Ruang tamu ini tampak elegan juga nyaman dengan sofa berwarna sage yang mendominasi area duduk. Warna sage yang lembut memberikan kesan tenang pada penghuni rumah perpaduannya menyatu harmonis dengan dinding putih bersih, menciptakan suasana yang tenang dan lapang. Di salah satu dinding, terdapat bingkai foto besar pernikahan. Tidak jauh dari sofa, ada sebuah lemari kaca hias yang menampilkan koleksi barang-barang dekorasi seperti vas bunga, Al Quran dan souvenir pernikahan keduanya, tiga tahun lalu.
Ammar dan Halimah sesekali saling melihat hendak menentukan awal pembicaraan ini. Di seberang meja ada sang ibu yang menunggu hal sepenting apa yang akan disampaikan putranya juga menantunya yang terlihat sejak tadi begitu gelisah.
“Ada apa sih? Ibu jadi khawatir melihatnya.” Wanita berusia 50 tahun itu bergantian melihat keduanya.
Ammar masih ragu menyampaikan kabar ini, namun. Jika tidak disampaikan pun akan semakin membuatnya merasa bersalah pada penantian sang ibu. Ia juga tidak menghendaki jika Halimah yang mengabarkan kabar ini, ia tetap harus menjadi garda terdepan melindung Halimah.
“Ada yang hendak saya sampaikan, Bu,” kata Ammar akhirnya berani menatap sang ibu.
“Iya, sampaikan saja, ibu dengarkan.” Widuri nampak penasaran perihal masalah yang akan disampaikan putranya.
Ammar sedikit bergeser dari duduknya mendekati Widuri. “Ini soal Halimah, Bu.” Suaranya kembali terdiam mencari ancang-ancang untuk menyampaikan pokok masalah.
Widuri dengan tenang menyimak putranya.
“Soal kehamilan Halimah.” Lanjut Ammar.
“Iya, kenapa? Ibu sudah tegaskan juga tidak setuju kalian mengangkat anak yatim. Kareena untuk apa, nanti Halimah hamil kasihan anak itu pasti tersisihkan, ibu juga tidak mau Halimah akhirnya membagi perhatian antara anak kandung dan anak angkat.” Tegas sang ibu yang masih belum mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Dari ucapan ibunya barusan Ammar merasa pilu harus mematahkan keinginan sang ibu atas kondisi wanita yang dicintainya saat ini.
“Bu ... Halimah tidak bisa hamil.” Suaranya yang bergetar menahan gemuruh dalam dada untuk menerima keadaan istri yang dinikahinya tiga tahun silam. Bersamaan itu berguguran tetes demi tetes air mata Halimah yang duduk di samping Ammar. Mungkin seharusnya sedari awal Halimah tidak menerima pinangan Ammar apalagi menyetujui menutupi semua ini dari Widuri.
Sejak remaja rahim Halimah diketahui bermasalah, rahimnya tidak berkembang dengan normal hanya sebesar biji kacang polong. Sampai keputusan hari ini mengabarkan keadaannya Halimah dan Ammar sudah mengupayakan segala hal untuk kehamilannya, namuan. Sepertinya Allah masih belum berkehendak atau mungkin memiliki kisah lain?