BAB SEMBILAN BELAS
KELUARGA BOURBON yang belakangan diceritakannya, di rumah perempuan pada atas bukit itu, bukan suatu kejadian yang semerta hanya sebatas basa-basi belaka. Melainkan memang ada tujuan yang mengharuskan Louis untuk berbuat sesuatu. Untuk pribadi Tuan Hennebeu dan orang-orangnya atau pula untuk diri Louis sendiri. Bahwa kepura-puraan ini, membawa ia dan pria-pria tua yang pemarah dibawanya, berjuang atas nama keluarga aristokrasi Perancis yang paling berpengaruh itu. Tak heran pula lawannya: orang-orang yang mengatakan diri mereka revolusioner, termasuk Napoleon, seorang pria muda yang berambisi bermaksud juga mengambilnya.
Dari bibirnya lah akhirnya, ia berterus terang: lalu pada poinya, "Louise lychee, adalah anak sah Raja Louise kedua puluh enam. Hasil dari peranakan seorang budak yang merawatnya." Kemudian dia melanjutkan, "Namamu adalah sebuah simbol penghormatan atas ayahmu." Kenyataan mencoba menutupi itu semua, juga Ibunya dulu di desa dan wanita yang pernah merawatnya saat di atas bukit itu.
Pertahanan terakhir mereka babak belur. Meriam-meriam menyambar memuntahkan bola-bola api yang menghantam pada batang-batang pohon yang menjulang dan gemuk-gemuk. Sebagian besar orang-orang bersembunyi di balik mereka. Pria-pria tua, wanita-wanita, serta satu orang bocah. Tenaganya seluruhnya telah ia pakai untuk berlari. Orang-orang yang berlari-lari entah saling tak mengindahkan. Kemana-mana ia mencari pertolongan, selalu orang-orang yang menganggap diri lebih meminta pertolongan. Mencoba menyelamatkan diri, masing-masing juga perlu membutuhkan pertolongan barangkali.
Seratus orang keluar, seribu orang masuk. Dari balik-balik pohon, terjadilah penyerbuan tak terduga. Mereka menyebar bagai aliran deras yang tak habis-habisnya. Darah satu tumpah menimpali yang lain. Lautan manusia memecah pekikkan lambai burung-burung pada langit. Cakrawala punya daya masing-masing dalam menggerakan hati manusia. Langit culas terhadapnya. Ia bisa mengerti keluh kesah atas tingkah manusia. Manusia yang tak bisa lari dari pandangnya. Langit luas. Maha besar dari makhluk-makhluk fana ini.
Louis terperanjat dalam dunianya, dalam apa-apa yang ia yakini bahwa sebentar lagi dunia akan berakhir dalam genggaman manusia sendiri. Yang membukukkan hatinya, atas perbuatan mereka membuatnya pilu: ialah kebenaran bahwa manusia sama sekali tak bersungguh-sungguh mendedikasikan untuk dunia. Terkadang mereka berpikir ada, maka mereka ada. Mereka datang lalu merusak hingga pikir mereka atas kuasa. Manusia punya nafsu, alam punya yang namanya kelimpahan atas memberi tanpa syarat. Manusia kadang lupa kewajibannya.
Tuan Jean. Pria kurus yang pernah membawa sapi-sapinya keluar menemui pria gemuk, terlintas pada pandang Louis. Ia membeliak melihatnya bersama para musuh di sampingnya. Dan baru sekitar hitungan detik, ia sadar bahwa yang ia lawan adalah orang-orang dari desanya dulu. Sebuah angkatan bersenjata pembasmi pemberontak. Dan Louis lah sang pemberontak itu.
"Tuan, Jean!" Teriaknya sekali lagi, Louis tidak menoleh pada-pada sekitar. Makin dibuat gila ia, akibat kesamarataan dalam semboyan yang dibuat hanya akan untuk kematian. Pria itu sama tak menoleh padanya. Mungkin pikiran mulai tumpul waktu itu, bedanya tubuhnyalah yang sama saja kurus. Mungkin telah mereka habiskan atas apa diri masing-masing. Louis pergi bersama orang-orang maniak, Tuan Jean pergi bersama pengekang mereka. Tak peduli siapa-siapa dia. Louis dan Tuan Jean sendiri sama-sama telah kehilangan atas siapa mereka.