung yang memiliki hati itu memotongnya. "Lebih baik daripada hanya mengatakan: aku lebih baik dari dia atau aku pria dewasa." Benar-benar telah lupa akan patung di depannya ini. "Kenyataannya, orang tidak peduli dengan ucapan, dan malah lebih memikirkan orang yang mengucapkannya. Jelas! Gambaran lebih mempunyai pertimbangan atas sesuatu bagi manusia."
"Dan satu lagi," Ia tetap menimpali, "Mustahil membuat orang-orang menyukai kita." Sebelum itu, Louis memotong juga, "Karena setiap manusia itu egois?" Gadis itu mulai tertarik, "Ya, setiap manusia memikirkan tentang dirinya sendiri. Lalu, mengapa kita masih terus memikirkan tentang perasaan orang lain suka atau tidak?" Menarik. Itu yang membuat Louis tergugah untuk terus mengoreknya. Ia bahkan menambahi, "Orang yang selalu mengoreksi kita, apakah memang betul sebenarnya mereka tidak sepenuhnya peduli dengan itu?" Gadis itu mencondongkan tubuhnya, "Betul! Atau mungkin, kaunya saja yang merasa kalau selalu dikoreksi. Padahal ini hanyalah konsep tentang pola pikir." Louis mengangguk takut menyinggungnya. "Pikiran yang menentukan sikap." Ia melanjutkan, "Sikapmu yang tertutup itu."
Louis ingin menepis tudingan tersebut atas mendakwanya adalah orang yang tertutup. Gadis itu tidak salah sepenuhnya. Namun, ia hanya ingin mengeluarkan pembelaannya saja. Bahwa, mungkin hanya karena dirinya, Louis betul-betul ingin menjadi orang yang lebih terbuka. Bahkan, pada sikap defensifnya ketika merasa terancam. Ia tetap ingin gadis itu masuk. Namun, hanya sebatas pikiran Louis, kenyataannya, ia tetap pada sikapnya yang tertutup itu. Tidak membolehkan siapa saja yang masuk. Itu sudah tabiatnya sejak kecil. Jika merasa terancam, maka bertahanlah. Tutup semua pintu, jendela atau bahkan lubang yang bisa mengarahkan masuk pada dirinya.
Ia hanya tak mau mengizinkan siapa saja bisa masuk seenaknya dalam benak Louis, dan melihat betapa rapuhnya dinding-dinding yang dibuat di dalam. Ia juga tak mau dihina, merasa terhinakan bila ada orang yang menudingnya berbuat salah. Ia bikin seka hatinya. Terlebih ia tak pernah menyakiti siapapun yang bertindak demikian. Ia mau menerima, bahkan tidak memberi. Ya, sikap atau tabiatnya dari kecil yang membentuknya sekarang.