Keikhlasan

Nila Kresna
Chapter #7

Melamar untuk istri kedua

Sudah berkeliling mengenang masa sekolah barulah keduanya saling bicara serius. “Ada apa, Nduk? Tiba-tiba berkunjung, sampai berpesan jangan cerita sama ibumu kalau datang.”

“Nyai terus memperhatikan sejak tadi, ya?” Halimah memperlihatkan beban berat dalam sorot pandangannya pada wanita paruh baya itu.

Nyai Nada mengangguk. “Pernikahanmu baik-baik saja, kan?” sejak awal Nyai Nada mengetahui kelainan pada rahim Halimah, ia juga sudah diceritakan untuk menutupi sementara waktu dari ibu Ammar, berharap selama masa pengobatan ada perubahan pada rahim Halimah. Nyatanya sampai detik ini rahimnya masih seperti sejak awal diketahui mengidap MRKH.

“Kedatangan saya ke sini untuk memecahkan masalah itu, Nyai, atas permintaan ibu mas Ammar.”

“Mertuamu sudah tahu?” nyai Nada terlihat terkejut, bagaimana tidak maslah ini sudah terlihat dari awal pernikahan saat Ammar secara pribadi meminta untuk dirahasiahkan dari ibunya.

“Kami sudah memberitahu pada ibu, semuanya. Qadarullah, permintaan ibu mas Ammar agar putranya kembali menikah lagi untuk memiliki keturunan," tutur Halimah meski terlihat tegar jejak kesedihannya tidak bisa disembunyikan.

“Subhanalloh. Jadi kedatanganmu untuk mencari calon istri untuk Ammar?”

Nyai Nada sendiri terlihat tidak tega dengan penegasan kedatangan Halimah, namun. Apa boleh buat jika itu sudah menjadi jalan yang harus Halimah hadapi.

“Kadang saya sendiri bingung, Nyai. Jika kisah ini bukan untuk saya mengapa Allah menciptakan begitu megah cinta ini?”

Nyai Nada langsung memeluk Halimah. “Sabar. Allah tidak pernah salah memilih seseorang untuk menjalani ujian dalam kehidupan.”

Masih dalam pelukan. Halimah mengangguk, setelahnya melepaskan pelukan itu. Kembali mendengarkan ucapan nyai Nada.

“Nyai tidak janji ada, tapi akan coba nyai tanyakan, kebetulan ibu yang membantu di dapur pesantren cerita sama nyai kalau kesulitan mencari jodoh untuk anak gadisnya. Coba kita tanyakan pada dia ya.”

Keduanya kembali ke rumah utama menunggu perempuan yang nyai Nada bicarakan. Tidak lama menunggu akhirnya perempuan itu masuk dibawa oleh ibunya.

“Perkenalkan, namanya Ismi. Ini ibu Titin yang bantu-bantu di dapur pesantren putri.” jelas Nyai Nada.

Halimah menyalami ibu Titin dengan sopan lantas bergantian pada Ismi yang terlihat masih muda.

“Duduk, Ismi ibu Titin.” Nyai Nada mempersilahkan keduanya untuk duduk bersebelahan dengan Halimah.

“Ismi Umurnya berapa?” tanya Halimah. Dari tatapan Ismi, Halima melihat kebaikan dari dirinya, bukan tatapan tajam penuh keangkuhan.

“25 tahun, Mbak.” Titin menjawab singkat dengan santun.

“Oo, anak keberapa?” tanya Halimah kembali.

“Anak pertama.”

Lihat selengkapnya